Kaki Bionik Sederhana, tetapi Berteknologi Tinggi
Segudang prestasi pelajar Kota Delta patut diacungi jempol. Baru saja dua siswa SMA Muhammadiyah 2 (Smamda) Sidoarjo menyabet peringkat ketiga Indonesia Science Project Olympiad (ISPO). Mereka menciptakan inovasi kaki palsu berteknologi sensor flex untuk
MUHAMMAD Almas Bukhori dan Widya Widati sibuk mengutak-atik kaki palsu yang telah didesain dengan teknologi maju. Ada sensor flex pada pangkal kaki yang nanti menyentuh bagian pinggul si pemakai. Bagian lutut didesain sedemikian rupa agar bisa mudah lentur bergerak.
Sensor flex tersebut dapat mengeluarkan data berupa derajat sudut dari pergerakan pinggul. Kemudian, data dari sensor flex diproses dengan mapping (pemetaan) untuk menggerakkan arduino sesuai dengan derajat sudut yang dihantar oleh sensor flex tersebut.
Arduino adalah pengendali mikro singleboard yang bersifat open-source. Sekilas, kaki palsu tersebut memang tidak berbeda dengan kaki palsu pada umumnya. Namun, dengan tangan terampil dan inovasi ilmiah, dua siswa kelas X SMA Muhammadiyah 2 (Smamda) Sidoarjo itu mampu membuat robotic prosthetic limbs
Yakni, kaki palsu dengan menggunakan sistem robotik.
Tidak hanya inovatif, Almas dan Widya juga mampu membawa karya ilmiah berupa prototipe kaki palsu dengan sistem robotik itu ke ajang Indonesia Science Project Olympiad (ISPO) 2017 pada 24–26 Februari di Tangerang Selatan. Mereka berhasil membawa pulang medali perunggu pada ajang nasional tersebut.
Ide pembuatan kaki palsu dengan sistem robotik itu memiliki sejarah yang cukup mengesankan. Khususnya Almas. Sebab, ayahnya, Budi Hariyanto, juga penyandang disabilitas karena terkena polio. Di rumah, dia pun kerap berjumpa dengan temanteman ayahnya yang juga penyandang disabilitas. Sebagian besar menggunakan kaki palsu. ’’Saya justru terinspirasi saat melihat teman ayah yang cacat kaki karena kecelakaan. Dia akhirnya menggunakan kaki palsu,” katanya.
Cowok 16 tahun itu kerap melihat kesulitan para penyandang disabilitas yang menggunakan bantuan kaki palsu. Mereka terkendala saat menggerakkan kaki palsu. Kaku. Bahkan, setiap kali duduk, ingin ke toilet, maupun tidur, si pengguna kaki palsu harus melepasnya terlebih dahulu. ”Jadi, mereka merasa ribet. Karena tidak bisa ditekuk sama sekali kaki palsunya,” ujarnya.
Karena itu, dia berpikir cukup keras untuk bisa menciptakan kaki palsu yang bisa lentur digerakkan. Almas pun berupaya untuk mencari berbagai informasi dari beragam sumber. Baik penelitian terdahulu tentang kaki palsu di YouTube maupun jurnal. Sekitar Oktober, dia melihat ada peneliti yang membuat tangan robot yang disesuaikan dengan gerakan tangan manusia menggunakan sensor flex. ”Tangan robot itu bisa bergerak sesuai dengan rangsangan gerakan tangan,” ungkapnya.
Dari situlah, dia mencoba untuk mengaplikasikannya pada kaki palsu. Ide tersebut disampaikan kepada Widya, rekannya di sekolah. Gayung pun bersambut. Konsep kaki palsu dengan sistem robotik itu disempurnakan. Konsultasi terus dilakukan dengan guru pembina di sekolah. Pada awal Januari 2017, dia mulai belajar mekanik pembuatan robotik. Ketika konsep tersebut lolos seleksi ISPO 2017 ke tingkat nasional, dia dan Widya langsung membuat kaki palsu dengan menggunakan sensor flex. ”Seminggu kami membuat kaki palsu dengan sistem robotilk ini,” katanya.
Selama pembuatan kaki palsu dengan sistem robotik, Almas mengaku mendapat banyak kemudahan. Termasuk dalam pemesanan kaki palsu yang biasanya membutuhkan waktu cukup lama. Setelah tuntas dibuat, kaki palsu dengan sistem robotik tersebut diuji coba kepada salah seorang penyandang disabilitas. Kaki palsu itu bisa dipakai dengan nyaman oleh pengguna. ”Kaki palsu bisa ditekuk sesuai dengan rangsangan gerakan pinggul si pengguna. Namun, pengguna kaki palsu ini memang butuh penyesuaian,” ucapnya.
Putra tunggal pasangan Budi Hariyanto dan Sukinah itu menyatakan, inovasi kaki pal su dengan sistem robotik sejatinya pernah diteliti oleh pihak luar negeri dengan menggunakan sensor saraf. Gerakan kaki palsu itu lebih smooth. Tetapi, dengan kecanggihan tersebut, kaki palsu robotik itu dibanderol dengan harga sangat mahal, ratusan juta rupiah.
Tentu saja, harga tersebut tidak terjangkau oleh penyandang disabilitas di Indonesia. Apalagi, tingkat ekonomi penyandang disabilitas di Indonesia rata-rata menengah ke bawah. Karena itu, dia ingin membuat inovasi kaki bionik yang sederhana, tetapi berteknologi tinggi. Inovasi tersebut menarik perhatian juri pada ajang ISPO 2017 di Jakarta. Dengan menyabet perunggu, Almas dan Widya direkomendasikan untuk mengikuti kompetisi pada ajang ASEAN Student Science Project Competition (ASPC) 2017 bidang teknologi di Thailand pada Juli mendatang.
Widya menambahkan, project kaki palsu dengan sistem robotik itu akan dikembangkan lebih bagus lagi. Salah satunya menambahkan sensor IMU. Yakni, perangkat elektronik yang mengukur dan melaporkan kekuatan tubuh tertentu, tingkat sudut, dan medan magnet di sekitar tubuh dengan menggunakan kombinasi sensor accelerometers dan gyroscope. Sensor tersebut akan menghasilkan gerakan yang lebih fleksibel pada kaki palsu. ”Saat ini, kami akan menyempurnakan kaki palsu ini,” katanya.
Keberhasilan Almas dan Widya dalam inovasi karya ilmiah remaja (KIR) itu membanggakan sekolah. Kepala Smamda Wigatiningsih menyatakan, pihaknya akan terus memfasilitasi siswa-siswa dalam berinovasi. Terlebih, inovasi tersebut telah membuahkan prestasi. Dukungan akan terus diberikan untuk mempersiapkan diri ke ajang ASPC di Thailand. ”Kami dukung terus. Bukan hanya akademis, bidang nonakademis seperti ini juga kami dukung. Mereka adalah siswa-siswa yang inovatif,” tuturnya. (bersambung/c6/dio)