Terseret Pula oleh Arus Politik Pilkada
Ombudsman Republik Indonesia pada 10 Maret lalu berusia 17 tahun. Komisioner ORI di bidang ekonomi, A. Alamsyah Saragih, mengisahkan bagaimana lembaganya mengelola bisnis pengaruh, mengupayakan perbaikan sistemik, termasuk di daerah.
PADA 10 Maret Ombudsman RI berusia 17 tahun. Kata ’’ ombudsman’’ berasal dari bahasa Swedia, bermakna perwakilan. Dibentuk oleh Charles XII, raja Swedia yang mengungsi ke Turki, dengan tugas mengawasi penyelenggara negara. Kata ini telah diserap oleh berbagai bahasa, termasuk Indonesia, dan berkekuatan hukum setelah keluarnya UU 37/2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia.
Adalah Presiden Abdurrahman Wahid yang berinisiatif membentuk lembaga pengawas yang diberi nama Komisi Ombudsman Nasional pada 2000. Jaksa legendaris, Antonius Sujata, diangkat sebagai ketua. Teten Masduki, penggiat antikorupsi, menulis tentang pentingnya Ombudsman di harian ibu kota. Mensesneg Marsilam Simanjuntak membacanya dan kemudian menghubunginya. Teten Masduki menjadi satu di antara sembilan anggota.
Berdasar UU 37/2008, Ombudsman RI mulai berubah status menjadi lembaga negara. Ombudsman diberi kewenangan untuk mendeteksi maladministrasi dalam pelayanan publik, memanggil, dan memeriksa penyelenggara pelayanan hingga memediasi dan menerbitkan rekomendasi. Meski memiliki imunitas dan upaya panggil paksa dalam menjalankan tugasnya, Rekomendasi Ombudsman tak memiliki daya paksa kecuali sanksi administratif.
Jika boleh disederhanakan, bisnis Ombudsman adalah bisnis pengaruh. Dalam berbagai literatur lebih sebagai magistrature of influence ketimbang
magistrature of sanction. Antonius Sujata sering menggunakan peristiwa di salah satu negara untuk menjelaskan gejala bisnis pengaruh ini. Seorang jaksa agung yang dihubungi via telepon oleh Ombudsman tanpa sadar segera berdiri sambil menjawab telepon!
Para ahli kerap mengungkapkan efektivitas pengaruh mensyaratkan budaya hukum yang baik. Tak heran jika banyak yang pesimistis. Salah satu argumen yang sering diungkapkan, KPK pun tak mampu meredam korupsi.
Namun, jumlah laporan yang meningkat tajam di tahun-tahun terakhir seolah membantah pesimisme tersebut. Pada 2016 jumlahnya menembus 10.500 laporan dan tahun sebelumnya 6.859 laporan. Survei Polling Center pada 2016 menyatakan, 77 persen pelapor menyatakan puas dengan kinerja ORI, namun 58 persen pelapor adalah masyarakat dengan pendidikan tinggi dan berstatus ekonomi menengah ke atas.
Banyak dinamika dalam kerja Ombudsman. Pada Februari 2017 media di Sulsel digemparkan dengan berita operasi tangkap tangan pungli di Kantor Pertanahan Gowa. Operasi itu diprakarsai Saber Pungli dan Ombudsman Perwakilan Sulawesi Selatan. Apakah Ombudsman telah bergeser orientasi dan mulai menggunakan upaya paksa?
Sebab, pelapor ke Ombudsman yang dimintai uang melebihi ketentuan menyatakan ingin agar aparat ditindak. Sebagai bagian dari saber pungli, Ombudsman harus meneruskannya dan kemudian tim dari kepolisian mengambil tindakan. Ombudsman sama sekali tak merasa berhasil dengan peristiwa tersebut. Ombudsman lebih menyasar perbaikan secara sukarela, kecuali terpaksa.
Tantangan terkini Ombudsman adalah mendorong perbaikan sistemik oleh penyelenggara layanan agar laporan tak berulang. Diperlukan pencegahan terhadap maladministrasi. Tak jarang Ombudsman harus menyarankan perubahan kebijakan untuk memperbaiki kualitas dan mengurangi ekses negatif dalam pelayanan.
Di masa kepemimpinan Danang Girindrawardana dan kawan-kawan, saran perbaikan untuk dwelling time telah mendorong pemerintah memperbaiki pelayanan di pelabuhan. Tak berhenti sebatas hal itu, beberapa penyimpangan akhirnya ditindak dan menyita perhatian publik luas.
Hal lain, untuk meningkatkan kepatuhan penyelenggara pelayanan, Ombudsman telah pula melakukan survei tahunan yang menghasilkan penilaian terhadap kepatuhan berdasar UU Pelayanan Publik. Secara perlahan, tingkat kepatuhan meningkat walaupun masih jauh dari memuaskan. Ke depan, upaya itu dilengkapi survei indeks persepsi maladministrasi.
Dalam kasus kekosongan blangko KTP elektronik 2016 lalu, Ombudsman memanggil Kemendagri untuk melakukan kajian cepat dan menerbitkan rekomendasi untuk perbaikan. Dalam kajian tersebut, ditemukan sejumlah hal yang harus diperbaiki untuk lini depan pelayanan hingga dukungan anggaran bagi Kemendagri.
Pada periode kepemimpinan ketiga, arus politik mulai ’’menyeret’’ Ombudsman. Peringkat kepatuhan yang diterbitkan Ombudsman setiap tahun digunakan Anies Baswedan untuk menyerang petahana dalam debat kedua pilgub DKI. Kubu petahana menyerang balik bahwa semasa menjabat sebagai menteri pendidikan, Anies juga pernah mendapatkan peringkat rendah. Polemik nilai kepatuhan menjadi viral di media sosial. Situs Ombudsman ’’terganggu’’ akibat tingginya akses terhadap hasil survei.
Dalam penanganan kasus dugaan penistaan agama oleh salah satu kandidat, Ombudsman kembali ’’terseret’’. Polri telah mengundang Ombudsman untuk mengawasi gelar perkara semiterbuka yang akhirnya menetapkan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) sebagai tersangka. Tak berhenti sampai di situ, Mendagri dilaporkan ke Ombudsman karena Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama yang berstatus terdakwa tak diberhentikan sementara.
Kemendagri mendatangi Ombudsman untuk mengklarifikasi polemik pemberhentian sementara Gubernur Basuki Tjahaja Purnama. Ketua Ombudsman Prof Amzulian Rifai di hadapan banyak wartawan menjelaskan berbagai pandangan, termasuk pandangan akademik, dan mengakhiri bahwa Ombudsman belum memutuskan pendapat institusi.
Salah satu media mengutip sepotong pendapat tersebut dan segera menjadi viral di media sosial. Dukungan dan umpatan kepada Ombudsman datang silih berganti. Ada pelajaran penting, di hadapan publik anggota masih bisa setengah salah, tapi ketua Ombudsman tidak. Meski tulus dan tak berkepentingan, apakah di muka umum pimpinan Ombudsman harus mulai pelit berpendapat?