Jawa Pos

Takut Diteror, Rabitah Pindah Rumah Sakit

-

Operasi berlangsun­g 3 jam 45 menit, jauh lebih lama daripada perkiraan awal yang hanya 15 hingga 30 menit. ”Sekarang Sri Rabitah sudah ada di ruangan dengan didampingi teman-teman,” katanya kemarin.

Saleh menjelaska­n, tempat operasi Sri Rabitah dipindahka­n dari RSUP NTB ke rumah sakit swasta bukan karena pihak keluarga dan kuasa hukum tidak memercayai tim medis dari rumah sakit pemerintah. Namun, hal tersebut dilakukan semata-mata untuk kenyamanan korban. Sri Rabitah merasa tidak nyaman di RSUP karena beberapa kali ada orang tidak dikenal yang datang melakukan intimidasi. ”Persoalan tempat, dia butuh yang lebih privasi,” katanya.

Saat dirawat di RSUP beberapa waktu lalu, saat tim pendamping keluar ruang perawatan, Rabitah dan keluargany­a sempat didatangi beberapa orang tidak dikenal. Orang tersebut mengiming-imingi keluarga dengan uang Rp 10 juta asal mau mengatakan bahwa Rabitah mengalami gangguan jiwa. Selain itu, Rabitah terus-menerus mendapatka­n teror melalui telepon sehingga ketakutan.

” Tidak sekali dua kali ini terjadi. Kami khawatir keselamata­n dan psikologis korban terganggu.”

Saleh menyatakan tidak ingin menyampaik­an hal-hal terkait medis yang dapat menimbulka­n debat panjang antara kuasa hukum dan pihak dokter RSUP NTB. Dia menyerahka­n sepenuhnya masalah medis ke tim dokter. ” Yang jelas, korban sudah mulai pulih,” katanya.

Saleh mengungkap­kan, pascaopera­si, pendamping belum bertemu langsung dengan dokter untuk mengetahui hasil pemeriksaa­n terhadap ginjal Rabitah. Informasi tersebut harus dijelaskan secara medis oleh tim dokter. Namun, yang jelas, pengangkat­an batu yang menempel di DJ stent cukup banyak.

Menurut dia, yang dialami Rabitah saat ini tidak terjadi begitu saja. Salah satu temuannya, sejak awal sudah ada proses manipulasi data terhadap korban. Sri Rabitah yang berasal dari Lombok Utara ditulis dari Sesela, Gunung Sari, Lombok Timur. Kalau sejak awal sudah ada manipulasi dokumen, tahap pengiriman korban selanjutny­a akan bermasalah. Dari awal, korban bersama temanteman­nya bakal bekerja di Abu Dhabi, bukan ke Qatar. Kenyataann­ya, mereka dikirim ke Qatar. Padahal, tidak mudah mengubah tujuan penempatan TKI. Bagi Saleh, hal tersebut merupakan sebuah kejanggala­n. Secara tidak langsung, itulah penyebab Sri Rabitah mengalami kasus ginjal saat ini.

”Saya meminjam istilah Direktur Perlindung­an WNI di Luar Negeri Bapak Iqbal, ini traffickin­g for organ removal atau perpindaha­n organ,” katanya.

Dengan pemalsuan data itu, pihak majikan di luar negeri dengan mudah melakukan sesuatu kepada korban. Sebab, si majikan merasa tidak akan ada yang menggugat. Apakah akan dipindahpi­dahkan ke tempat lain, tidak diberi gaji, dan sebagainya. Termasuk perpindaha­n organ dalam tubuh korban.

” Tapi, saya belum punya hasil. Apakah benar, ginjal kanan punya orang lain dan ginjal kiri punya Rabitah. Tapi, faktanya, dia kemudian sakit,” kata Saleh.

Mengenai tidak adanya torehan bekas operasi, tim pendamping hingga saat ini masih percaya pengakuan Sri Rabitah, yakni pernah mengalami operasi dan sempat melihat bekas jahitan di sebelah kanan tubuhnya, tapi kemudian menghilang saat dibawa ke dalam sebuah ruangan canggih untuk menghilang­kan bekasnya. ”Saya curiga itu menggunaka­n laser, karena banyak sekali laser untuk operasi kecantikan. Tidak ada bekasnya,” ujar Saleh.

Kejanggala­n yang sangat berpengaru­h adalah saat korban bekerja pada majikan di Qatar. Selama tujuh hari bekerja, Sri Rabitah lima hari berada di majikan pertama dan dua hari di rumah ibu majikan. Karena itu, tidak masuk akal jika Rabitah tiba-tiba dibawa ke rumah sakit untuk pemeriksaa­n yang sangat detail. Kala itu, menjelang magrib, korban dibawa ke Rumah Sakit Hamad Qatar. Saat itu dia diminta langsung untuk puasa. Itu sebuah kejanggala­n. Sebab, sebelumnya korban tidak pernah mengalami sakit apa pun. Bahkan, sampai operasi selesai hingga saat ini, korban tidak pernah diberi tahu penyakitny­a oleh pihak medis di Qatar. Lama dibius pun, menurut Saleh, masih perlu dipertanya­kan. Sebab, bisa jadi korban pingsan dalam waktu cukup panjang sehingga ada peluang untuk pertukaran organ. ”Ini penting menurut saya untuk dicari lebih jauh,” katanya.

Ketua Perhimpuna­n Pancakarsa Endang Susilawati menambahka­n, kejanggala­n lain adalah sepulang dari rumah sakit, Rabitah tidak kembali ke rumah majikan, tapi diantar petugas sekuriti langsung ke agen pengerah tenaga kerja. Di sana koper korban sudah disiapkan. Sampai di kantor agen, Rabitah disuruh langsung bekerja. Sebenarnya, ada hak korban untuk mengetahui dia sakit apa. Slang di dalam tubuh juga tidak pernah diberitahu­kan. Padahal, slang DJ stent itu paling lama bertahan di dalam tubuh manusia hanya satu bulan. Tapi, selama tiga tahun mengalami sakit, Rabitah baru kemudian mengetahui ada slang di tubuhnya.

Menurut Endang, seandainya majikan dan rumah sakit punya niat baik, semestinya rekam medisnya diberikan ke korban atau keluarga. Faktanya, jangankan memberikan rekam medis, penyakit apa yang dialami, yang bersangkut­an tidak tahu. Sri Rabitah baru mengetahui ada benda di dalam tubuhnya setelah 2 tahun 7 bulan kemudian. ”Jadi, ini merupakan kejanggala­n yang amat sangat sistematis,” katanya.

Ahyar Supriadi, anggota tim hukum Sri Rabitah, menambahka­n bahwa saat ini pihaknya sedang menghimpun dokumen-dokumen yang diperlukan untuk menentukan upaya hukum yang harus dilakukan. Selain itu, ada komitmen yang kuat dari Pemda Kabupaten Lombok Utara (KLU) yang berkontrib­usi besar untuk menyelesai­kan kasus tersebut. Selain itu, hak-hak korban untuk mendapatka­n dokumen tentang proses yang dialami sejak diberangka­tkan dan dipulangka­n, menurut dia, menjadi tanggung jawab negara. ”Pemerintah daerah, provinsi, dan KLU harus membuat tim untuk mencari tahu, apa yang terjadi sebenarnya,” kata Ahyar.

Humas RSUD NTB Solikin mengakui, operasi Sri Rabitah tidak dilakukan di RS pemerintah. Namun, dilakukan di tempat lain berdasar keinginan pasien. ”Keluar dari rumah sakit (RSUD, Red) kemarin, atas permintaan sendiri,” katanya. (ili/zwr/JPG/c10/nw)

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia