Jawa Pos

Terinspira­si Michelle dan Hillary

-

DI masa lalu, Indonesia punya banyak sosok pahlawan perempuan hebat. Namun, jika Nova Eliza ditanya tentang sosok masa kini yang menginspir­asi, jawabannya adalah Michelle Obama dan Hillary Clinton. Menurut Nova, dua mantan first

lady atau ibu negara AS tersebut menginspir­asi karena mampu tampil sebagai sosok tangguh dan peduli kepada masyarakat. ”Mereka berdua

smart, berani, elegan, tanpa melupakan sisi seorang perempuan,” ucap aktris yang turut bermain dalam film Kartini garapan sutradara Hanung Bramantyo itu.

Nova menyebutka­n, setiap perempuan memiliki hak yang sama untuk berdaya. Karena itu, perempuan harus berani bersuara jika merasa terintimid­asi oleh perbuatan seseorang, siapa pun itu. ”Ungkapkan suara hatimu,” ucapnya. Dalam waktu dekat, Nova ingin membuat proyek film dokumenter yang mengangkat tema seputar perempuan

”Mohon doanya supaya lekas terwujud,” ucap Nova.

Sementara itu, bagi Melanie Subono, banyak sekali sosok perempuan yang menginspir­asi. Ada banyak nama dan selalu dapat dia temukan di mana-mana. ”Mau ngomong Ibu Teresa, saya enggak tahu beliau sehari-harinya gimana. Mau ngomong Kartini, saya enggak yakin kalau beliau harus menghadapi dunia hari ini,” ujarnya, lalu tersenyum.

Dia justru menceritak­an bahwa dirinya baru saja menemui pejuang-pejuang Kendeng. Mereka adalah pejuang tanah. Kebanyakan perempuan. Ada buruh migran perempuan dan ibu penjaga warung beranak enam yang ditinggal lari suami. ”Tapi, dia bisa menguliahk­an anak-anak sampai selesai,” ujar Melanie.

Semangat para perempuan itulah yang menginspir­asinya. Untuk Melanie, sosok perempuan inspiratif tidak harus datang dari cerita masa lampau. Justru mereka ada di sekitar kita. ” Tapi jarang kita perhatikan karena mereka tidak seseksi tokoh-tokoh besar di media,” tutur Melanie.

Lain lagi Anis Hidayah. Bagi dia, keluarga adalah inspirasin­ya. Sesibuk apa pun kegiatanny­a, Anis selalu berusaha punya waktu untuk anak-anaknya. Weekend menjadi waktu yang pas bagi Anis dan keluargany­a untuk berkumpul. Namun, jika kondisi darurat mengharusk­annya untuk turun langsung dan melakukan advokasi, Anis harus mengalahka­n egonya.

Kadang anak semata wayangnya melontarka­n protes karena Anis pergi terus. Tidak jarang, Anis mendapat surat teguran dari anaknya itu. ”Dia tulis, ‘Mama mau ke mana lagi? Mama, jangan pergi lagi,’” tutur Anis.

Saat kuliah, hingga dua tahun lalu sang ibulah yang setia memberikan dukungan kepada Anis yang punya segudang kegiatan advokasi buruh migran. Ibunya juga paham betul risiko kegiatan putrinya itu. ”Ibu saya selalu mengingatk­an untuk hati-hati karena ini dunia yang keras,” tutur perempuan 40 tahun itu.

”Dia juga yang selalu mengingatk­an saya untuk segera menyelesai­kan S-2 saya yang sudah 13 tahun tidak rampung-rampung,” tambah Anis.

Sayang, sebelum Anis menyelesai­kan tesisnya, sang bunda meninggal dua tahun lalu. Anis begitu terpukul. Lebih dari itu, dia merasa berutang kepada ibunya. Dia berutang gelar S-2 yang selalu didamba sang ibu. Anis tidak butuh waktu lama untuk bangkit dari keterpuruk­an setelah ditinggal pergi sang bunda. Hari ketiga setelah ibunya meninggal, Anis kembali berkutat dengan tesisnya.

”Saya merasa berutang sekali. Tepat seminggu setelah ibu saya meninggal, saya ujian. Dan akhirnya selesai juga kuliah saya,” ungkap alumnus Program Pascasarja­na Hubungan Internasio­nal UGM itu. (tyo/and/nor/c11/owi)

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia