Cari Keadilan Salah Sasaran
Teriakan maling menjadi pemicu tindakan anarkistis warga kepada para pelaku kejahatan. Masyarakat yang tidak mengetahui asal-usul kejadian pun ikut nimbrung. Mereka melampiaskan amarah yang bisa saja salah sasaran.
WAJAH pasangan suami istri Armidin Simanjutak dan Netty Hutabalian menyimpan duka yang begitu mendalam saat Jawa Pos menemuinya di kawasan pertokoan kompleks Delta Sari kemarin (11/3). Di bawah langit yang pucat, keduanya berupaya mengingat dan menceritakan nasib tragis yang dialami putranya, Yohannes Rizal, empat bulan lalu.
Yohannes tewas setelah diamuk massa. Warga yang menduga Yohannes sebagai pencuri menjadikannya sansak. Puluhan tinju membuat Yohannes jatuh terkapar dengan darah yang keluar dari mulut, hidung, pelipis mata, dan telinga. Remaja pria itu pun tewas di tempat. ’’Padahal, ceritanya bukan begitu. Anak saya orang baik-baik,’’ tutur Netty.
Di atas bangku dan kursi kayu, dia memulai kisahnya. Netty mengutarakan bahwa kejadian yang menimpa dirinya merupakan sesuatu yang tidak adil dan harus diusut tuntas.
Pada 26 Oktober 2016, tepat pukul 16.15, Netty hendak menjenguk sang suami yang tengah dirawat di RSI Jemursari, Surabaya. Armidin sedang sakit berat. Netty menjenguknya dengan diantar anak ketiga, Aziz Suryo. Setiba di RSI Jemursari, mereka merawat Armidin. Sekitar dua jam kemudian, keduanya pamit pulang. Namun, begitu tiba di rumah, kabar buruk datang. Seorang tetangga tiba-tiba menghampiri Netty dan melaporkan dengan nada histeris bahwa Yohannes telah meninggal.
Netty dan Aziz pun bertanya-tanya keheranan, bagaimana bisa secepat itu. Padahal, saat Netty dan Aziz hendak meninggalkan rumah, Yohannes sedang berada di rumah. Sang tetangga menjelaskan, Yohannes meninggal saat membeli gorengan di warung tepat di depan area TPQ Al Amin, Wedoro. Sekitar 200 meter jauhnya dari rumah mereka.
Berdasar keterangan banyak saksi, Netty menjelaskan bahwa saat itu Yohannes memarkirkan sepeda di depan TPQ Al Amin. Sebelum menuju warung yang berhadapan dengan TPQ Al Amin, dia memarkirkan motor Supra Fit-nya bernopol W 5527 RU tepat di muka pagar tempat belajar mengaji bersama beberapa sepeda lainnya. Yohannes kemudian melangkah ke seberang dan memesan sebungkus gorengan.
Setelah mendapatkan gorengan yang dipesan, Yohannes kembali menuju tempat sepedanya diparkir. Sayang, dia tak bisa langsung menggapai sepedanya karena ada dua motor yang menghadang. Dia kemudian memindahkan satu per satu motor tersebut. Motor pertama selesai dipindahkan. Berlanjut ke motor berikutnya.
Sialnya, saat hendak memindahkan motor kedua, muncul teriakan melengking dari warga sekitar. ’’Maling, maling, anak saya diteriaki maling sama warga,’’ ujar Netty dengan pucat pasi. Armidin yang berada di sebelahnya hanya bisa termenung mendengar istrinya menceritakan kembali detik-detik anaknya dihabisi massa.
Dalam sekejap, teriakan maling itu seakan menjadi sirene pembangkit jiwa anarkistis manusia lain di sekitarnya. Sontak, mereka langsung mengepung Yohannes dan melayangkan ratusan bogem mentah. Yohannes pun meronta serta berteriak meyakinkan warga bahwa dirinya tak bersalah dan bukan pencuri.
Netty menyatakan, ada beberapa orang yang sempat menghadang aksi buas tersebut. Dalam waktu yang singkat itu, Yohannes menyempatkan diri menunjukkan KTP dan tanda pengenal lainnya. Dia mengaku bahwa dirinya tidak berdosa dan tidak memiliki niat untuk mencuri. ’’Ini KTP saya. Saya warga sekitar sini dan bukan pencuri,’’ tutur Netty.
Sesaat setelah menunjukkan identitas diri dan memohon pengampunan, bukan rasa aman yang diterima Yohannes. Sebaliknya, warga kian menjadi-jadi dan semakin banyak provokasi untuk main hakim sendiri. Warga menghiraukan permohonan ampun itu dan kembali menghujani tubuh Yohannes dengan pukulan.
Dari kejadian itu, Netty menuntut beberapa hal kepada pihak kepolisian. Di antaranya, dia ingin kasus tersebut lekas diselesaikan. Saat ini Armidin dan keluarga telah melayangkan surat kepada Polda Jatim dan DPR agar kasus tersebut diusut tuntas.
Sementara itu, perasaan menyesal diungkapkan M. Tohari. Warga Desa Gebang, Sidoarjo, itu sempat menjadi sasaran amuk massa ketika tepergok mencuri burung lovebird di Desa Klurak, Candi, pertengahan Januari lalu. ’’Sudah kapok, tidak akan mengulangi,’’ kata pria 30 tahun tersebut. (jos/edi/c19/dio)