Subuh Sambang Masjid, Malam Cangkruk Bareng Warga
Sebagai Kanitbinmas Polsek Simokerto, AKP Hendry Ibnu Indarto kerap berhadapan langsung dengan masyarakat. Dia dituntut untuk selalu siap dengan beragam keluhan warga. AKP Hendry Ibnu Indarto, Sepuluh Besar Lulusan PTIK Angkatan 66 yang Jabat Kanitbinmas
MAPOLSEK Simokerto lengang kemarin siang (11/3). Hanya ada segelintir orang yang meminta surat kehilangan di meja sentra pelayanan kepolisian terpadu (SPKT). Meski begitu, itu tidak mengurangi kebiasaan Hendry untuk menyapa mereka. Sebagai Kanitbinmas, dia memang dituntut untuk selalu dekat dengan warga.
Hendry kerap blusukan ke kampung. Biasanya, dia menggunakan sepeda. Ketika Jawa Pos berkunjung ke Mapolsek Simokerto kemarin, sepeda tersebut diparkir rapi. Patroli memang dilakukan setiap pagi. ”Kalau keliling pakai mobil, nggak efektif. Soalnya, di sini didominasi perkampungan padat,” terang Hendry sembari memutar-mutar frekuensi handie-talkie yang dipegangnya.
Polisi asal Banjarnegara tersebut paham betul cara menghadapi warga. Dia banyak makan asam garam untuk mengenali karakter orang. Terutama saat dia menjalani penugasan di Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT).
Ceritanya bermula saat dia lulus dari Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) pada 2015. Hendry mendapat amanah untuk bertugas ke provinsi yang berbatasan langsung dengan Timor Leste tersebut.
Hendry merupakan lulusan terbaik nomor 4 di antara 150 polisi seangkatannya di PTIK. ”Yang sepuluh besar oleh mabes ditempatkan di hard post,” katanya.
Nah, selama setahun di daerah itu, Hendry terbiasa menghadapi orangorang yang kesusahan. Maklum, di Kupang masih banyak kawasan kering. Tidak sedikit kawasan yang tertinggal. Otomatis, warga kerap mengeluh dan meminta pertolongan. Salah satu yang bisa dimintai bantuan adalah polisi.
Dia menuturkan, hidup di tapal batas membuat dirinya banyak belajar. Bagi dia, meski kekurangan, orang-orang di wilayah itu tetap hebat. Mereka bisa bertahan hidup dan tidak memilih untuk menyeberang ke negara tetangga. ”Waktu saya di sana, wilayah Timor Leste yang di garis perbatasan itu memang terlihat lebih baik,” ungkap alumnus Akademi Kepolisian (Akpol) 2007 tersebut.
Karena itu, ketika bertugas di Kota Pahlawan, dia cepat beradaptasi. Intinya, terang dia, kegiatan binmas adalah upaya pencegahan. Tanpa mendengar keluh kesah warga, polisi tidak akan bisa dipercaya. Kalau ada warga yang resah dengan keamanan sekitar, Hendry dan anak buahnya langsung tanggap.
Selain berpatroli, upayanya untuk dekat dengan warga adalah menyambangi masjid setiap subuh. Dua minggu sekali Hendry dan anggotanya bergantian mengisi kuliah tujuh menit (kultum). Di Simokerto, ada lima kelurahan. Secara kontinu, lima wilayah itu mendapat giliran. ”Masjidnya juga gonta-ganti. Biasanya kami ajak untuk peduli dengan keamanan sekitar tempat tinggal,” papar sulung di antara tiga bersaudara tersebut.
Subuh sambang masjid, malamnya nyangkruk bareng. Mungkin itulah yang cocok untuk menggambarkan programnya sebagai Kanitbinmas. Saat malam, Hendry tak sungkan untuk nongkrong bareng warga. Meski cuma nyemil kacang dan nyeruput kopi, yang paling penting ada dialog antara polisi dan warga setempat.
Tidak jarang, Hendry menerima komplain dari warga. Misalnya warga yang ketar-ketir motornya hilang. Warga meminta polisi terus menjaga lingkungan tempat tinggalnya.
Selain warga, Hendry juga mendekati para tukang ojek dan tukang becak di sekitar Pasar Kapasan. Mereka berkumpul meski cuma 15 menit. ” Ya, kami minta kepada mereka supaya ikut memperhatikan keselamatan penumpang. Minta agar penumpangnya tidak menunjukkan barang berharga yang mencolok,” papar polisi berusia 31 tahun tersebut.
Mengumpulkan para tukang becak itu juga tak mudah. Sebab, mereka lebih mementingkan mengangkut penumpang ketimbang mendengarkan polisi mengoceh. Kalau sudah begitu, Hendry biasanya akan meyakinkan bahwa pertemuan itu tidak lama. ”Kami juga tahu bahwa mereka mau narik. Kami bilang saja kalau penumpangnya nggak bakal kabur karena nggak ada tukang becak,” kelakarnya. (*/ c11/fal)