Setahun Tak Pulang, Diminta Ceraikan Istri
Prihatin dengan sampah yang dibuang di jalan, Rahmat Andri Yana melakukan aksi simpatik. Dia berkeliling Indonesia dengan bersepeda sambil memunguti sampahsampah yang ditemui di tengah jalan.
”ANNISA jangan menangis. Aa’ pasti kembali. Insya Allah perjalanan ini tujuannya baik,” ucap Mamat, panggilan Rahmat Andri Yana, kepada istrinya, Anissa, saat pe- lepasan aksinya, 21 Februari lalu. Pelepasan Mamat dilakukan di depan kantor DPRD Kota Cimahi. Sejumlah anggota dewan hadir dalam upacara itu.
Tekad Mamat sudah bulat. Maka, meski berat meninggalkan istri dan anak semata wayang mereka yang masih berumur lima tahun, Mamat enggan berpaling. Apalagi, dia telah menyiapkannya secara matang, baik perangkat sepedanya maupun rute dan hal nonteknisnya
Dalam aksi itu, Mamat mengendarai sepeda lipat hijau yang dirakit menjadi kendaraan pengangkut. Di bagian belakang sepeda terikat keranjang baju plastik yang dimanfaatkan sebagai kontainer sampah organik yang dia pungut selama bersepeda. Di kanan kiri keranjang terdapat tas sepeda berisi 3 baju, 2 jaket, 4 celana pendek, dan sarung. Tumpukan barang itu masih ditambah gulungan matras dan sleeping bag. Sepeda lipat mininya bak keledai yang kelebihan muatan.
Selama ini pria kelahiran 30 Juni 1986 itu jarang keluar kota. Dengan demikian, dia belum tahu rute jalan yang mesti dilalui. Karena itu, cukup beralasan bila Mamat membutuhkan peta Atlas agar tidak tersesat di jalan.
Dari Kota Cimahi, Mamat meluncur ke timur. Tujuannya Jawa Tengah dan Jogjakarta melalui jalur selatan. Terus ke timur menuju Surabaya, Banyuwangi, lalu menyeberang ke Bali. Beberapa kali dia mengaku ”tertipu” oleh peta. ”Saya kira jaraknya dekat, ternyata saya dibohongi peta,” kata Mamat, lantas tertawa, saat sampai di kantor Jawa Pos di gedung Graha Pena Surabaya, 8 Maret lalu.
Tujuh hari pertama, fisik dan mental Mamat diuji. Sebab, dia bukan atlet sepeda yang terlatih bersepeda jauh. Fisik dan mentalnya kecapekan. Mulai lemah. Tubuh jangkungnya tambah kurus. Hampir tak ada lemak untuk cadangan tenaganya.
Saat itu dia sudah sampai di Purworejo, Jateng. Semangatnya untuk menyelesaikan misi keliling Indonesia tiba-tiba meredup. Dia mengaku ingin menyerah dan berbalik arah menuju rumah.
Pria yang pernah menjadi tenaga honorer di Dinas Lingkungan Hidup Kota Cimahi tersebut lalu duduk termenung di pinggir jalan. Teringat celoteh dan tangis anaknya. Dipandanginya foto-foto anak dan istrinya di handphone miliknya. Dia lelah, haus, dan lapar. Tak ada seorang pun yang menemaninya. ”Oh, begini ya rasanya hidup sendiri,” ucap pemilik tinggi 170 cm dengan berat 56 kg itu.
Jika menyerah, dia pasti tidak akan mendapatkan restu untuk kali kedua dari istrinya. Pikiran yang saling berseberangan membuatnya pusing. Dia akhirnya tertidur. Setelah terbangun, jarum jam sudah menunjuk pukul 17.00. Langit hampir gelap, dia bergegas ke pusat kota. Secepatnya dia mencari masjid untuk salat dan menginap.
Selain tidak akan mendapat restu kali kedua dari sang istri, Mamat bakal sulit memperoleh restu dari mertua. Apalagi, sebelum berangkat, dia menandatangani surat perjanjian bermeterai dengan sang mertua. Isinya menyatakan, bila lebih dari setahun tidak pulang, Mamat dipersilakan menceraikan istrinya.
Dia bisa memaklumi tuntutan mertuanya tersebut. Sebab, mana ada mertua yang merelakan anaknya hidup bersama suami yang ”aneh” dan tidak jelas.
Perjalanan berlanjut dengan sisa tenaga dan mental terus tergerus. Akhirnya dia tiba di Jogjakarta. Di Kota Gudeg, dia disambut sejumlah komunitas sepeda. Namun, dia tidak bisa berlama-lama. Perjalanan harus dilanjutkan. Saat sampai di Sragen, ada seorang pesepeda dari Jogja yang menyusulnya. Dia adalah Sanityoso Andaru. Sani bermaksud menemani Mamat menjalankan aksinya. Ketika itulah, semangatnya membara lagi.
”Ternyata Tuhan tidak diam. Dia mengirimkan teman sehingga semangat saya kembali menggebu-gebu,” ucapnya.
Sani punya tujuan sama dengan Mamat. Pemuda 21 tahun itu ingin bersepeda ke timur. Menuju Banyuwangi. Namun, sepedanya lebih terlihat mentereng ketimbang sepeda Mamat yang sudah berlepotan oli. Sani tak tega memberi tahu harga sepedanya ke Mamat. Yang jelas, sepeda mountain bike (MTB) seharga puluhan juta milik Sani itu bisa dikayuh lebih kencang ketimbang sepeda lipat Mamat yang dibeli seharga Rp 500 ribu.
Tak heran, dalam perjalanan, mahasiswa Institut Pertanian (Stiper) Jogjakarta tersebut berkali-kali meninggalkan Mamat. Apalagi, sesuai dengan misinya, Mamat mesti memunguti sampah plastik yang dibuang sembarangan di jalan. Sampah-sampah itu, setelah penuh di keranjang, diberikan kepada pemulung yang ditemui di jalan.
Dalam sehari, Mamat bisa mengumpulkan sedikitnya 2 kg sampah plastik. Dia tidak lagi ingat sudah berapa pemulung yang disedekahi sampah plastiknya.
Meski berjalan dengan kecepatan sedang, akhirnya Mamat dan Sani tiba di Surabaya Rabu dini hari lalu (8/3). Mereka kemudian menginap di kompleks kantor Dinas Kebersihan dan Ruang Terbuka Hijau (DKRTH) Surabaya. Oleh Kepala DKRTH Chalid Buhari, dua pesepeda itu diminta tidur di dalam kantornya. Namun, keduanya menolak. Mereka memilih bermalam di masjid DKRTH.
Paginya, Mamat bertemu dengan Chalid. Selain menjelaskan tujuannya bersepeda keliling Indonesia, Mamat minta stempel dan tanda-tangan dari Chalid di buku catatan perjalanannya. Di setiap kota, dia memang selalu meminta tanda tangan stempel dari pejabat setempat untuk bukti perjalanannya. Bisa orang pemda, polsek, ataupun koramil.
Mamat mengakui, setiap meminta tanda tangan dan stempel, dirinya sering diberi uang. Namun, dia selalu menolaknya. Sebab, dia tidak ingin aksinya terkesan meminta- minta bantuan. Dia justru ingin memberi sesuatu kepada orang lain. Meski, pemberiannya itu sekadar contoh agar orang tidak membuang sampah sembarangan.
Mamat menjalaskan, aksi berkeliling Indonesia sambil memungut sampah itu dilakukan untuk memperingati peristiwa longsornya Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Leuwigajah, Cimahi Selatan, 21 Februari 2005. Musibah tersebut menelan 157 jiwa sehingga layak menjadi pengingat pentingnya pengelolaan sampah yang benar. Peristiwa itu juga diperingati sebagai Hari Peduli Sampah Nasional (HPSN).
Masalahnya, dalam beberapa tahun terakhir, Mamat melihat peringatan tersebut lebih terkesan sebagai acara perayaan. ”Kumpul, senang-senang, buang sampah bersama-sama, lalu lupa,” tutur pria yang memiliki segudang pengalaman mengelola bank sampah itu.
Mamat salut dengan masyarakat dan Pemkot Surabaya yang sangat peduli sampah sehingga jarang menemukan sampah-sampah plastik yang dibuang sembarangan. Di sepanjang Jalan Kertajaya, misalnya, dia hanya mendapatkan beberapa botol air mineral. Pasukan kuning sudah lebih dahulu membersihkannya.
Di Surabaya, Mamat berpisah dengan Sani. Sani akhirnya kembali ke Jogjakarta (tidak jadi finis di Banyuwangi) karena harus kuliah. Sedangkan Mamat meneruskan misinya. Sebelum menuju Banyuwangi, dia sempat blusukan ke kampung-kampung di Surabaya. Salah satunya menemui Komunitas Nol Sampah di Kecamatan Rungkut. Dia berbagi ilmu tentang bank sampah ala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Cimahi.
Kemarin (11/3) Mamat sudah sampai Pasuruan. Dia mengabarkan sepeda lipatnya terserempet mobil. Akibatnya, jalan sepedanya sudah tidak normal. Dia berencana mencari bengkel saat tiba di kota.
Selain mengalami kerusakan, hingga kini sepeda lipat Mamat sudah mengalami tiga kali ban pecah. Ban belakang juga sudah diganti karena robek. Dia memperbaiki semua sendiri.
Mamat merasa waswas saat melintas di Taman Nasional Baluran nanti. Sebab, dia harus membelah jalan di tengah hutan. Jauh dari permukiman. ”Tapi, saya tetap yakin dapat perlindungan Allah. Itung-itung latihan. Di Papua nanti sepertinya lebih berat,” terangnya.
Akhir Maret ini dia menargetkan sudah tiba di Denpasar, Bali. Sedangkan pada pertengahan tahun sudah mengelilingi Papua dan Sulawesi. Sisa waktunya lalu digunakan untuk menyusuri jalan-jalan di Kalimantan dan Sumatera. Pada 21 Februari 2018 dia berharap sudah pulang ke rumah sesuai janjinya kepada istri, anak, dan sang mertua. (*/c10/ari)