Kemenhub Lempar Bola ke Pemda
Soal Demo Tolak Angkutan Online
JAKARTA – Kementerian Perhubungan (Kemenhub) angkat bicara soal demo angkutan umum yang terjadi maraton di beberapa daerah. Menurut Kemenhub, konflik antara angkutan konvensional dan online itu seharusnya bisa dicegah dengan kebijakan pemerintah daerah (pemda) masing-masing. Apalagi bila merujuk revisi PM 32/2016 soal angkutan sewa.
Kepala Biro Komunikasi Publik Kemenhub J.A. Barata mengungkapkan, konflik yang terjadi saat ini agak berbeda dengan sebelumnya. Demo tidak lagi terkait dengan ketimpangan beban pembayaran pajak dan kewajiban yang lain. ”Sekarang
kan angkutan online diberi kewajiban yang sama dengan angkutan lainnya. Sudah diatur dalam ketentuan yang ada,” ujarnya kemarin (11/3).
Menurut Barata, konflik terjadi lantaran aturan belum diterapkan sepenuhnya di lapangan. Padahal, pemda memiliki tanggung jawab untuk mengatur keseimbangan angkutan di daerahnya. Apalagi bila merujuk revisi PM 32/2016 soal penyelenggaraan angkutan orang dengan kendaraan bermotor umum tidak dalam trayek.
Barata menjelaskan, dalam revisi yang dilakukan, ada sebelas ketetapan baru menyangkut angkutan online. Antara lain soal ukuran mesin kendaraan. Dalam aturan sebelumnya, angkutan sewa wajib memiliki kapasitas mesin minimal 1.300 cc. Namun, setelah revisi, angkutan sewa khusus/angkutan online diperbolehkan menggunakan kendaraan 1.000 cc.
Kemudian, tanda uji kir tak lagi diketok di sasis. Angkutan sewa khusus nanti hanya diberi stiker sebagai tanda. Dengan begitu, tidak perlu ada kekhawatiran soal harga jual kendaraan ketika tak lagi digunakan sebagai angkutan online.
Kemenhub juga memfasilitasi aturan tarif dan kuota angkutan online. Kata Barata, tarif angkutan online akan diatur dengan menggunakan batas atas dan batas bawah. Dengan begitu, tak ada keluhan diskon tarif berlebih hingga membuat angkutan konvensional terancam gulung tikar. ”Ini nanti pemda yang atur,” terangnya.
Kewenangan daerah itu, lanjut Barata, juga menyangkut kuota angkutan online di wilayahnya. Pemda berwenang mengatur berapa jumlah angkutan online yang beroperasi di daerahnya. Sama seperti aturan untuk taksi konvensional. ”Karena ini sifatnya kebutuhan lokal, jadi pemda yang harus menetapkan berapanya. Kuota ini tentu harus memberikan keseimbangan dengan angkutan umumnya,” jelas dia.
Barata mengakui, hingga saat ini aturan tersebut masih terus disosialisasikan. Pihaknya tengah bergerak maraton ke sejumlah daerah agar aturan itu bisa dipahami dan segera diimplementasikan. ”Bagi yang membelot (beroperasi tidak sesuai aturan, Red), tentu ada sanksi. Dalam revisi PM 32/2016 disebutkan, aplikasi akan diblokir Kemenkominfo,” ungkapnya.
Perkembangan teknologi saat ini, imbuh Barata, sudah tidak bisa dibendung. Sehingga mau tidak mau mesti diterima. Kendati begitu tetap harus diatur sehingga tidak berdampak buruk.
Sementara itu, pengamat transportasi publik Djoko Setijowarno memprediksi demo angkutan umum tidak berhenti dalam waktu dekat. Apalagi bila angkutan online kian bertambah dan tidak dibatasi. Terutama untuk jenis ojek online yang hingga kini belum masuk kategori transportasi umum.
”Angkutan roda tiga bajaj yang legal dan bayar pajak dibatasi wilayah operasinya. Sedangkan ojek online yang ilegal menurut UU LLAJ dibiarkan bebas beroperasi tanpa pembatasan,” ucapnya.
Hingga kini, sambung Djoko, baru Pemerintah Kota (Pemkot) Solo yang bisa bersikap tegas soal angkutan online di wilayahnya. Pemkot melarang operasi angkutan umum baru beraplikasi. Mereka diizinkan beroperasi jika bergabung dengan angkutan umum yang sudah ada, bukan membentuk badan usaha baru. (mia/c9/oki)