Tidak Semua Terhukum Harus Dipenjara
Kondisi itu membuat aktivitas napi terganggu. Mereka menuntut pelayanan yang layak. Utamanya terkait dengan ketersediaan air bersih dan septic tank.
”Bisa dibayangkan, 300 (kapasitas, Red), 1.700 lebih isinya,” kaya Yasonna di kompleks istana kepresidenan, Jakarta, kemarin (2/3).
Langkah yang memungkinkan adalah menggeser sebagian napi di lapas itu ke lapas lain. ” Yang sudah inkracht kami geser ke daerah-daerah lain untuk mengurangi overkapasitas,” ujar menteri dari PDI Perjuangan itu.
Masalahnya, sebagian besar lapas lain juga overkapasitas. Namun, pemerintah tidak punya cara lain. Menurut Yasonna, hanya itu langkah yang realistis. ”Kita lihat suasananya seperti apa. Kalau nanti ada napi (kasus, Red) berat-berat, mungkin bisa kami geser,” tutur dia.
Kerusuhan di Lapas Kelas II-A Jambi diduga dipicu penolakan warga binaan terhadap razia narkoba yang dilakukan oleh polisi dan petugas lapas. Mereka mengamuk dan membakar gedung koperasi serta pondok peristirahatan di area dalam lapas. Dengan memanfaatkan suasana chaos, empat napi kabur.
”Informasi awal memang itu (menolak razia, Red). Tapi, kami masih selidiki lagi,” kata Kasubbag Publikasi Humas Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjenpas) Kemenkum HAM Syarpani.
Berdasar data Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI), tahun lalu terjadi kerusuhan di empat lapas. Yakni, Lapas Narkotika Kelas II-A Banceuy (Bandung), Lapas Kelas II-B Kuala Simpang (Aceh), Lapas Kelas II-A Kerobokan ( Denpasar), dan Lapas Malabero (Bengkulu). ”Penyebabnya sama,” ungkap Koordinator Program PBHI Julius Ibrani kepada Jawa Pos kemarin.
Pemicunya adalah overkapasitas lapas. Penyebab lainnya adalah pelayanan yang buruk. Jumlah sipir dengan penghuni lapas tidak sebanding. Total penghuni Lapas Kelas II-A Jambi saat ini 1.750 orang. Sedangkan jumlah sipir hanya 61 orang. Artinya, setiap sipir harus mampu menjaga 28 penghuni lapas. Dengan kondisi tersebut, kerusuhan amat rentan terjadi.
Kondisi itu dijumpai di seluruh Indonesia. Di Jambi, misalnya, 6 di antara 8 lapas overkapasitas. Hanya Lapas Kelas III Sarolangun dan Lapas Narkotika Kelas III Muara Sabak yang jumlah penghuninya di bawah kapasitas maksimal. Overkapasitas di Lapas Kelas II-A Jambi mencapai 694 persen.
Pemerintah harus mengambil langkah taktis. Yakni, menyaring penghuni lapas. Sebanyak 34 persen dari total penghuni lapas di tanah air adalah tahanan dan narapidana kasus narkotika. Jumlahnya 68.118 orang.
Menurut Julius, perspektif penanganan dan proses hukum terhadap kasus narkotika belum berubah. Yakni, menjadikan penjara sebagai alat untuk menghukum pelaku. Padahal, tidak semua yang terlibat kasus narkotika harus dipenjara. ”Bisa direhabilitasi,” jelasnya. Apabila disaring dengan baik, penghuni lapas yang berlatar belakang kasus narkotika bakal berkurang. Nah, hal itu akan menurunkan angka penghuni lapas.
Cara lain adalah menyaring kasus yang melibatkan anak di bawah umur. Tidak semua anak di bawah umur yang terlibat persoalan hukum harus mendekam di penjara. Setelah menyaring dan mengurangi jumlah penghuni lapas, masalah lain bisa diselesaikan secara bertahap. Pelayanan diperbaiki. Dengan demikian, tekanan terhadap penghuni lapas turun. ”Dengan begitu, permasalahan di lapas terjawab dari akarnya,” kata Julius.
Sementara itu, polisi terus mengejar empat tahanan Lapas Kelas II-A Jambi yang kabur. Perinciannya, tiga napi kasus narkotika dan satu napi kasus penganiayaan. ”Empat tim dibentuk. Masing-masing tim berjumlah lebih dari lima petugas. Mereka akan menyisir hingga ke setiap keluarga napi,” kata Kabagpenum Divhumas Mabes Polri Kombes Martinus Sitompul.
Jika para napi itu tidak menyerahkan diri, petugas akan bertindak tegas dan terukur. ”Cepat atau lambat, pasti yang kabur ini tertangkap,” ucap dia.
Martinus menjelaskan, lapas memang menjadi salah satu objek dalam patroli. Termasuk razia. Personel yang disiapkan mencapai seratus orang untuk dua blok. ” Tetapi, mereka melakukan perlawanan dengan melempar batu dan membakar barangbarang,” katanya.
Sosiolog Imam B. Prasodjo mengatakan, persoalan di lapas bisa diselesaikan dengan melakukan evaluasi secara kelembagaan. Terutama soal manajemen pembinaan napi di dalam lapas. Menurut dia, sistem pembinaan lapas saat ini belum bisa diandalkan bila masih bergantung pada kebijakan menteri.
Lapas dan rumah tahanan (rutan) semestinya dikelola badan yang terpisah dari birokrasi. Dengan demikian, pembinaan napi dan pengelolaan area dalam lapas bisa lebih fokus tanpa harus mengedepankan struktur birokrasi yang rumit. ”Masalah lapas ini kan banyak unitnya, saya khawatir (Ditjen Pas) kurang fokus,” ujar Imam saat dihubungi Jawa Pos kemarin.
Lapas dan rutan bisa dikelola secara berkelanjutan oleh badan tersebut. Bahkan, bisa dikombinasikan dengan program-program produktif. Tentu dengan melibatkan para napi untuk menjadi tenaga terampil.
Selain itu, pemerintah harus mengevaluasi lembaga penegak hukum. Selama ini aparat menganggap bahwa pelanggar hukum harus dijebloskan ke penjara. Kondisi itu yang memicu lapas dan rutan selalu overkapasits.
Menurut Imam, tidak semua orang yang melanggar hukum mesti mendekam di dalam lapas. Ada beberapa kategori pelanggaran yang sejatinya bisa diarahkan ke model pembinaan lain sebagai ujung proses hukum terakhir. Misalnya, tindak pidana yang dilakukan anak-anak dan pelaku narkoba. ”Mestinya ada semacam lembaga pendidikan (untuk pembinaan pelaku tindak pidana anak-anak, Red),” ucapnya. (tyo/idr/syn/byu/c11/c7/ca)