Pamerkan Karya dan Beri Beasiswa Sekolah Musik
Jumlah yayasan atau komunitas yang memperhatikan pendidikan di Indonesia makin banyak. Namun, kiprah Gerakan Nasional Orang Tua Asuh (GNOTA) tak pudar. Kini mereka menggandeng pianis Ananda Sukarlan dan fotografer Roni Bachroni demi meningkatkan kepedulia
MENGAMPANYEKAN pendidikan dilakukan Roni Bachroni, fotografer fashion, dengan cara yang sedikit berbeda. Profesi fotografer menjadi wadah bagi Roni menyuarakan pendidikan lewat bidikan lensa kamera. Berbarengan dengan Hari Kemerdekaan yang jatuh pada Agustus, Roni membuat pameran fotografi di Galeri Indonesia Kaya dengan tema Indonesia Cerdas.
Saking pedulinya dengan dunia pendidikan di Indonesia, Roni memutar otak untuk dapat berkontribusi mencerdaskan kehidupan bangsa. Sebagai seorang fotografer top, Roni ingin profesinya itu memiliki manfaat bagi bangsa, tak sekadar menghidupi kebutuhan perutnya semata.
GNOTA terdengar tidak asing di telinganya. Sejak kecil, fotografer yang baru pulang dari Prancis itu sering melihat iklan GNOTA yang disiarkan di televisi. Namun, untuk bergabung menjadi sahabat GNOTA, Roni tidak punya jaringan.
Hingga sepuluh tahun lalu, Roni bertemu Gendis Siti Hatmanti, ketua pengurus GNOTA, dalam sebuah pekerjaan. Waktu itu Roni menjalani tugas sebagai fotografer pre wedding Gendis. Setelah ngobrol ngalor-ngidul, Roni baru tahu bahwa Gendis aktif di GNOTA.
Saat itu Roni belum memutuskan bergabung bersama GNOTA. Dia masih menapaki karirnya di dunia fotografi. Baru setelah sepuluh tahun, Roni teringat kembali de- ngan GNOTA untuk mengejar mimpinya mencerdaskan bangsa. Tentu, hal tersebut bisa dilakukan dengan selain mengajar. Roni memutuskan membuat pameran fotografi tunggal Agustus tahun lalu.
Roni mengajak orang-orang berpengaruh di Indonesia untuk membantunya dalam project tersebut. Misalnya, dari kalangan aktor dan aktris. Di antaranya, Sophia Latjuba dan Joe Taslim. Profil yang terpilih bukan aktris atau aktor sembarangan. Roni menyeleksi mereka berdasar kekuatan untuk memberikan inspirasi agar dunia pendidikan lebih maju.
Misalnya, Joe Taslim. Atlet judo peraih medali perak dalam SEA Games 2007 sekaligus aktor itu punya rapor baik di dunia entertainment. Sayang, profesi jurnalis yang diwakili Najwa Shihab batal mengikuti pemotretan karena jadwal yang padat dan waktu yang mepet. Padahal, Roni ingin semua profesi terwakili.
Pameran yang memamerkan potret fotografi itu menampilkan 80 wajah. Terdiri atas laki-laki dan perempuan. Semuanya menggunakan konsep yang sama, black and white. Foto-foto itu terasa lebih hidup dan memiliki jiwa. Lain dengan fotografi yang berwarna. Lagi pula, unsur hitam putih dalam foto membuatnya tidak berbatas waktu.
Dana yang diperoleh dalam pameran foto tersebut sepenuhnya digunakan untuk pendidikan anak di Indonesia. Dana itulah yang akan diberikan ke GNOTA untuk disalurkan. Mengenai jumlah dana yang terkumpul, Roni masih berproses menjual foto-foto tersebut.
Sementara Roni membuat pameran fotografi, pianis kenamaan Indonesia Ananda Sukarlan memberikan beasiswa pendidikan musik bagi anak asuh GNOTA yang bersekolah di wilayah Jakarta. Pria yang tinggal di Spanyol itu mengambil langkah berkontribusi nyata bagi anak asuh GNOTA.
Bukan rahasia lagi bahwa bersekolah di Jakarta memiliki banyak keunggulan. Secara fasilitas, DKI Jakarta memiliki banyak fasilitas yang bisa dimanfaatkan siswa. Di kota tersebut perpustakaan dan toko buku berhamburan. Sekolah gratis sejak sekolah dasar (SD) sampai sekolah menengah atas (SMA) juga jadi kemudahan lain.
Sayang, dengan kemudahan dan fasilitas-fasilitas yang ada, tidak semua siswa di DKI Jakarta dapat merasakannya. Tidak bisa dimungkiri, masih banyak anak di DKI Jakarta yang berasal dari keluarga ekonomi rendah. Mereka hanya sekadar sekolah, tapi tidak bisa mengembangkan pendidikan dalam bidang lain.
Hati Ananda tergerak untuk memenuhi kebutuhan siswa di DKI Jakarta dalam bidang musik. Tujuannya tidak menjadikan anak asuh GNOTA menjadi musikus, tapi membantu meningkatkan kecerdasan siswa lewat musik.
Pemain musik klasik itu memberikan beasiswa musik melalui yayasan miliknya, yaitu Yayasan Musik Sastra Indonesia. Ananda menyadari, anak-anak yang berasal dari keluarga kurang mampu memiliki keterbatasan untuk bersekolah musik. Di Indonesia pun, musik tidak masuk kurikulum pendidikan. Padahal, di negaranegara Eropa, seluruh sekolah memfasilitasi kurikulum tersebut.
Di sekolah anak-anak tidak perlu diajarkan musik yang terlalu rumit. Guru bisa hanya mengenalkan anak pada instrumen musik yang mudah. Kemudian, anak-anak diajarkan membaca not balok. Rasanya, di Indonesia hal itu jarang dilakukan.
Ada yang bilang, perkembangan otak si anak akan lebih baik dengan didengarkan musik klasik. Jadi, kecerdasan tersebut me- ningkat. Menurut Ananda, hal itu merupakan omong kosong belaka selagi anak tidak aktif bermain musik. ”Namun, di sini (Indonesia, Red) musik dianaktirikan. Musik dianggap ajang hura-hura saja,” katanya.
Selama anak diajarkan bermain musik, kecerdasan mereka sedikit meningkat. Bagian otak yang selama ini pasif dapat berubah aktif ketika mereka bermain musik. Anak akan mudah belajar. Apalagi, bagi anak kurang mampu, bermain musik dapat meningkatkan kepercayaan diri mereka.
”Mereka akan bilang, saya tidak mampu, tapi saya bisa berbuat sesuatu,” ucap Ananda mengikuti gaya bicara anak-anak. (*/c25/ano)