Hubungan Turki-Belanda Tambah Panas
Jelang Referendum yang Untungkan Erdogan
ANKARA – Referendum 16 April memantik permusuhan Turki dengan beberapa negara Eropa sejak pekan lalu. Itu disebabkan sebagian negara yang tercatat sebagai anggota Uni Eropa (UE) tidak mau Presiden Recep Tayyip Erdogan melibatkan mereka dalam urusan domestiknya. Kemarin (13/3) untuk kali ketiga, Turki memprotes Belanda.
Lewat referendum, Turki berencana mengubah sistem pemerintahan dari parlementer menjadi presidensial. Perubahan tersebut diyakini bakal menguntungkan Erdogan. Sebagai presiden, Erdogan akan punya kuasa mutlak. Agar keinginan itu terwujud, Erdogan mengirim menteri-menterinya ke beberapa negara dengan populasi warga Turki lumayan banyak. Kenyataannya, negara-negara tersebut menolak.
Hubungan Turki-Belanda memanas setelah Negeri Kincir Angin itu mengekor Jerman yang melarang menteri-menteri Erdogan berkampanye untuk presiden mereka di wilayahnya. Sabtu (11/3) Belanda menolak kedatangan Menteri Luar Negeri Turki Mevlut Cavusoglu. Penolakan tersebut berbuntut ancaman. Orang dekat Erdogan itu menyatakan bahwa Turki akan menjatuhkan sanksi untuk Belanda.
”Sabtu sore, Kementerian Luar Negeri memanggil Daan Feddo Huisinga untuk menyampaikan protes langsung,” kata sumber kementerian tentang pemanggilan diplomat yang menjabat charge d’affaires Belanda di Kota Ankara tersebut. Setelah protes langsung Sabtu lalu, pemerintahan Erdogan kembali memanggil Huisinga pada Minggu (12/3). Tepatnya, setelah Belanda mengusir seorang menteri Turki.
Sebelum mengusir Menteri Sosial dan Urusan Keluarga Fatma Betul Sayan Kaya, Belanda sudah memperingatkan Turki agar tidak mengirimkan delegasi Erdogan ke wilayahnya. Tapi, Ankara tidak menggubrisnya. Kaya dan rombongannya tetap bertolak ke Belanda untuk mengampanyekan dukungan terhadap Erdogan di hadapan diaspora Turki di negara tersebut. Kenekatan itu berbuah pengusiran.
Polisi Belanda mengawal Kaya dan rombongannya dalam perjalanan pulang ke Turki. Aksi tersebut membuat Ankara kembali memanggil Huisinga. Kemarin untuk kali ketiga, pemerintahan Erdogan memprotes Belanda. Kali ini, Turki juga menuntut permintaan maaf tertulis dari Belanda karena menganggap negara tersebut telah melanggar Konvensi Wina tentang diplomasi.
”Pagi ini (kemarin) kami memberikan dua nota diplomasi kepada Charge D’Affaires Huisinga setelah dia menghadap lagi untuk kali ketiga,” terang kementerian. Selain permintaan maaf resmi, Turki bakal menginvesti- gasi dugaan pelanggaran Konvensi Wina oleh Belanda tersebut. Jika itu terbukti, Turki tidak akan segan menuntut kompensasi dari Belanda.
Dalam salah satu nota diplomasinya, Turki mengkritik cara Belanda membubarkan unjuk rasa damai di dekat gedung konsulat Turki di Kota Rotterdam. Sabtu lalu sekitar 1.000 pendukung Erdogan mengadakan aksi protes di dekat kantor perwakilan diplomatik Turki itu. Beberapa jam kemudian, polisi membubarkan paksa unjuk rasa tersebut dengan anjing dan pasukan berkuda. ”Komunitas dan warga Turki menjadi sasaran perlakuan kasar yang tidak manusiawi dan hina saat menggunakan hak demokrasi mereka,” terang Turki. Atas perlakuan itu, pemerintahan Erdogan mendesak Belanda minta maaf. Pemimpin 63 tahun tersebut juga sempat menyamakan Belanda dengan Nazi karena melarang menteri-menteri Turki menyuarakan aspirasi mereka di sana.
Komentar Erdogan itu jelas membuat Perdana Menteri (PM) Belanda Mark Rutte kebakaran jenggot. ”Ini tidak bisa ditoleransi,” ujarnya. Dia menegaskan bahwa Belanda hanya berusaha mengamankan rakyatnya dan melindungi mereka dari potensi konflik politik yang lebih luas gara-gara referendum Turki.
Sebelum berkonflik dengan Belanda, Ankara lebih dahulu berpolemik dengan Jerman. Penyebabnya masih sama. Yakni, penolakan Jerman terhadap menteri-menteri Erdogan. (AFP/Reuters/ BBC/CNN/hep/c6/any)