UU Pers Butuh Revisi
SURABAYA – Senyum merekah di wajah Nynda Fatmawati Octarina. Kemarin (28/2) ibu dua putra itu berhasil menyelesaikan program doktoral di Fakultas Hukum Universitas Airlangga (Unair) dengan predikat sangat memuaskan.
”Alhamdulillah, sempat nervous juga tadi pas sidang,” ungkapnya setelah diuji sepuluh penguji kepada Jawa Pos. Ujian doktor tersebut berlangsung di Aula Pancasila selama dua jam.
Dalam disertasinya, Nynda mengusung judul Pertanggungjawaban Pidana Wartawan atas
Pemberitaan di Media Sosial. Nynda menyoroti peran wartawan yang belum memahami bahaya yang menjeratnya ketika menginformasikan suatu berita di media sosial.
Banyak wartawan yang tidak tahu bahwa saat menulis status di media sosial, wartawan sedang mewakili individu. Mereka tidak lagi mengatasnamakan profesi. Meski status tersebut merupakan sebuah informasi yang dikeluarkan berdasar metode jurnalistik. Ketika status di media sosial tersebut diprotes seseorang, wartawan yang mengunggahnya tidak bisa berlindung pada Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
”Status mereka jadi individu walaupun dijerat melalui Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik,” terangnya. Dosen ilmu hukum Universitas Narotama itu menambahkan, jerat hukum tersebut bisa diterapkan lantaran belum adanya aturan yang jelas dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Selama ini, Undang-Undang Pers hanya mengatur perusahaan pers. Sementara itu, kode etik jurnalistik hanya mengatur proses wartawan untuk mencari dan menginformasikan berita secara ideal.
Untuk itu, dalam disertasinya, Nynda menyampaikan dua argumentasi dalam mengatasi problem tersebut. Yakni, harus ada rule of the game dalam Undang-Undang Pers mengenai kejelasan profesi wartawan dan apa saja kewenangannya. Kedua, kehadiran undang-undang khusus yang mengatur media sosial. (elo/c6/nda)