Ribuan Warga Tinggal Dekat Tanggul Resah
JAKARTA – Ribuan warga Sidoarjo yang terdampak lumpur Lapindo kini khawatir. Sebab, Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) dibubarkan Presiden Joko Widodo. Padahal, sejak lumpur menyembur pada 29 Mei 2006, itulah lembaga yang mengurusi semua hal terkait dengan dampak semburan
BPLS dibubarkan dengan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 21 Tahun 2017. Perpres tersebut diteken pada 2 Maret lalu. Fungsi BPLS selama ini, antara lain menanggulangi semburan dan luapan lumpur serta menangani masalah sosial dan infrastruktur, akan dialihkan kepada Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR).
”Sebetulnya badan tersebut tidak benar-benar dibubarkan. Hanya, fungsinya ditarik ke Kementerian PUPR, jadi eselon II di bawah Ditjen Sumber Daya Air,” kata Menteri PUPR Basuki Hadimuljono saat dikonfirmasi kemarin (13/3).
Basuki meminta warga tidak resah. Dalam Perpres 21/2017 telah dijelaskan semua hal tentang peralihan tugas. Seluruh personel BPLS juga dialihkan ke Kementerian PUPR. Meski proses peralihan akan memakan waktu setahun, Basuki menjamin penanganan semburan terus tertangani.
Justru, tegas Basuki, masuknya badan tersebut ke bawah kementeriannya akan menjadikan fungsi badan lebih kuat. Toh, unit baru itu nanti tetap berkedudukan di Surabaya. ”Bentuknya itu akan seperti Balai Besar Wilayah Sungai Brantas,” lanjutnya.
Unit struktural yang dinamai Pusat Pengendalian Lumpur Sidoarjo tersebut nanti juga berkantor di kantor BPLS. Pihaknya segera menyosialisasikan perubahan bentuk BPLS kepada masyarakat Jawa Timur. Khususnya masyarakat yang terdampak langsung maupun tidak langsung semburan lumpur.
Kemudian, semua hal berkaitan dengan ganti rugi juga akan menjadi tanggung jawab direktorat baru tersebut. Termasuk di dalamnya menagih tanggung jawab PT Lapindo Brantas sesuai dengan ketentuan dalam perpres itu.
Apakah penanganan akan lebih baik setelah BPLS bubar? Entah. Yang jelas, selama sepuluh tahun tragedi itu terjadi, masalah tak pernah tuntas teratasi. Dana yang sudah dihabiskan BPLS sekitar Rp 4,1 triliun. Sebagian besar dipakai untuk ganti rugi tanah dan rumah warga di 14 desa yang terdampak lumpur. ”Dana tersebut sudah termasuk untuk kegiatan badan pelaksana,” ujar Humas BPLS Khusnul Khuluq.
Sekitar 13.000 berkas tanah dan bangunan yang masuk peta area terdampak (PAT) lumpur sudah berhasil diselesaikan. Sedangkan di luar PAT, ada sekitar 14.000 berkas yang sudah dirampungkan pembayarannya. Dari jumlah itu (13.000), ada sekitar 84 berkas yang masuk PAT, tapi belum terbayar. Nilainya tidak kecil, mencapai Rp 49,7 miliar. ”Biasanya karena masalah waris. Jadi, kami kesulitan menentukan pembayarannya,” lanjut Khusnul.
Di luar PAT, ada sekitar 100 berkas yang belum lunas pembayarannya. Alasannya, ada beberapa warga yang memilih bertahan. Mereka masih yakin semburan lumpur akan berhenti. Mayoritas berada di Desa Ketapang dan Mindi. ”Kalau yang begini ini kami tidak bisa memaksa. Karena memang hak masing-masing,” ucap dia.
Namun, di luar itu semua, masih ada ribuan orang yang terdampak dan tidak mendapatkan penanganan serius. Rumah mereka sangat dekat dengan tanggul. Tapi, secara legal, mereka tidak masuk area yang mendapatkan bantuan. Golongan seperti itu tersebar di delapan desa.
Pengusaha juga terpuruk. Sebanyak 26 pebisnis menanggung rugi. Asetnya terendam lumpur. Total kerugian mencapai Rp 800 miliar. Sayang, hingga kini rekening mereka masih kosong. Tak ada pembayaran kompensasi.
Pemkab Sidoarjo juga menjadi korban. Sejumlah balai desa, kantor kecamatan, serta tanah kas desa turut amblas. Rumah ibadah seperti musala dan masjid serta gedung sekolah juga tertimbun urukan cairan hitam pekat. Sampai kini proses ganti rugi aset-aset publik itu menggantung.
Terbitnya perpres tersebut bermula dari rapat tim penilai akhir (TPA) di Kantor Presiden Februari lalu. Dalam rapat itu, nama calon kepala BPLS muncul untuk mendapatkan penilaian. Saat itulah presiden mempertanyakan tugas-tugas yang diemban kepala BPLS untuk saat ini.
Basuki pun menjelaskan beberapa tugas kepala BPLS, seperti mengelola aliran lumpur dan menyelesaikan problem lain yang saat ini dirasa sudah tidak terlalu berat. ”Oke, kalau begitu, dilebur saja jadi struktural di PU,” ucap Basuki menirukan perintah presiden. Dari situlah, Basuki menyiapkan perpres. Meskipun judulnya pembubaran, dalam praktiknya peleburan struktur.
Kepala Biro Komunikasi Publik Kementerian PUPR Endra S. Atmawidjaja menjelaskan, pihaknya segera menindaklanjuti aturan yang tertuang dalam perpres itu. ”Ada tiga poin utama yang akan menjadi tugas kami. Yakni meninggikan tanggul agar lumpur tidak keluar dari area yang kami kendalikan, mengalirkan lumpur, dan menangani masalah sosial yang timbul di masyarakat,” paparnya kepada Jawa Pos kemarin.
Endra menambahkan, meskipun sudah bisa dikendalikan, lumpur masih saja keluar di tempat baru. Karena itu, Kementerian PUPR akan melakukan tindakan antisipatif untuk menjaga agar lumpur tersebut tidak keluar dari area. Caranya ialah meninggikan tanggul. ”Setelah BPLS tidak ada, itu kan harus terus dilakukan,” tuturnya.
Kementerian PUPR juga punya tugas untuk mengalirkan lumpur yang terus menyembur itu. Utamanya, kata Endra, melalui Kali Porong. Itu menjadi pekerjaan yang tidak bisa ditunda karena aliran lumpur tersebut sangat besar dan akan berakibat fatal jika alirannya tidak berjalan. ”Per tahunnya itu ada 40 juta meter kubik lumpur yang kita alirkan,” ucapnya.
Tugas BPLS lainnya yang kemudian harus ditangani Kementerian PUPR ialah penanggulangan masalah sosial yang terjadi pada masyarakat terdampak lumpur. Yakni ganti rugi tanah yang dianggap masyarakat belum selesai.
Penanganan masalah sosial itu berupa ganti rugi tanah dan bangunan yang masuk PAT tetap menjadi tanggung jawab PT Lapindo Brantas sampai tuntas. Sedangkan penanganan semburan, termasuk pengaliran ke Kali Porong dan penanganan dampak lainnya, akan ditanggung APBN. (aji/byu/and/c9/ang)