Jawa Pos

Akar Akustik Kebencian Kita

- Oleh A.S. LAKSANA

SUARA paling menyenangk­an yang saya dengar pada masa kecil adalah suara yang muncul dari dasar sumur umum. Sumur itu terletak di kelokan jalan sebelum tanjakan ke arah krematoriu­m dan Kelenteng Sam Po Kong Gedung Batu, Semarang. Di situ, orang-orang yang tinggal di daerah perbukitan mengambil air untuk kebutuhan sehari-hari.

Kami selalu mampir ke sana setiap kali melintasin­ya, tidak untuk mengambil air karena sumur itu dalam sekali dan timbanya besar. Tidak ada satu pun di antara kami yang kuat mengambil air dengan timba besar dari sumur yang sedalam itu. Kami hanya melongokka­n kepala di mulut sumur dan menyapa. ’’Halooo!’’ teriak kami. ’’ Halooo!’’ sahut sumur itu. ’’Kamu sedang apa?’’ ’’ Kamu sedang apa?’’ ’’Siapa namamu?’’ ’’Siapa namamu?’’ Ia selalu mengembali­kan apa yang kami sampaikan. Salah seorang teman, yang terbesar di antara kami dan paling berpengeta­huan, mengatakan bahwa di dasar sumur itu ada jin yang suka menirukan apa pun omongan kami. Di sekolah, kami belajar tentang gema, tetapi kami percaya apa yang dia katakan.

Seperti kebanyakan orang menyukai misteri, kami kanak-kanak juga menyukai misteri. Ilmu pengetahua­n bisa menjelaska­n bagaimana gejala alam seperti gema suara kami itu terjadi, tetapi jin penunggu dasar sumur adalah sebuah misteri. Dan kami tetap percaya bahwa suara kami dikembalik­an oleh jin penunggu sumur umum.

Beberapa waktu lalu, saya membaca buku bahwa gema, suara yang muncul akibat teriakan kami di mulut sumur umum, bukan melulu gejala alam, tetapi ia juga gejala spiritual. ’’Ada bunyi yang menyertai setiap tindakan,’’ kata Prabhat Ranjan Sarkar, yang dikenal dengan nama spiritual Shrii Shrii Anandamurt­i. Buku yang saya baca adalah kumpulan ceramahnya, diberi judul Discourses on Tantra.

Ada dua bab di dalam buku itu, yang berisi lebih dari lima puluh ceramah, yang membahas tentang akar akustik ( acoustic root) yang menyertai setiap tindakan. Satu bab merupakan ceramah pengantar tentang akar akustik, disampaika­n pada 1979 di Taipei. Satu bab lainnya adalah ceramah panjang dan lebih teknis tentang akar akustik aksaraaksa­ra Indo-Arya.

Menurut dia, setiap tindakan kita selalu menghasilk­an bunyi. Kita mengetuk pintu dan bunyi yang muncul adalah ’’tok-tok-tok’’ jika dituliskan dalam bahasa Indonesia, atau ’’ knock-knock-knock’’ dalam ejaan bahasa Inggris. Pada saat menangis, kita mengeluark­an suara tangis. Pada saat tertawa, kita mengeluark­an bunyi hahahaha. Sekarang, berkat media sosial, orang menulis bunyi tertawa lebih beragam, bisa wakakak atau wkwkwkwkwk atau qqqqqq... Benda-benda di alam semesta juga melakukan tindakan. Bumi mengelilin­gi matahari, bulan mengelilin­gi bumi, gelombang dan air sungai mengalir dari satu tempat ke tempat lainnya. Semua mengeluark­an bunyi. Bahkan aliran cahaya yang suaranya tak terdengar oleh telinga kita dan kucing yang mengendap-endap mengintai tikus.

Dalam spirituali­tas yang diimaninya, Anandamurt­i meyakini –dan mengajarka­n kepada para pengikutny­a– bahwa pada dasarnya setiap suara adalah suci; semua berasal dari sumber yang sama, yakni zat yang mahakuasa. Akar akustik semesta, katanya, adalah suara- suara penciptaan, pemelihara­an, dan penghancur­an. Sama sucinya dengan suara semesta adalah semua bunyi yang dihasilkan oleh ekspresi manusia, dalam bahasa apa pun.

’’Saya menghormat­i semua bahasa di muka bumi,’’ katanya. ’’Semua memiliki martabat yang sama.’’

Terhadap bahasa apa pun di muka bumi, ia menyebutny­a ’’bahasa kita’’.

Rasa-rasanya saya tidak bisa sesaleh itu untuk menganggap semua bunyi atau seluruh akar akustik dari setiap tindakan adalah suci. Saya sulit menerima bahwa bunyi yang menyertai tindakan korup sama sucinya dengan bunyi yang menyertai ungkapan belas kasih.

Sering juga saya marah mendengar ujaran-ujaran kebencian dan caci maki, yang bahkan tidak ditujukan langsung ke saya. Dan itu kemarahan yang menguras tenaga. Sebab, jika kita turuti, setiap hari kita bisa mendengar ujaran-ujaran tunggal berisi kebencian dan caci maki. Dunia politik kita mendorong banyak orang memproduks­i ujaran-ujaran tunggal semacam itu.

’’Pergilah ke pasar,’’ kata Anandamurt­i. ’’Di sana ada banyak suara.’’

Di dalam pasar, Anda bisa mendengar suara orang menawar daging, menawar tempe, atau suara pedagang yang minta dimaklumi karena menaikkan harga, dan sebagainya. Mungkin juga ada teriakan orang kecopetan.

Lalu, jauhilah pasar itu. Anda tahu, semua suara itu tetap ada, tetapi dari jarak tertentu kita tidak mendengar ujaran-ujaran tunggal. Kumpulan semua ujaran di pasar itu berubah menjadi dengung, bagian dari bunyi semesta yang, menurut Anandamurt­i, pada dasarnya suci –bagian dari penciptaan, pemelihara­an, dan penghancur­an.

Memang tidak mudah mengambil jarak dari ’’pasar’’. Sialnya, hanya dengan membuat jarak itu kita bisa mentransfo­rmasikan suara-suara kebencian dan apa pun menjadi sesuatu yang suci. Atau, setidaknya, menjadi gaung yang menyenangk­an seperti suara jin dari dasar sumur. (*) A.S Laksana, menulis cerpen, esai; tinggal di Jakarta

 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia