Dukungan Warga, Pelaku Tidak Trauma
MASSA menghakimi pelaku kriminal hingga babak belur, bahkan tewas, bukan tanpa sebab. Hal itu dilakukan lantaran ada agresi emosi atau rasa benci yang muncul pada sekelompok orang. Meski tindakan tersebut ber dampak negatif bagi sasarannya, para pelaku biasanya sulit disalahkan.
Psikolog RSUD Sidoarjo Alvie Syarifa mengatakan, kasus-kasus tersebut tidak terjadi satu dua kali di Sidoarjo. Sebab, agresi emosi yang muncul oleh sekelompok orang tersebut ada pemicunya. Kasus yang terjadi di Kecamatan Jabon dan Waru itu terjadi lantaran pelaku bertindak kriminal. ’’Ada yang memicu amarah warga. Misalnya, korban dituduh mencuri,’’ katanya.
Meski demikian, pelaku pengeroyokan sulit ditindaklanjuti secara hukum. Sebab, petugas sulit melakukan criminal profiling (penyelidikan kasus kejahatan). ’’Akan sulit mencari siapa yang harus bertanggung jawab,’’ katanya.
Berbeda ketika kejahatan itu dilakukan individu. Sebab, pelaku pembunuhan individu justru akan lebih berdampak pada psikilogis dibandingkan pelaku pengeroyokan. Apalagi, hukuman yang diterima pelaku pengeroyokan tidak separah pelaku pembunuhan individu. ’’Dari sisi psikis tidak banyak berpengaruh pada pelaku pengeroyokan,’’ ucapnya.
Alvie menyebutkan, selama ini dirinya belum pernah menemui kasus para pelaku pengeroyokan saat menghakimi massa mengalami trauma sebagaimana pembunuh individu. ’’Lebih besar rasa takut dipenjara dibandingkan trauma karena membunuh,’’ tuturnya.
Juga, rasa takut terhadap respons masyarakat. Misalnya, ketika ikut mengeroyok hingga tewas, keluarga dan masyarakat sekitar akan mengucilkan atau menganggapnya berbuat sangat jahat. ’’Kalau lingkungan masyarakat dan keluarga tetap mendukung tindakan pelaku pengeroyokan, biasanya tidak ada trauma,’’ ungkapnya.
Menurut dia, mengeroyok seseorang yang dituduh berbuat kejahatan juga ikut-ikutan. Ungkapan kemarahan itu dianggap hal biasa. (ayu/c15/dio)