Terinspirasi Nama Menteri Orba hingga Film India
Hikayat tersebut diceritakan kembali oleh Panglima Raja Haryono Sri Bijawangsa yang merupakan pimpinan Suku Laut di Indonesia. Dia menyatakan, Sri Bijawangsa adalah gelar kehormatan. Sudah ratusan tahun keluarganya menyembunyikan diri sebagai pemilik gelar itu.
”Tetapi, sekarang sudah berbeda zaman. Sekarang waktunya kami menunjukkan diri,” ungkap Haryono ketika ditemui di kantor Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Riau pertengahan Februari lalu.
Haryono mengungkapkan, sejak terpisah, orang-orang Suku Laut yang dia sebut awalnya berasal dari kawasan Filipina Selatan tidak pernah lagi berkumpul. Nah, hanya yang bergelar Sri Bijawangsa-lah yang bisa memanggil mereka untuk berkumpul kembali. Dan, rencana itu telah dirancang.
Menurut staf ahli Kadisdikbud Riau Dr H Kamsol itu, orang-orang yang lama terpisah tersebut bakal dipanggil dalam sebuah konferensi Suku Laut yang diadakan di Pekanbaru pada Oktober mendatang. Kebetulan, Pemprov Riau mendukung serta memfasilitasi inisatif tersebut. Ada sekitar seratus delegasi dari berbagai negara yang sudah mengonfirmasi bakal hadir dalam pertemuan tersebut.
”Orang-orang dari Makassar rencananya datang ke sini pakai kapal,” ucap dosen Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Riau tersebut.
Namun, melihat antusiasme yang ditunjukkan melalui media sosial maupun interaksi yang diterimanya, dia memprediksi ada lebih dari seratus delegasi yang datang. Konferensi Suku Laut itu akan membahas bidang ekonomi, pendidikan, dan kebudayaan. Tiga hal tersebut dianggap penting karena selama ini Suku Laut yang hidup di berbagai negara tergolong termarginalkan dalam tiga sektor itu.
Setelah pertemuan, dia berencana mengunjungi perkampungan orang-orang laut dari berbagai negara untuk melihat langsung kondisi mereka di sana. Misalnya, orangorang laut yang hidup di Indragiri Hilir, kampung halamannya. Di sana ada 15 desa dari 5 kecamatan yang ditempati orangorang laut.
Dia menuturkan, orang-orang tersebut hidup di bawah garis kemiskinan. Mereka juga sangat bergantung pada laut. Bahkan, perkampungan tempat mereka tinggal benarbenar berada di atas laut.
Orang-orang tersebut tinggal di rumah panggung yang ditancapkan di atas laut. Untuk menuju ke sana, perjalanan dari Pekanbaru ditempuh selama 7 jam ke Tembilahan lebih dulu. Kemudian dilanjutkan dengan speedboat selama 3 jam.
Berbagai upaya dilakukan pemerintah untuk membawa orang-orang laut ke darat. Namun, sejauh ini tidak membawa hasil. Pada era Orde Baru, misalnya, pemerintah pernah memberikan rumah dan kebun kepada orang-orang laut tersebut.
”Orang-orang laut tetap datang pada saat acara penyerahan rumah dan kebun itu. Namun, setelah itu ya pulang lagi,” kenang Haryono, lantas tersenyum.
Soal pendidikan, orang-orang laut juga semenjana. Sebab, di sana tidak banyak anak yang bersekolah. Mereka memang tidak begitu mementingkan sekolah. Sebab, bagi para orang tua Suku Laut, anak-anak lebih berguna untuk diajak melaut. Karena itulah, orang-orang laut sering diremehkan dan dipandang sebelah mata karena berpendidikan rendah.
Menurut Haryono, di Indragiri Hilir sebenarnya ada sekolah sampai jenjang SMA yang masih bisa dijangkau. Namun, jarang ada anak yang mau bersekolah.
Haryono tergolong beruntung karena bisa mengenyam pendidikan sampai level master. Dua di antara enam saudaranya juga berpendidikan hingga perguruan tinggi. Kendati demikian, anak-anak Suku Laut yang kuliah masih tergolong langka.
”Saat ini ada tujuh anak Suku Laut yang kuliah di Riau. Itu yang benar-benar saya jaga. Jangan sampai putus kuliah,” tegas pria kelahiran Concong Luar, Indragiri Hilir, 22 Maret 1984, itu.
Dia menyebutkan, menjaga para pemuda itu agar tetap kuliah bukan hal yang mudah. Sebab, banyak di antara mereka yang sudah diminta keluarganya untuk kembali membantu pekerjaan orang tua sebagai nelayan.
Selain pendidikan, soal kesejahteraan juga menjadi perhatian Haryono. Antara lain, ke- tersediaan air bersih. Orang-orang di sana hanya mengandalkan penampungan air hujan sebagai sumber air bersih. Masalahnya, jika kemarau panjang datang, orang-orang di sana pasti bakal mengalami kesulitan air bersih.
Hal berikutnya adalah kebudayaan. Dia merasa prihatin karena kini tidak banyak anak Suku Laut yang bisa berbahasa laut. Karena itulah, Haryono akan mengupayakan agar bahasa Suku Laut masuk dalam muatan lokal di sekolah. Sebagai catatan, bahasa laut memang berbeda dengan bahasa Melayu pada umumnya.
Melihat sejumlah fakta itulah, bersama rekan-rekannya sesama orang laut, Haryono mendirikan Lembaga Adat Budaya dan Bahasa Orang Laut Indonesia (LABBOLI) pada 2014. Lembaga tersebut aktif memberikan edukasi kepada orang-orang laut demi mendapat kehidupan yang lebih baik.
”Misalnya, orang laut masih percaya dukun. Kami pelan-pelan memberikan pengertian agar mereka lebih rasional dalam menjalani hidup,” urainya.
Soal rasionalitas, Haryono mengakui, orang laut memang kerap tidak rasional, bahkan menjurus konyol. Dia sendiri pernah menjadi korban kekonyolan orang tuanya. Salah satunya mengenai nama yang disandangnya.
Ketika ditanya kenapa namanya kok Jawa banget, dia menjawab, orang tuanya terinspirasi nama seorang menteri pada era Orde Baru, Haryono Suyono.
Menurut Haryono, soal nama anak, Suku Laut memang tidak punya pakem. ”Tergantung lagi musim apa. Kalau lagi musim India, ya banyak bayi yang dikasih nama India,” katanya, lantas tertawa. ”Saya ada teman, anak Suku Laut, namanya Amitabh Bachchan. Dia lahir pas film India sedang booming di sana.”
Bukan hanya itu, banyak hal yang bagi orang lain dianggap biasa, tapi bagi orang laut dianggap luar biasa. Misalnya, binatang kurban. Maklum, sampai saat ini, banyak orang laut yang belum pernah melihat kambing atau sapi. Karena itu, saat binatang kurban tersebut dibawa ke perkampungan orang laut, orangorang di sana mendadak heboh.
”Kalau pas kurban, banyak anak yang rela nungguin kambing dari pagi sampai sore saking herannya melihat kambing,” kenangnya, lalu tertawa lagi. (*/c5/ari)