Membangun Poros Baru Indonesia-Saudi
KUNJUNGAN Raja Salman bin Abdulaziz Al Saud ke Jakarta, 1–9 Maret, tentu saja merupakan kado istimewa bagi bangsa Indonesia. Rombongan besar sang raja yang berisi 1.500 orang, meliputi 10 menteri dan 25 pangeran, menjadi penanda bahwa Indonesia dianggap sebagai mitra penting bagi Saudi.
Indonesia memiliki leverage sebagai negara dengan populasi muslim terbesar di dunia dengan karakter moderat. Karena itu, Kerajaan Saudi melihat Indonesia dari sudut pandang politik idealis, sebagai saudara jauh yang kembali dikunjungi setelah jeda 47 tahun.
Dari sisi politik realis, Saudi menganggap Indonesia sebagai salah satu negara dengan potensi alam yang sangat besar. Indonesia sekaligus menjadi pemain kunci dalam hubungan multilateral karena politik bebas-aktif mengizinkan Indonesia untuk dekat dengan semua negara dan membuat Indonesia disegani.
Melirik Asia Jika melihat situasi yang tengah berkembang di Timur Tengah, ada sejumlah alasan strategis yang menjadi pertimbangan Raja Salman memilih kawasan Asia-Pasifik. Pertama, Asia-Pasifik merupakan kawasan yang relatif lebih stabil untuk iklim investasi karena minimnya potensi konflik militer jika dibandingkan dengan Timur Tengah yang selama lima tahun terakhir tidak menunjukkan tanda-tanda akan stabil.
Kedua, Asia memiliki sejumlah kekuatan ekonomi yang bisa menjadi mitra bagi Saudi yang laju pertumbuhan ekonominya tengah melemah. Penyebabnya, gejolak politik internasional berdampak pada anjloknya harga minyak dunia yang merupakan andalan Saudi.
Ketiga, Saudi sangat menyadari pentingnya mengubah haluan politik luar negeri yang selama ini cenderung pasif dan mengikuti ritme kebijakan Amerika Serikat (AS) dan Barat secara keseluruhan. Cara itu ternyata telah berbuah pahit bagi kerajaan mengingat fakta bahwa pada periode kedua pemerintahan mantan Presiden AS Barack Obama, Saudi merasa diabaikan Washington karena membangun kedekatan dengan Iran yang merupakan rival Saudi. Ekspresi protes Saudi ditunjukkan dengan menolak jatah kursi anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB pada 2013.
Potensi Indonesia-Saudi Mengubah haluan politik luar negeri membawa Saudi pada opsi men- cari mitra sebanyak-banyaknya, baik untuk kepentingan dagang maupun politik keamanan. Indonesia memiliki sejumlah potensi yang bisa ditawarkan kepada Saudi, mulai isu ekonomi, politik, hingga keamanan.
Dari sisi ekonomi, Indonesia memiliki potensi alam laut yang begitu besar. Potensi itu seharusnya menjadi salah satu prioritas dalam pertemuan kedua kepala negara di Jakarta. Saudi bisa dijadikan mitra kerja sama dalam bidang pengelolaan industri perikanan lengkap dengan turunannya. Jika Indonesia mampu menjadikan Saudi sebagai gerbang masuk produk perikanan, dengan sendirinya Indonesia sudah bisa menguasai negara sekitarnya seperti Yaman, Lebanon, Kuwait, dan Timur Tengah secara umum.
Selain di bidang perikanan, Indo- nesia perlu mendorong lebih banyak perusahaan Indonesia untuk bisa terlibat dalam proyek-proyek pembangunan infrastruktur yang gencar dilakukan Saudi.
Dari sisi isu keamanan, Indonesia bisa menjadi pemasok alternatif kebutuhan senjata Saudi. Sebab, dari laporan terakhir SIPRI 2017, berdasar tren penjualan senjata dalam jumlah paling besar setelah Perang Dingin, negara-negara Timur Tengah merupakan importer tertinggi dalam periode lima tahun terakhir. Krisis di kawasan itu menjadi alasan wajar terkait dengan tingginya impor senjata. Dari total keseluruhan penjualan senjata, Saudi berada di urutan kedua setelah India sebagai konsumen senjata terbesar di dunia yang sebagian besar didatangkan dari AS dan Inggris (SIPRI, 2017).
Dengan logika diversifikasi senjata, Indonesia seharusnya bisa menawarkan produksi PT DI dan PT Pindad yang secara kualifikasi telah memenuhi standar PBB, setidaknya untuk senjata pendukung dengan teknologi menengah. Skema lain yang bisa dimanfaatkan di tengah kebutuhan yang besar dari Saudi adalah menggandeng Saudi sebagai investor untuk pengembangan produk-produk pertahanan berteknologi tinggi yang membutuhkan dana besar, baik untuk kebutuhan riset maupun produksi.
Di luar agenda bisnis dan politik, kedua negara memiliki tanggung jawab moral untuk berperan dalam mengatasi krisis kemanusiaan yang sedang berlangsung di Syria, Iraq, Libya, dan Yaman. Ketokohan Saudi di antara negara-negara Islam dan posisi Indonesia yang bersahabat dengan semua negara Islam bisa menjadi kombinasi yang tepat untuk memecahkan kebuntuan konflik di Timur Tengah.
Indonesia harus menjadi pendengar yang baik sekaligus pemberi nasihat yang bijak terkait dengan gejolak Timur Tengah yang telah berdampak serius bagi Saudi dan komunitas Islam secara keseluruhan. Persepsi negara muslim sebagai negara yang tidak aman investasi sebagai akibat teror dan konflik militer sudah seharusnya diakhiri secepatnya.
Akhirnya, kehadiran raja Saudi menjadi momentum bagi Indonesia untuk memupuk kepercayaan diri dalam menentukan arah politik global sekaligus mendatangkan manfaat sebesarbesarnya untuk Indonesia. (*)