Jawa Pos

Harmonisas­i dari Dua Kutub

Masdibyo dan Gigih Wiyono Pameran Bareng

-

SURABAYA – Keberagama­n maupun perbedaan sering ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. Mulai kebiasaan, pola pikir, keinginan, hingga egoisme terhadap ide. Namun, jangan sampai keberagama­n tersebut digunakan sebagai pemicu kerusakan. Seharusnya ia bisa menjadi harmonisas­i yang cantik.

Begitu juga dalam dunia seni. Perbedaan menjadi identitas masing-masing seniman. Pesan itulah yang ingin disampaika­n dalam pameran Dua Kutub II bertajuk Rancak di Galeri House of Sampoerna (HOS) mulai hari ini (3/2) hingga 1 April.

Pameran tersebut mempertemu­kan dua seniman senior, Masdibyo, 53, dan Gigih Wiyono, 49. Dua seniman itu ibarat dua kutub. Keduanya saling berjauhan, tapi dapat bergabung membentuk energi dengan apik. Masdibyo merupakan perupa yang menggawang­i kutub utara (Pantura, Tuban, dan pesisir Jawa Timur). Dia dikenal dengan karyanya tentang persoalan rakyat, kearifan lokal, cinta kasih, dan kelembutan.

Sementara itu, Gigih Wiyono tumbuh di wilayah pedesaan dan pertanian. Dia menjadi penjaga kearifan lokal Kutub Selatan (Sukoharjo dan Solo). Gigih dikenal dengan karyanya yang mencitraka­n mitos simbol padi dan kesuburan yang menjadi tumpuan kaum agraris.

Ada 30 lukisan yang dipamerkan. Terdiri atas 15 karya Dibyo dan 15 lukisan Gigih. Pameran tersebut menjadi ajang reuni bagi mereka. ”Itulah pameran bersama kami yang kedua,” kata Dibyo. Sebelumnya, mereka dipertemuk­an dalam pameran lukisan di Bandung pada 2012. ”Saya sudah lama tidak menyelengg­arakan pameran di Surabaya. Kali terakhir 20 tahun lalu,” lanjutnya.

Karena itu, Dibyo menyuguhka­n salah satu karya masterpiec­e- nya. Dia dikenal dengan karya lukisan yang penuh simbolis untuk mencari solusi dalam gambaran sebuah keadaan. Misalnya, tentang politik, sosial, ekonomi, dan budaya. ”Apa pun itu bebas. Saya merdeka,” ungkap pria asal Pacitan tersebut.

Namun, khusus pameran itu, Dibyo memberikan karya ”spontanita­s”. Judul lukisan yang dimaksud adalah Berdoa di Tengah Teror Jakarta, Sarinah 14 Januari 2016. Dibyo merasakan langsung kejadian tersebut. ”Saya sedang berbelanja di Thamrin saat itu, lalu denger bom, lari melihat,” tuturnya. Dari keramaian dan kepanikan orang di sana, Dibyo memotret dalam ingatannya. Lalu, dia memvi sualisasik­an dalam lukisan berukuran 160 x 200 sentimeter tersebut. Setelah peristiwa direkam jelas, dia langsung bercorat- coret esoknya. ”Seminggu jadi,” kata seniman kelahiran 7 September 1964 itu.

Karya Gigih lebih terinspira­si mitosmitos. Dewi Sri, misalnya. Dia menyajikan­nya lengkap dengan tulisan-tulisan ”mantra” di setiap karyanya dalam aksara Jawa maupun motif tradisiona­l. ”Artinya, ya rahasia,” ucap pelukis sekaligus pematung asal Sukoharjo, Jawa Tengah, itu.

Pada karyanya berjudul Berkah Berlimpah 1, Energi Berlimpah, Daun Sakti, dan Sang Linuwih, Gigih menyampaik­an pesan bahwa tidak boleh ragu dengan sesuatu yang telah diyakini. Apalagi sesuatu yang berdampak positif bagi kehidupan.

Ini merupakan pamerannya yang kedua di Surabaya. Dia ingin pameran tersebut dimaknai sebagai upaya menjaga spirit kreativita­s dan apresiasi. (bri/c16/jan)

 ?? AHMAD KHUSAINI/ JAWA POS ?? MELINTAS: Dwi Nurul melewati dua lukisan karya Masdibyo dan Gigih Wiyono yang dipamerkan di Galeri House Of Sampoerna mulai hari ini.
AHMAD KHUSAINI/ JAWA POS MELINTAS: Dwi Nurul melewati dua lukisan karya Masdibyo dan Gigih Wiyono yang dipamerkan di Galeri House Of Sampoerna mulai hari ini.
 ?? AHMAD KHUSAINI/ JAWA POS ?? PENGALAMAN PRIBADI: Lukisan Masdibyo berjudul Berdoa di Tengah Teror Jakarta, Sarinah 14 Januari 2016 terasa spesial. Sang pelukis berada di tempat kejadian ketika teror bom terjadi.
AHMAD KHUSAINI/ JAWA POS PENGALAMAN PRIBADI: Lukisan Masdibyo berjudul Berdoa di Tengah Teror Jakarta, Sarinah 14 Januari 2016 terasa spesial. Sang pelukis berada di tempat kejadian ketika teror bom terjadi.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia