Jawa Pos

Tumbuh tanpa ASI, Bayi Meninggal

Berstatus Gizi Buruk sejak Berusia 10 Bulan

-

GRESIK – Fenomena gizi buruk semakin mengkhawat­irkan. Selama Januari dan Februari, dua bayi meninggal akibat gizi buruk. Pemicunya adalah kesalahan pola asuh anak. Orang tua kurang paham.

Kasus gizi buruk itu menimpa keluarga Marikha Mazida, 21; dan Sholikin, 25. Mereka kehilangan anak kedua, Mohammad Firman Alfirois. Usianya baru 16 bulan. Bayi yang dipanggil Alfin itu menderita gizi buruk sejak berumur 10 bulan. Namun, warga Desa Sambi Pondok, Kecamatan Sidayu, tersebut enggan berkomenta­r soal almarhum buah hatinya.

Menurut catatan petugas gizi Puskesmas Sidayu, indikasi gizi buruk itu sudah terlihat pada Mei 2016. Saat itu, usia Alfin baru 7 bulan. Berat badannya (BB) berada di bawah garis merah (BGM). Petugas puskesmas mulai memberikan catatan khusus pada kartu menuju sehat (KMS) Alfin.

Bidan desa bersama petugas posyandu memberi perhatian khusus. Sebab, kondisi BGM pada usia dini sangat rentan dengan berbagai masalah kesehatan. ”Dipantau rutin,” kata Nuris Silvia, petugas gizi Puskesmas Sidayu, kemarin (27/2).

Pada Agustus 2016, kondisi Alfin semakin drop. BB-nya hanya 4,3 kg. Padahal, BB normal anak berusia 10 bulan berkisar antara 6 sampai 11 kilogram. ”September lalu langsung diberi makanan tambahan (PMT),” jelasnya.

Menurut Nuris, selain BB rendah, Alfin mengalami batuk berkepanja­ngan. Petugas curiga ada infeksi serius di paru-parunya. Petugas gizi bersama bidan desa Sambi Pondok menyaranka­n agar Alfin dirujuk ke RSUD Ibnu Sina. Tujuannya memastikan kondisi organ parunya. Namun, ayah Alfin menolak. Dia menganggap buah hatinya tidak sakit.

Meski mendapat penolakan, petugas kesehatan tidak menyerah. Puskesmas mengganden­g berbagai pihak. Mulai kelurahan, kecamatan, hingga polsek setempat. ”Memang sangat sulit meyakinkan orang tua,” kata Nuris.

Dengan bantuan kepala desa, Sholikin diminta menandatan­gani pernyataan. Isinya adalah penelantar­an anak. Barulah Sholikin berpikir dua kali. Meski terpaksa, dia mengizinka­n Alfin dibawa ke RSUD Ibnu Sina pada Rabu (22/2).

Namun, dia tidak mau menemani. ” Yang mengantar pihak desa, puskesmas, dan dinas sosial,” terang Zakiyatus Sholiha, bidan Desa Sambi Pondok.

Dugaan petugas puskesmas terbukti. Alfin mengalami infeksi paru atau pneumonia toraks. ”Jumat (24/2) sempat kejang. Akhirnya, meninggal Minggu (26/2) kemarin,” ujarnya.

Bidan Zakiya menyebut penyebab status gizi buruk Alfin adalah pola asuh yang kurang baik. Sejak lahir, Alfin tidak pernah mendapatka­n air susu ibu (ASI) eksklusif. Bocah malang tersebut langsung diberi susu formula. Untuk ke posyandu, orang tua Alfin harus dijemput petugas kesehatan.

Kepala Bidang Kesehatan Masyarakat Dinas Kesehatan (Dinkes) dr Ummi Khoiroh menyatakan, tren kasus gizi buruk di Gresik sejatinya sudah turun. Dinkes mencatat, pada 2015, ada 137 bayi gizi buruk. Pada 2016, jumlahnya 126 jiwa ( lihat grafis).

Menurut Ummi, munculnya penyakit penyerta menjadi penyebab terbanyak kematian bayi gizi buruk. Namun, untuk kasus Alfin, alumnus Universita­s Airlangga itu memastikan penyebab utamanya ialah pola asuh yang salah.

Dia mencontohk­an pemberian ASI eksklusif. ASI, lanjut Ummi, harus diberikan sejak lahir. Minimal hingga bayi berusia 6 bulan. Mengapa? Ada kandungan dalam ASI eksklusif yang tidak dimiliki sufor. ”Susu (formula, Red) tidak memberikan imunitas pada bayi,” terangnya. (adi/c6/roz)

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia