Dipersatukan oleh Korupsi
A DA sisi ’’mengharukan’’ dalam pembeberan aliran uang korupsi e-KTP oleh jaksa KPK. Betapa ’’kebinekaan’’ dan ’’persatuan’’ tergambar kuat di sana. Orang-orang yang diduga terlibat korupsi uang rakyat itu berasal dari beragam etnis, agama, aliran, partai, daerah, pulau, warna kulit, bentuk mata, dan berbagai pembeda lain. Namun, mereka diamdiam melupakan segala perbedaan ketika di depannya ada gunung uang APBN untuk dikerat-kerat.
Ketuhanan tergantikan ’’kemahaesaan’’ uang. Kemanusiaan mereka tergadai oleh kerakusan sehingga tak adil dan tak beradab. DPR, cermin persatuan Indonesia itu, malah ’’bersatu’’ dalam pencurian. Dengan mengabaikan kerakyatan dan tak dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan, mereka bermusyawarah dengan perwakilan agar semua kebagian. Itulah ’’keadilan sosial’’ bagi seluruh elite culas yang terlibat.
Dampak perbuatan mereka benar-benar mencakar seluruh wilayah NKRI. Harga setiap keping e-KTP yang diterima rakyat digembungkan dua kali lipat dari seharusnya. Uang rakyat Rp 2,3 triliun digarong. Setiap kepala penerima e-KTP adalah korban orang-orang rakus itu. Jarang ada korupsi yang korbannya merata seluruh negara seperti kasus ini.
Reaksi setelah pengungkapan korupsi e-KTP tersebut juga nyaris seragam. Kebanyakan di antara orang-orang rakus itu membantah. Tak ada yang mengaku. Malahan ada yang melapor balik. Induk partainya pun bersikap seragam. Mengecam korupsi dan mendukung KPK, tapi tak bertindak lebih dari itu (pada awal reformasi, masih ada partai baru yang sensitif terhadap kadernya yang terserempet korupsi).
Bahkan, presiden pun bersikap sama. Mengecam, tapi tak bertindak ketika ada menterinya yang masuk list busuk itu. Padahal, tidak ada yang menggugat ketika dia bertindak lebih tegas. Toh, nasib menteri adalah hak prerogatifnya.
Karena kuatnya ’’rasa persatuan’’ di kalangan pihak yang korupsinya dibeberkan itu, wajar apabila ada yang beranggapan bahwa posisi KPK sangat rawan. Selain pentolan DPR, tak ada perkecualian di komisi II (yang anggotanya 51 orang) periode lalu yang diduga menerima bagian duit e-KTP.
Sebagian orang yang disebut itu pun masih bercokol di DPR dengan segenap kewenangannya. Mereka bisa saja menyusahkan KPK periode Agus Rahardjo yang melanjutkan kerja pengusutan e-KTP periode Abraham Samad cs.
KPK tak boleh gentar. Tuntaskan pembuktian kasus tersebut. Ungkap semua aliran dana sehingga uang najis Rp 2,3 triliun itu terkuak ditelan siapa saja. Jangan sampai Indonesia justru ’’dipersatukan’’ oleh korupsi. Ayo, gulung para pengkhianat sejati Pancasila dan NKRI itu.