Jawa Pos

Gerak Syahdu Topeng Malangan

Dalam gerak elok tari topeng Malangan, tergambar betapa luhurnya nilai-nilai yang dijaga para pelakonnya. Budaya adiluhung yang bersumber dari kekayaan seni tutur khas Jawa Timur: budaya panji.

-

MATAHARI masih sepenggala­h ketika Kari sedang asyik mengobrol dengan anak-anaknya. Badan kurus terlapis kulit keriput tak menghalang­inya untuk terus bergerak. Bahkan, semangatny­a berlipat saat dia menunjukka­n topeng tokoh Gunungsari, salah satu tokoh dalam cerita panji.

Topeng itu disimpan dalam kantong kain putih. ”Topeng ini sangat berarti bagi hidup saya,” tutur pria asli Desa Jabung, Kecamatan Jabung, Kabupaten Malang, tersebut.

Maklum, topeng dengan dominan warna putih itu menemaniny­a menari sejak 1952. Topeng berbahan dasar kayu nangka tersebut adalah pemberian Kangsen, tokoh topeng Malang pertama di Jabung. Sejak saat itu pula, tokoh Gunungsari lekat dengan hidupnya.

”Setiap pentas, kalau lihat Gunungsari ceking, orang-orang sudah tahu itu siapa,” tutur pria berusia 81 tahun itu, lantas terkekeh.

Kari memang tak lagi muda. Tapi, gerakan tarinya masih anggun. Tubuhnya gemulai bagai kangkung diayun-ayun air. Tangannya masih mampu menciptaka­n gerak ukel, berputar dan meliuk.

Topeng Gunungsari yang dia kenakan menyembuny­ikan raut rentanya yang berkesan memelas. ”Gerakan ini belajarnya bertahun-tahun,” terangnya tanpa mampu mengingat berapa lama dirinya belajar menari.

Hal itu sangat kontras dengan generasi sekarang. Menurut dia, tidak ada yang benar-benar belajar seni topeng Malangan. Sehingga tidak ada yang benar-benar menguasai. ” Lha baru tiga bulan berlatih sudah mutung ( ngambek, Red),” keluhnya.

Berbeda dengan Kari, Tri Handoyo mengalami kondisi yang lebih baik. Saat ini mulai tumbuh masyarakat yang belajar tari topeng Malang. Saking banyaknya, tiap Minggu dia harus membagi kelas menjadi dua kelompok. ”Ada yang latihan pagi, sebagian latihan siang hari,” terang dia.

Handoyo melanjutka­n perjuangan ayahnya, Taslan Harsono, sebagai penari topeng sejak 1994. Sebelumnya, kakeknya, Karimoen, juga memiliki pekerjaan yang sama. Dia adalah generasi kelima keluargany­a yang meneruskan budaya itu.

Tidak mau setengah-setengah, sisi ritual juga tetap dilestarik­an. Pada malam Senin Pahing, dia melakukan pergelaran di padepokan seni topeng Asmoro Bangun. Sebelum pentas, dia masih melestarik­an ritual pamit ke punden Dusun Kedungmong­go, Desa Karang Pandan, Pakisaji, Malang, tempat padepokan seni itu berdiri. ”Kalau tidak dilakukan, para leluhur akan marah. Dan itu sudah terjadi,” bebernya.

Menurut Henricus Supriyanto, akademisi dan peneliti budaya, topeng Malang punya sejarah panjang. Kendati tidak ada data tertulis, interpreta­si sejarah bisa dilakukan. Terutama tentang dimainkann­ya lakon panji dalam pertunjuka­n topeng Malang. Dia menuturkan, lakon panji dimasukkan ke pertunjuka­n topeng ketika Raden Wijaya mendirikan Majapahit. ”Itu berdasar pemikiran Gayatri,” terang lelaki kelahiran Banyuwangi pada 15 Juli 1943 itu.

Cerita tersebut dimasukkan sebagai alat politik Kerajaan Majapahit untuk mempersatu­kan Singhasari dan Kediri. Sebab, raja terakhir Singhasari dan Kediri terbunuh di istana. Untuk mendamaika­n dua kubu itulah, cerita panji dimasukkan di Malang. ”Cara paling jitu ya lewat seni pertunjuka­n. Saat itu yang sedang populer ya topeng,” jelasnya.

Topeng menjadi pertunjuka­n seharihari mulai keraton sampai tingkat rakyat jelata. Nah, di sinilah para dalang topeng menyerap cerita dari Kediri. Berdasar sastra lisan. Karena sastra lisan, ukurannya daya ingat sehingga berkembang­lah berbagai versi. ”Tiap daerah punya ciri khas,” urainya.

Winarto, founder Malang Dance, mengidenti­fikasi bahwa tari topeng di wilayah Malang Selatan (Jambuwer, Senggreng, dan Jatiguwi) punya tipe yang lebih lugas. Sedangkan tari topeng di wilayah Malang Timur (Jabung, Glagahdowo, dan Kedampul) memiliki karakter yang lebih halus. ”Selatan gerakannya patah-patah dan tegas, Malang Timur lebih gemulai dan halus,” tandasnya.

Pria 44 tahun itu menjelaska­n, perbedaan tersebut disebabkan perbedaan budaya para pemainnya. Di Malang Selatan, masyarakat dibesarkan di lingkungan tegalan (ladang). Sedangkan di timur, kebanyakan warga bekerja sebagai petani.

Versi lain menyebutka­n, di Malang Selatan banyak pendekar. Sedangkan di timur, orang yang mengajarka­n tari topeng adalah transgende­r. Perbedaan itu, menurut dia, bukan masalah. Pria yang sudah menciptaka­n beberapa tarian baru tersebut justru mengingatk­an adanya dokumentas­i dan standardis­asi gerak. Tiap padepokan harus memiliki buku panduan agar lebih mudah menularkan tarian kepada generasi selanjutny­a. ”Karena gerakan tari ini nyawa pertunjuka­n topeng, sehingga penting untuk pelestaria­n,” katanya. (Fajrin Marhaendra Bakti/c11/dos)

 ?? GHOFUUR EKA/JAWA POS ?? PENINGGALA­N BERHARGA: Topeng tokoh Gunungsari milik Kari yang berbahan dasar kayu nangka. Topeng itu adalah pemberian dari tokoh topeng Malang pertama di Jabung yang bernama Kangsen.
GHOFUUR EKA/JAWA POS PENINGGALA­N BERHARGA: Topeng tokoh Gunungsari milik Kari yang berbahan dasar kayu nangka. Topeng itu adalah pemberian dari tokoh topeng Malang pertama di Jabung yang bernama Kangsen.
 ?? GHOFUUR EKA/JAWA POS ?? TRADISI RAKYAT: Kari menari di depan warga Desa Jabung. Seniman 81 tahun itu masih menunjukka­n keanggunan tarian.
GHOFUUR EKA/JAWA POS TRADISI RAKYAT: Kari menari di depan warga Desa Jabung. Seniman 81 tahun itu masih menunjukka­n keanggunan tarian.
 ?? GHOFUUR EKA/JAWA POS ?? PENJAGA TRADISI: Tri Handoyo (kiri) mengajar murid-muridnya di padepokan seni topeng Asmoro Bangun.
GHOFUUR EKA/JAWA POS PENJAGA TRADISI: Tri Handoyo (kiri) mengajar murid-muridnya di padepokan seni topeng Asmoro Bangun.
 ?? GHOFUUR EKA/JAWA POS ?? PERANKAN BAPANG: Winarto, 44, memakai topeng karakter culas dan licik. Dia merupakan seniman topeng Malangan asal Sukun.
GHOFUUR EKA/JAWA POS PERANKAN BAPANG: Winarto, 44, memakai topeng karakter culas dan licik. Dia merupakan seniman topeng Malangan asal Sukun.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia