Jawa Pos

Sebelum Berangkat, Suami Anjurkan Baca Salawat 2.000 Kali

Purbowati terus mengucap syukur. Sebab, dia selamat dari maut dalam kecelakaan di Tawangmang­u. Namun, saat ditemui Jawa Pos di rumahnya kemarin, dia kerap meneteskan air mata.

- FIRMA ZUHDI ALFAUZI

’’LHO Pak, remnya blong tah?’’ ucap Purbowati, salah seorang korban selamat kecelakaan maut di Tawangmang­u, kala menirukan teriakan Zurroh tepat sebelum bus Solaris Jaya yang mereka tumpangi terjun ke jurang.

Teriakan Zurroh, kepala SDN Jimbaran Wetan yang baru, itu membangunk­an Purbowati dari tidurnya. Begitu melek, warga RT 12, RW 4, Desa Kenongo, Tulangan, tersebut hanya bisa membatin. ’’ Lho, iya ini, jalanan turun banget kok nggak direm sama sekali,’’ katanya kala itu. Tidak lama kemudian, Purbowati berteriak kencang. ’’Kok malah masuk ke tanaman-tanaman,’’ ucapnya. Dia tidak sadar bahwa bus yang ditumpangi saat itu sudah terperosok ke jurang. Bruaakkk!! Bunyi kencang terdengar dari bagian depan bus. Bersamaan dengan itu, bus terhenti

Tubuh perempuan yang akrab disapa Wati tersebut terpelanti­ng ke kursi bus paling belakang. Padahal, tempat duduk Wati sebelumnya berada di urutan keempat dari belakang. Belum sempat berdiri, satu per satu penumpang lain menindih badannya. Jatuh terpental di posisi yang sama dengan Wati. Semakin lama orang yang di atasnya semakin banyak.

Saat itu Wati yang menjadi wali kelas I SDN Jimbaran Wetan tersebut hanya pasrah. Posisinya terjepit. Napasnya mulai sesak. ’’ Ya Allah, aku nggak iso ambekan (tidak bisa bernapas),’’ ujarnya. Bibir pasrah Wati kala itu mengalun berdoa. ’’Jika harus mati, matikan aku dengan khusnul khatimah,’’ ungkapnya.

Di posisi terjepit, ibu dua anak tersebut ma sih sadar. Matanya masih terbuka pelan. Namun, semua yang di hadapannya seakan me redup. Gelap. Tampak seperti meng hitam. Padahal, kecelakaan itu terjadi siang. Bahkan, baju rekan- rekannya terlihat hitam. Telinga Wa ti tidak lagi peka. Dia pun tidak mendengar suara apa pun. ’’ Yang terlihat jelas saat itu pin tu bus ba gian belakang ada di atas saya,’’ ungkap nya.

Tidak ada lagi yang bisa diperbuat Wati. Mau bangkit pun tidak sanggup. Namun, tubuhnya tiba-tiba merasa lebih ringan. Beban di atasnya terasa mulai berkurang. ’’Itu saya rasakan saat ada warga yang mulai menolong kami. Ternyata ada yang mengangkat rekan yang berada di atas saya,’’ paparnya.

Kemudian, tiba giliran Wati yang diselamatk­an. Matanya masih terbuka. Dia masih sadar. Namun, pikirannya sudah tidak fokus. Tatapan matanya kosong. Bahkan, Wati tidak merasakan bahwa kakinya berjalan sendiri saat dituntun warga dari bawah jurang hingga ke rumah warga. Padahal, jaraknya cukup jauh. ’’Baru tersadar saat di rumah warga. Tangan kiri saya lecet, rok saya sobek,’’ ucapnya.

Bukan itu yang ada di dalam bayang-bayang Wati. Namun, rekan lainnya di bus Solaris Jaya serta suaminya Agus Salim di rumah. ’’Saat itu juga saya pinjam HP ke warga untuk menelepon suami,’’ cerita ibu dari Fatkhiyatu­s Salim dan Syafiqo Syamsia Salim tersebut.

Tidak lama di rumah warga, Wati dilarikan ke Puskesmas Tawangmang­u. Beberapa rekan satu rombongan juga dibawa ke puskesmas. Karena tidak terluka parah, Wati hanya duduk di lobi puskesmas. Dia terus berupaya menenangka­n diri. Tatapan mata Wati tiba-tiba melihat rekannya Ria Resbara. Perempuan yang juga guru SDN Jimbaran Wetan itu digeledek melewatiny­a menuju bagian belakang. Wati melihat slang yang terpasang di wajah Ria.

Dia semakin shock saat melihat dokter tiba-tiba menekan dada Ria berulang-ulang. Terlihat seperti membangunk­annya. Tubuh rekannya itu tetap tidak bergerak. Kaku. Tidak lama setelah itu, petugas menutup wajah Ria dengan selimut. Setelah tertutup, Ria diangkut ke ruangan khusus. ’’Lho Pak, kok Ria wajahnya ditutup. Nanti nggak bisa napas gimana Pak? Kok dimasukkan di ruangan itu juga,’’ tanya Wati kepada petugas di dekatnya saat itu.

’’Nggak apa-apa Bu, itu cuma biar nggak dingin saja. Itu bukan teman ibu juga,’’ ucap petugas yang saat itu mendamping­inya. ’’Itu teman saya Pak,’’ ucap Wati. Belum selesai cerita, air mata Wati menetes. Sesengguka­n. Hatinya teriris, perih, kala mengingat kejadian tersebut.

’’Padahal, malam sebelumnya waktu menginap di Telaga Sarangan, saya masih sempat nyelimutin Ria. Dia bilang kalau malam itu dia kedinginan,’’ ungkapnya.

Tidak lama setelah kedatangan Ria di puskesmas, Wati juga melihat Abah Wandi. Begitu Wati biasa menyapa mantan kepala sekolahnya tersebut. Suwandi digeledek ke ruangan bersama Ria. Tangis Wati kala itu semakin pecah. Apalagi, Wati teringat bahwa dirinya baru saja mendamping­i Abah Wandi menerima kado dari Zurroh saat di Telaga Sarangan. Bahkan, Wati sempat ikut terfoto.

’’Semua foto sudah saya hapus. Saya nggak mau ingat-ingat lagi, biarlah jadi kenangan saja,’’ katanya.

Wati merasa bahwa anjuran suaminya untuk membaca salawat nabi 2.000 kali setiap hari sejak tiga hari sebelum berangkat tersebut bisa jadi yang menyelamat­kannya. Bahkan, dia hanya mengalami lecet di kaki kiri dan tangan kirinya. ’’Saya nggak mikir panjang-panjang. Nurut saja perintah suami,’’ jelas Wati.

Hingga satu hari sebelum kejadian, Wati selalu membaca salawat tepat 2.000 kali. Namun, pada Minggu saat hari H kejadian itu, 2.000 kali salawat yang dianjurkan suaminya belum selesai terbaca. ’’Masih membaca sekitar 1.000 kali,’’ paparnya.

Wati memang tidak butuh perawatan intensif. Senin dini hari (27/3) Wati dijemput langsung oleh suaminya di RSUD Karanganya­r untuk kembali pulang ke Tulangan. Dia pun siap meneruskan kembali mengabdi demi masa depan anak-anak negeri. Ya, di SDN Jimbaran Wetan. (uzi/c15/hud)

 ?? FIRMA ZUHDI/JAWA POS ?? BERSYUKUR: Sejumlah rekan membesuk Purbowati di Desa Kenongo, Tulangan.
FIRMA ZUHDI/JAWA POS BERSYUKUR: Sejumlah rekan membesuk Purbowati di Desa Kenongo, Tulangan.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia