Bertahan dengan Air Sumur Berwarna Kuning
SEPINTAS, tanggul tinggi yang mengitari area seluas 634,4 hektare luberan lumpur Lapindo sudah menyelesaikan masalah. Namun, sejatinya ada ratusan orang yang hidup merana di sekitar tanggul itu. Lingkungan mereka sudah tidak layak ditinggali
Namun, mereka tak bisa meninggalkannya karena khawatir kehidupan di tempat baru lebih sengsara.
Mereka tersebar di Desa Gempolsari, Kalitengah, Ketapang, Mindi, dan Glagaharum. Salah satunya Khoirul Anam. Warga RT 11 RW 3, Desa Gempolsari, tersebut memilih bertahan karena tidak punya pilihan lain. ”Kami belum masuk dalam peta area terdampak (PAT),” ujarnya.
Lelaki 54 tahun itu tidak bisa menjual tanah dan rumahnya. Kalau dijual ke orang lain, pasti tidak ada yang mau lantaran sangat dekat dengan tanggul lumpur. Sedangkan BPLS hanya bisa membayar ganti rugi bagi tanah dan bangunan yang masuk PAT.
Meski BPLS mau memberikan ganti rugi pun, Khoirul menegaskan bakal menolak. Sebab, ganti rugi dari BPLS dihitung berdasar harga lama. Padahal, harga tanah, bahan bangunan, dan tukang sudah naik berkali lipat dibanding sepuluh tahun lalu, saat lumpur mulai menyembur.
Dengan kondisi seperti itu, Khoirul khawatir kehidupannya lebih buruk di lokasi baru. Luas tanah yang didapatkan lebih sempit. Lokasinya juga tidak strategis. ”Belum lagi harus menyesuaikan dengan lingkungan baru. Itu juga jadi kendala kami,” bebernya.
Memang, selama tujuh kali berganti perpres, tidak pernah ada kenaikan harga ganti rugi tanah dan bangunan. Posisi rumah Khoirul sangat dekat dengan tanggul. Kurang dari 10 meter dari bibir tanggul. Hanya jalan desa yang memisahkan rumahnya dengan tanggul setinggi 11 meter itu. Bahkan, ketika tanggul jebol September tahun lalu, rumahnya terendam air dan lumpur. ”Kami waswas saja kalau sampai terjadi lagi,” keluhnya.
Bapak dua anak itu mengungkapkan, selama ini warga masih kurang mendapatkan perhatian. Padahal, warga merasa sangat dirugikan atas adanya bencana tersebut. Bantuan air bersih, kesehatan, dan bantuan sosial jarang sekali mereka peroleh. ”Selama ini terkesan asal-asalan, ala kadarnya saja,” cetusnya.
Padahal, air sumur yang dimanfaatkan warga untuk kegiatan sehari-hari sudah berubah warna menjadi kuning. Hanya sebagian yang airnya tetap bersih. Akibatnya, warga kesulitan untuk mendapat air bersih. ”Air bersih hanya dikirim dua bulan awal. Selanjutnya jarang dikirim,” ucapnya.
Selain itu, menurut Khoirul, kualitas udara di sekitar desanya sudah tidak layak. Bau menyengat sudah menjadi santapan seharihari. Tak pelak, banyak tetangga- nya yang mengeluh sesak napas. Terutama yang berusia lanjut. ”Kesehatan kami juga tidak pernah diperhatikan. Tidak ada obat untuk kami,” papar pria yang menghabiskan seluruh hidup di Gempolsari tersebut.
Khoirul berharap ada perubahan ke depan. Siapa pun yang menggantikan BPLS, harus ada perbaikan. Terutama dalam memperjuangkan nasib warga yang menjadi korban, tapi belum masuk PAT. ”Perlu ada pendataan dan penelitian baru lagi agar lebih update,” harapnya.
Annisa Firdausi, warga lain, mengaku sudah tidak nyaman hidup di rumahnya di Perumahan Tanggulangin Asri, Desa Kalitengah. Dia merasa tanah di sekitar rumahnya sudah menurun. Selain itu, setiap musim hujan, selalu saja ada banjir. Banjir bisa bertahan tiga sampai empat hari. ”Padahal, selama belasan tahun hidup di sini, baru kali ini parah begini,” ucapnya.
Annisa berharap pengganti BPLS nanti bisa lebih berfokus pada kehidupan sosial masyarakat yang terkena dampak tidak langsung luapan lumpur. Sebab, sudah banyak tetangganya yang pindah karena merasa tidak mendapatkan perhatian serius. ”Banyak yang pindah karena tidak kerasan. Persaudaraan renggang kan jadinya,” kata dia. (aji/c9/ang)