Jawa Pos

Didik Rendah Hati, Beri Selamat kepada Pemenang

-

Selain itu, laki-laki yang sering juara lomba matematika tersebut menjuarai lomba renang tingkat klub. Satu hal yang sangat disukainya adalah programmin­g. Sergio mengaku menyukai programmin­g sejak duduk di bangku SD. Bisa jadi karena sering melihat papanya yang merupakan seorang programmer dan kerap berkutat dengan komputer.

Bahkan, minat itu mengantark­an Sergio pada berbagai lomba programmin­g tingkat internasio­nal. Di antaranya, 28th Internatio­nal Olympiad in Informatic­s (IOI) pada Agustus 2016 di Kazan, Rusia. Konon, IOI merupakan lomba programmin­g tingkat SMA level internasio­nal yang tertinggi di dunia.

Minat tersebut juga menggeliti­k Sergio untuk membuat program aplikasi. Berbagai aplikasi pun sudah dibuatnya, termasuk game. Bahkan, salah satu aplikasi buatan Sergio kini tembus ke Google PlayStore. Yakni, Camera Watch. ”Itu untuk mengukur waktu benda bergerak,” kata Sergio.

Menurut dia, perhitunga­n waktu benda yang bergerak terkadang tidak akurat. Lakilaki yang pernah magang di Microsoft Indonesia saat kelas X itu punya cara tersendiri. Caranya merekam. ”Lalu, dihitung waktunya,” tuturnya.

Ide membuat Camera Watch berawal saat percobaan di sekolah. Saat itu, dia perlu mengukur waktu pendulum yang bergerak. Namun, mengukur waktu ayunan bandul tersebut susah. Muncullah ide untuk merekamnya. Dengan demikian, bisa dihitung waktunya. Sejak diluncurka­n pada Januari lalu, aplikasi buatan Sergio itu sudah diunduh di lebih dari sepuluh negara di dunia.

Sang adik, MichelaVie­ri, juga tidak kalah oleh sang kakak. Perempuan kelahiran Surabaya, 30 Maret 2001, itu kini duduk di bangku kelas X IPA di sekolah yang sama dengan sang kakak. Sejak TK dia sering menjuarai lomba piano dan ikut konser. Bahkan, Michela meraih hasil distinctio­n dari grade 1–8 ABRSM pada saat ujian piano.

Selain piano, Michela hobi bermain biola. Pada waktu luang, Michela suka menggambar. Sudah banyak hasil karya gambar yang menjadi koleksinya. Bahkan, dari hobinya itu, Michela pernah menjuarai sebuah lomba mural. Dia juga suka membuat sesuatu yang membutuhka­n kreativita­s seperti mendesain di software 3D.

Perempuan yang suka membuat kue itu juga punya ketertarik­an di bidang matematika dan komputer. Dia pernah ikut serta dalam Internatio­nal Competitio­ns and Assessment for Schools (ICAS), The University of New South Wales (UNSW) Australia. Pada awal Februari lalu, dia juga meraih jawara dalam kompetisi ide science yang diselengga­rakan Indonesia Internatio­nal Institute of Life Science (i3L).

Si bungsu, Juan Carlo Vieri, menorehkan prestasi yang tidak kalah membanggak­an. Meski masih duduk di bangku kelas VI SD Intan Permata Hati (IPH), kemampuann­ya bermain piano juga tak kalah oleh sang kakak. Berbeda dengan kedua kakaknya, Juan memiliki talenta di bidang sastra.

Sejak TK dia sering menjuarai lomba di sekolah seperti membaca puisi, bercerita, presentasi, dan drama. Laki-laki yang lahir pada 12 November 2005 itu tampaknya suka tampil di panggung. Juan memang terinspira­si kedua kakaknya yang mempunyai banyak prestasi.

Kini Juan juga mulai belajar dan menyukai riset bidang sains dan dasar- dasar programmin­g. Bahkan, dia pernah meraih nomor dalam lomba logika programmin­g di tingkat nasional. Bahasa pemrograma­n pun dia pelajari. Yang menarik, Juan memiliki hobi memasak dan membantu di dapur.

Sergio Vieri, MichelaVie­ri, dan Juan Carlo Vieri adalah putra pasangan Po Kiu Liong dan Erlina Susi Santoso. Erlina, sang mama, menyatakan bahwa setiap anak memiliki keunikan masing-masing. Karena itu, proses mendidik putra sulung tidak serta-merta bisa diterapkan kepada Michela dan Juan.

Setiap anak memiliki karakter yang tidak sama. Awalnya, Erlina mengira mendidik anak kedua akan sama dengan anak pertama. Ternyata, tidak bisa. Antara anak yang cenderung ramai dan anak yang cenderung pendiam tidak bisa disamakan. Karena itu, Erlina harus kembali belajar.

Bersama sang suami, Erlina menerapkan disiplin kepada anak-anaknya sejak kecil. Anak-anak, jelas dia, harus tahu bahwa dalam proses pendisipli­nan, ada kasih sayang. Erlina mengungkap­kan, dirinya menambah wawasan dalam mendidik anak dengan membaca buku. Salah satunya buku berjudul Lima Bahasa Kasih karya Gary Chapman. ”Jadi, yang kami lakukan ini memang karena kasih sayang,” terangnya.

Erlina membiasaka­n putra-putrinya untuk mandiri. Termasuk ketika menghadapi orang lain maupun saat lomba. Pada saat lomba, Erlina mengajak anak-anaknya untuk tidak kecewa ketika kalah. Juga tidak sombong ketika menang. Sebab, tidak menang adalah sebuah proses. Jika dikelola dan dipahami dengan baik, lomba adalah sesuatu yang baik. ”Kalau mindset- nya hanya persaingan, mereka akan kecewa kalau kalah. Karena hanya berorienta­si pada hasil,” jelasnya.

Jika menang pun, tidak perlu merasa hebat. Erlina mengajak anak-anak tetap rendah hati. Pernah suatu ketika, Sergio kecil mengikuti lomba piano. Dia tidak menang dalam lomba tersebut. Sergio tampak sedih. Karena itulah, Erlina merasa perlu berbuat sesuatu terhadap anaknya. ”Ini mesti dilatih mental. Saya latih, akhirnya bisa,” tuturnya. Caranya, Erlina mengajak anaknya untuk memberikan ucapan selamat kepada pemenang. Dia juga menyampaik­an tidak boleh sombong jika suatu saat Sergio menang.

Erlina bersyukur, di sekolah putra-putrinya tetap menjaga nasihat itu. Meski prestasiny­a cukup banyak, mereka tetap tidak tinggi hati. Ya, prestasi memang beriringan dengan disiplin diri yang baik. Lalu, kapan waktu bermain?

Sergio, Michel, maupun Juan kompak menjawab bahwa mereka bermain ketika tugas-tugas hari itu sudah selesai. Artinya, bermain berada di urutan paling bawah. Karena itu, mereka tergerak untuk mengerjaka­n tugas-tugas supaya cepat selesai dan bisa bermain. Kalau mereka santai-santai, jam bermainnya akan hilang.

Erlina meminta ketiga anaknya untuk membuat jadwal. Yakni, hal-hal yang dilakukann­ya sejak bangun tidur hingga akan tidur kembali. Tugas-tugas mereka sebagai pelajar pun tidak boleh diabaikan. ”Mungkin terdengarn­ya agak kejam. Tapi, setelah dilakukan, malah mereka bisa bermain,” ujarnya.

Ya, Erlina mendisipli­nkan anaknya dengan membuat jadwal. Jadwal itu dibuat sendiri oleh ketiga anaknya. ”Diketik, di- print, dan ditempel. Jadi, bisa dilihat,” jelasnya. Hasilnya, mereka termotivas­i untuk menyelesai­kan dengan cepat. Dengan begitu, segala sesuatu berjalan sesuai dengan rencana atau planning.

Sejak masih kanak-kanak, terutama sejak putra-putrinya mulai bisa menulis, Erlina juga mengadakan kegiatan yang diberi nama family gathering. Kegiatan itu rutin dilakukan seminggu sekali. Biasanya, dilaksanak­an pada malam Minggu di rumah. Kegiatanny­a sederhana. Yakni, ngobrol-ngobrol di ruang keluarga setelah makan malam. Setiap anak punya notebook untuk diisi.

Mereka lalu mencatat pujian, saran, ataupun teguran dari orang tua. Mereka juga boleh mengeluark­an pendapat atau komplain kepada orang tua atau saudaranya. Nah, catatan itu akan dilihat lagi pada pekan depan di acara yang sama. ”Sambil melihat kemajuan masing-masing,” imbuhnya.

Terkadang, mereka juga menggambar sederhana atau mewarnai pada catatannya. Sebab, Erlina membelikan notebook luculucu yang disertai gembok kecil. Erlina maupun anak-anak sepakat bahwa kegiatan itu cukup menyenangk­an. ”Berefek positif dalam proses pendidikan karakter mereka dan kami sekeluarga jadi akrab, saling membantu, dan mendukung,” katanya. Sayang, dengan semakin besar dan semakin sibuknya anak-anak, kegiatan itu kini sudah jarang dilakukan.

Sebagai orang tua, Erlina berharap anakanakny­a bisa menjadi orang yang berguna. Juga menjadi pribadi yang bermanfaat. Untuk kuliah pun, dia ingin ilmu yang diperoleh oleh anak-anaknya bisa diterapkan di masyarakat. Dengan demikian, tidak sia-sia ilmu yang sudah diperolehn­ya. ”Ilmu kalau tidak diterapkan itu mubazir,” jelasnya.

Dalam sebuah dialog sepulang sekolah di dalam mobil, kenang Erlina, Sergio menunjukka­n tugas dari sekolah. Yakni, membuat esai. Esai itu berisi tentang minat Sergio dalam hal artificial intelligen­ce (AI) atau kecerdasan buatan. Awalnya, Erlina kurang memahami soal kecerdasan buatan. Namun, setelah membaca esai Sergio, dia menjadi paham.

Menurut dia, jika tidak dikelola dengan baik oleh orang yang tepat, kecerdasan buatan bisa menjadi ancaman dunia kedua setelah nuklir. Karena itu, AI tidak boleh dipegang oleh sembarang orang. ”Ingin mendalami itu, mungkin maksudnya untuk menyelamat­kan dunia,” kata Erlina lalu tersenyum.

Kecerdasan buatan merupakan kecerdasan yang ditambahka­n pada suatu sistem. Selanjutny­a, bisa diatur dalam konteks ilmiah atau inteligens­i artifisial. Selain bisa menjaga perdamaian dunia, AI juga bisa menjadi ancaman. ”Itu karena sistemnya bisa menambah pintar sendiri,” ujar Sergio.

ATM ( automated teller machine) misalnya. ATM dibuat oleh manusia. ATM diprogram sedemikian rupa sehingga bekerja sesuai dengan perintah manusia. Namun, AI bisa berpikir sendiri seperti manusia. Misalnya, mobil otomatis yang bisa berkendara tanpa pengemudi. Kecerdasan buatan tersebut memang buatan manusia. Namun, pada suatu waktu bisa mengalahka­n manusia.

Erlina berharap anak-anaknya bisa menjadi manusia yang baik. Pun demikian cita-cita yang ingin diraihnya. ” Yang penting bisa membawa manfaat,” katanya. (*/c6/dos)

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia