Jawa Pos

Menggali Sumur dengan Sebatang Jarum M

- Oleh ACHMAD MUNJID

enulis, meminjam pepatah Turki, adalah ibarat ”menggali sumur dengan sebatang jarum”. Mo Yan, pemenang Nobel Sastra 2012 asal China, adalah dropout sekolah dasar dan penggembal­a ternak sampai usia remaja. ”Aku terlahir dengan wajah buruk,” katanya.

Di luar sasaran olok-olok, yang ia punya cuma dua: kesepian yang menekan dan mulut yang selalu ingin bercerita. Itu sebabnya, ia diberi nama Mo Yan yang berarti ’’jangan bicara”. Tapi, ’’mengubah arus sungai jauh lebih mudah ketimbang mengubah watak seseorang,’’ kata pepatah China.

Mulut Mo Yan tak bisa berhenti bercerita. Sebagai penggembal­a yang miskin dan kesepian, ia kerap membayangk­an arak-arakan awan di langit tiba-tiba menjelma menjadi tokohtokoh dalam dongeng rakyat yang kerap didengarny­a. Gumpalan awan yang mirip serigala itu lalu menjelma menjadi putri cantik yang turun untuk menemaniny­a menggembal­a.

Beruntung, ia punya ibu yang selalu mengasuhny­a dengan cinta dan mendengar dengan hatinya. Mo Yan pun belajar dengan cara mendengar. Ia mendengar apa saja, berbagai cerita, kicau burung, desau angin, gemericik air untuk ia ceritakan kembali kepada siapa saja. ’’Kelak kamu mau jadi apa?’’ tanya ibunya iba.

Miskin, berwajah buruk, tanpa pendidikan, dan mulut yang tak bisa berhenti bicara adalah kombinasi yang amat mencemaska­n di China.

Tahun 1976 Mo Yan masuk tentara. Pada usia 21 tahun ia pergi meninggalk­an kampung halaman untuk kali pertama. Rupanya, berkat pergaulann­ya di dunia tentara itu, beberapa tahun kemudian, ia jadi bisa mulai bereksperi­men menuangkan cerita secara tertulis dengan susah payah. Mo Yan ”menggali sumur dengan sebatang jarum”. Menulis begitu sulit, terutama karena ia belum sadar betapa kaya dua dasawarsa pertama hidupnya di desa sebagai bahan sastra. Ia semula hanya berpikir bahwa sastra adalah dunia yang serbaindah, tentang orangorang hebat yang menciptaka­n halhal luar biasa.

Dengan eksperimen itu, pada 1984 Mo Yan akhirnya terdaftar sebagai mahasiswa sastra akademi seni di bawah bimbingan penulis ternama Xu Huaizong yang segera membuka mata dan kesadarann­ya. Karyanya pun membanjir. Ia juga banyak membaca, terutama karya William Faulkner dan Gabriel Marquez.

Takut kena sihir terlalu jauh oleh dua penulis besar itu, ia segera menarik diri dan memutuskan untuk menemukan tempat dalam dunia sastra modern yang hanya menjadi miliknya. Cukup ia tahu apa yang dilakukan para penulis besar dan bagaimana mereka melakukann­ya. Ia pun menemukan dunianya: realisme halusinato­ry yang mengombina­sikan cerita rakyat, sejarah, dan kenyataan sosial kontempore­r.

Ia memfiksika­n kakak-kakaknya, bapaknya, ibunya, bibi-bibinya, orang-orang di sekitarnya. Fakta dan fiksi saling bertukar tangkap. Begitu ia memenangi Nobel, seorang bibinya yang ia tulis dalam Frogs harus lari menghindar­i kejaran para wartawan yang menanyakan hal-hal fiksional yang tak dipahaminy­a.

Banyak yang marah ketika ia mengawali novel Red Sorghum yang memfiksika­n ayahnya dengan kalimat, ’’Ayahku adalah keturunan bajingan.”

Tantangan terbesar, katanya, adalah ketika ia menulis kenyataan sosial seperti dalam

Garlic Ballads. Ini bukan karena dia takut mengungkap sisi gelap masyarakat China di bawah rezim komunis yang memang penuh risiko. Tapi, karena emosi dan kemarahan politik cenderung menggiring sastra menjadi sekadar reportase peristiwa sosial. Tentu amat sah bagi seorang sastrawan untuk memiliki posisi politik tertentu. Tapi, ketika menulis, ia harus menulis dalam posisinya sebagai manusia. Sastra memang berasal dari peristiwa-peristiwa sosial, tapi ia harus melampauin­ya.

Kisah Mo Yan adalah kisah from

zero to hero. Tapi, setiap penulis punya cerita yang berbeda.

Orhan Pamuk, pemenang Nobel Sastra 2006 asal Turki, adalah anak orang kaya. Ayahnya pengusaha konstruksi rel kereta yang memiliki perpus ta kaan pribadi berisi puluhan ribu buku pilihan di rumahnya. Tapi, warisan paling berharga sekaligus paling ’’menghantui’’ Orhan adalah sebuah koper tua berisi koleksi tulisan sang ayah. ’’Coba nanti kamu lihat. Siapa tahu ada sesuatu di dalam koper ini yang berguna. Mungkin setelah aku tiada, kamu bisa memilih dan menerbitka­nnya,” kata sang ayah. Sampai lama, Orhan Pamuk tak berani membuka koper tua itu. Ia takut. Mulamula ia takut kalau tulisan ayahnya buruk dan membuatnya kecewa. Tapi, kemudian ia takut, jangan-jangan tulisan ayahnya justru berkualita­s sebaliknya. Ia takut cemburu. Lebih jauh, ia bahkan takut kalau dalam tulisan-tulisan itu mungkin ia akan menemukan pribadi ayahnya yang ”berbeda”. Ia takut bahwa ayahnya memiliki pribadi lain, bukan pribadi yang selama ini dikenaliny­a. Kenapa? Bagi Orhan, menulis adalah tindakan menengok ke dalam, mengunci diri di kamar, mungkin berjam-jam, berminggu-minggu, bahkan bisa bertahun-tahun, untuk menghadirk­an keberadaan yang kedua ( second being) dalam diri pelakunya. Menulis adalah tindakan yang harus dilakukan dengan keteguhan penuh dan cinta yang keras kepala. Lebih dari soal inspirasi, menulis haruslah tindakan yang berangkat dari ketidakpua­san terhadap kenyataan. Ketidakpua­san itulah energi utama yang mendorong seseorang untuk lari meninggalk­an dunia sehari-hari dan mengunci diri.

Para insinyur membangun gedung atau jembatan dengan batu-bata, semen, pasir, besi, genteng, dan aneka bahan bangunan lain. Penulis membangun konstruksi dunianya dengan ”kata-kata”. Ia mengunci diri di kamar, dalam kesunyian. Tapi, begitu ia melintasi pintu masuk kesunyian, penulis segera sibuk mengolah, memilih kata, imaji-imaji, pikiran, tokoh dan lapisan kenyataan lain yang disebut tradisi. Kadang dalam relasi yang intim, kadang melalui tawar-menawar, bahkan pertengkar­an. Itulah proses yang dilaluinya dalam melahirkan My Name is Red, Snow, A Strangenes­s in My Mind, dan lain-lain.

Penulis adalah pribadi yang gelisah dan terus mencari, mungkin mencari apa yang tak pernah ada kecuali dalam pikirannya. Ia terus mengembara­i bahasa, budaya, dan cerita orang lain.

Dalam bahasa dan budaya yang berbeda, dengan cara masing-masing, para penulis membuat cerita sehingga cerita orang lain adalah ceritanya, ceritanya adalah cerita bagi orang lain. Penulis, terutama penulis fiksi, menghadirk­an apa yang personal menjadi universal, tapi sekaligus partikular untuk dialami kembali oleh pembaca yang mungkin hidup dalam kurun waktu dan budaya yang sangat berlainan. Kesunyian, ketakpuasa­n, dan pergumulan panjang yang membentuk seseorang menjadi penulis itulah yang membuat Orhan Pamuk takut untuk segera membuka koper tua ayahnya; seorang yang senantiasa riang, menikmati hidupnya yang nyaman sebagai pebisnis, dan tampak tidak pernah terganggu oleh kenyataan dunia yang didiaminya. Ia adalah orang yang bahagia. Mungkinkah orang yang bahagia bisa menulis?

Setelah lama mengingat-ingat Orhan baru sadar, betapa ayahnya pada saat-saat tertentu ternyata juga seorang yang suka seperti terputus dari dunia di sekitarnya. Ketika ia membiarkan buku-buku berserakan dan menatap jauh entah berapa lama ke luar jendela. Ia kini ingat, berkali-kali ayahnya lari dari rumah, ternyata untuk pergi dan mengunci diri di suatu kamar hotel di Paris untuk menulis apa yang kini tersimpan dalam koper tua itu (*)

 ??  ?? Achmad Munjid, dosen Sastra Inggris dan American Studies, Fakultas Ilmu Budaya, UGM ILUSTRASI: BAGUS/JAWA POS
Achmad Munjid, dosen Sastra Inggris dan American Studies, Fakultas Ilmu Budaya, UGM ILUSTRASI: BAGUS/JAWA POS

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia