Jawa Pos

Bahaya Laten Kesenjanga­n

- KACUNG MARIJAN* * Guru besar FISIP Universita­s Airlangga dan wakil rektor Unusa

LEBIH dari satu dekade terakhir ini, kinerja ekonomi Indonesia tergolong moncer meskipun bukan yang paling moncer di dunia. Di tengah-tengah krisis ekonomi pada 2008 dan tahun-tahun belakangan, ekonomi Indonesia masih bisa survive, tumbuh di atas rata-rata ekonomi dunia. Indonesia juga telah masuk sebagai bagian dari 20 kekuatan ekonomi besar dunia.

Di balik kinerja seperti itu, terdapat ironi yang terjadi, yakni masih kuatnya kesenjanga­n. Pertama adalah kesenjanga­n antarwilay­ah. Perkembang­an perekonomi­an Indonesia masih terkonsent­rasi di wilayah tertentu, yakni Jawa dan Sumatera, serta beberapa wilayah di luar itu.

Kedua, kesenjanga­n antarkelom­pok sudah memasuki kategori yang harus kita pikirkan secara serius. Gini ratio dalam enam tahun terakhir ini relatif konstan, yakni 0,41 antara 2011 sampai 2015 dan 0,40 pada 2016. Di dalam gini ratio, angka yang mendekati 1 berarti adanya kesenjanga­n yang sangat melebar dan yang mendekati 0 berarti kurang ada kesenjanga­n.

Adanya gini ratio yang mendekati wilayah lampu kuning itu menunjukka­n bahwa yang paling banyak menikmati pertumbuha­n ekonomi selama ini tidaklah semua orang, melainkan terkonsent­rasi pada orang tertentu dan berada di wilayah tertentu pula.

Secara ekstrem, kesenjanga­n itu dikemukaka­n oleh Oxfam, sebuah organisasi internasio­nal yang banyak menyoroti masalah kemanusiaa­n. Sebagaiman­a dilansir oleh The Guardian (23/2/17), kekayaan 4 orang terkaya di Indonesia itu setara dengan kekayaan 100 juta orang miskin di Indonesia. Sekiranya data yang disampaika­n oleh Oxfam ini benar, kesenjanga­n sosial di Indonesia sudah masuk dalam kategori yang mengkhawat­irkan.

Memang, kalau dilihat dari data yang lain, masalah kesenjanga­n seperti itu sepertinya tidak terlalu mengkhawat­irkan. Di saat gini ratio berada pada kisaran 0,4, jumlah orang miskin –baik yang relatif maupun absolut– mengalami penurunan. Kalau pada 2007 kelompok miskin relatif mencapai 16,6 persen dari jumlah penduduk, pada 2016 jumlahnya sudah menurun pada kisaran 10 persen.

Betapa pun kelompok miskin mengalami penurunan, adanya kesenjanga­n itu mengindika­sikan bahwa belum semua warga negara menikmati pertumbuha­n ekonomi Indonesia yang tergolong menggembir­akan kalau dibandingk­an dengan negara-negara lain. Lebih-lebih, jumlah kelompok yang tergolong rentan miskin atau sering disebut sadikin (sakit sedikit menjadi miskin) juga masih cukup besar.

Adanya kesenjanga­n semacam itu juga mengindika­sikan bahwa kualitas pertumbuha­n ekonomi Indonesia belumlah sehat sepenuhnya.

Memang, upaya mengatasi kesenjanga­n tidaklah mudah. Perdebatan demikian sudah lama terjadi, misalnya antara kelompok penganut klasik dan neo-klasik dengan kelompok marxis dan neo-marxis. Tetapi, sejauh ini belum ada resep cespleng yang bisa dipakai di banyak tempat.

Satu resep yang sering dipakai adalah terkait dengan keterlibat­an negara dalam mengatasin­ya. Hal ini bukan semata-mata karena otoritas yang dimiliki negara itu yang bisa mengikat siapa pun yang menjadi warga negaranya. Negara itu pada dasarnya didirikan memang untuk membangun keadilan di antara warganya, termasuk keadilan di bidang ekonomi.

Intervensi negara dalam mengatasi kesenjanga­n, antara lain, melalui kebijakan fiskal. Negara memungut pajak dari kelompok-kelompok yang memiliki pendapatan lebih, termasuk melalui instrumen pajak progresif, dan mendistrib­usikannya atau meredistri­busikannya ke kelompokke­lompok yang kurang atau tidak beruntung. Distribusi atau redistribu­si itu bisa berbentuk penyediaan barang-barang dan layanan-layanan publik yang bisa dinikmati oleh semua orang maupun dalam bentuk layanan-layanan khusus untuk individu-individu kelompok-kelompok tertentu seperti adanya jaminan sosial dan subsidi.

Praktik semacam itu cukup lama terjadi di negara-negara yang menganut model negara kesejahter­aan ( welfare-state), sebagaiman­a terjadi di sejumlah negara di Eropa dan negara lain seperti Australia. Kalau kita lihat, konstitusi kita juga memiliki kecenderun­gan menganut model demikian, seperti adanya amanat bahwa fakir miskin dan orang-orang telantar dipelihara oleh negara.

Tetapi, praktik negara kesejahter­aan juga tidak lepas dari kritik. Praktik demikian dianggap tidak adil karena melakukan keberpihak­an berlebih terhadap orang-orang yang tidak memiliki pendapatan cukup. Para pengkritik beranggapa­n bahwa anggaran yang diperoleh dari pajak itu akan lebih bermanfaat manakala dialokasik­an ke sektor-sektor dan wilayah-wilayah yang mampu mengungkit pertumbuha­n ekonomi. Ketika hal ini dilakukan, tenaga kerja yang terserap akan lebih besar.

Meski demikian, kritik semacam itu tidak menyurutka­n pandangan tentang pentingnya peran negara dalam mengatasi kesenjanga­n sosial. Betapa pun kuat di antara para penganut ekonomi pasar, peran pasar yang mampu mengatur diri sendiri ( self regulated market) tidak juga diikuti seluruhnya oleh banyak negara. Negara-negara yang paling liberal sistem ekonominya tetap menggunaka­n instrumen otoritas tertentu yang dimiliki oleh negara untuk mengatasi masalah kesenjanga­n sosial.

Di Indonesia, masalah kesenjanga­n antarwilay­ah dan kelompok harus lebih serius diperhatik­an karena memiliki potensi sebagai bahaya laten bagi munculnya konflik sosial. Selain terkait dengan kemungkina­n munculnya ledakan sosial di wilayah-wilayah tertentu, realitas bahwa yang terkategor­i sebagai penikmat kekayaan itu adalah kelompok etnis dan agama tertentu juga memiliki potensi munculnya ketegangan­ketegangan yang bercorak rasial.

Adanya kebijakan yang bercorak afirmatif kepada wilayah dan kelompok tertentu memang sangat penting. Tetapi, yang tidak kalah penting adalah adanya pemberian kesempatan yang lebih besar kepada wilayah dan kelompok tertentu itu untuk tumbuh dan berkembang. Juga adanya ruang-ruang publik yang memungkink­an kelompok-kelompok yang diuntungka­n dan tidak diuntungka­n untuk bertemu, berinterak­si, serta bekerja sama untuk tumbuh dan berkembang secara bersama.

Kebijakan-kebijakan semacam itu memungkink­an tumbuhnya kesadaran bahwa Indonesia itu didirikan secara bersama-sama dan merupakan tempat untuk memperoleh dan menikmati kesejahter­aan secara bersama pula. Semoga. (*)

 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia