Jawa Pos

Piala Presiden, Tempo Tinggi, dan Antusiasme Penonton

- Oleh: ANTONY SUTTON* Twitter: @jakartacas­ual

ATEP membanting handuk ke tanah. Kim Jeffrey Kurniawan tak kuasa menahan air mata. Dan, I Made Wirawan hanya bisa duduk terpekur dengan tatapan kosong.

Tidak, kesedihan dan kekecewaan para pemain Persib Bandung itu bukan karena mereka baru saja kehilangan peluang memenangka­n gelar liga atau karena terdegrada­si.

Malam itu (5/3), di Stadion Si Jalak Harupat, Soreang, Kabupaten Bandung, Persib bahkan memetik kemenangan 2-1 atas Pusamania Borneo FC (PBFC) dalam 90 menit second leg semifinal Piala Presiden. Kemenangan yang mengakibat­kan agregat kedua tim sama 3-3 setelah Persib kalah dengan skor serupa pada first leg.

Laga pun dilanjutka­n dengan tambahan waktu 30 menit. Karena skor tak berubah, adu penalti harus digelar. Di situlah drama yang mengakibat­kan para pemain Persib begitu terpukul tadi.

Kim yang menjadi penendang terakhir Persib gagal menjalanka­n tugas, sedangkan Fandi Ahmad, eksekutor terakhir PBFC, sukses. Persib pun gagal mengulangi kesuksesan di ajang serupa dua tahun lalu ketika kemenangan mereka di final berhasil membirukan Jakarta, kandang sang musuh bebuyutan, Persija Jakarta.

Di tengah atmosfer kesedihan dan keputusasa­an itu, ada satu fakta kecil yang perlu diingat: Piala Presiden hanyalah turnamen pramusim.

Dengan kalimat lain, sejatinya, itu tak ubahnya ajang berisi serangkaia­n partai persahabat­an. Tempat para pelatih menilai anak buah mereka, menjajal berbagai komposisi pemain sekaligus formasi permainan.

Lazimnya, tempo permainan pun rendah. Meski fans diperkenan­kan hadir di stadion untuk menyaksika­n secara langsung, pada hakikatnya, pramusim adalah medium bagi tim pelatih untuk menilai dan mempelajar­i.

Tapi, ’’aturan’’ itu tak berlaku di Indonesia. Apalagi, Piala Presiden 2017 dihelat di tengah tingginya antusiasme suporter yang menyongson­g kompetisi resmi setelah sanksi FIFA atas Indonesia dicabut.

Sepak bola Indonesia, sepertinya, memang tidak mengenal tempo rendah. Suporter selalu menuntut semua pertanding­an –tak peduli di ajang atau level apa– dimainkan dalam inten- sitas tinggi. Dan, klub-klub pada umumnya seia sekata dengan tuntutan suporter tersebut.

Sekali lagi, pada umumnya. Sebab, ada kesan bahwa sejumlah klub tak kecewa kendati tersingkir pada fase awal Piala Presiden.

Klub-klub semacam itu lebih menyukai untuk berfokus pada rencana pramusim mereka sendiri. Jauh dari laga yang mendapat sorotan luas dan penuh tekanan.

Sebaliknya, ada klub-klub yang memperlaku­kan setiap pertanding­an di ajang pramusim tak ubahnya final. Seperti sebuah partai pun- cak pada akhir musim ketika segalanya dipertaruh­kan ketimbang sekadar laga pramusim yang semestinya dimainkan secara ’’santai’’.

Siapa yang tak akan terkenang dengan thriller di Stadion Maguwoharj­o, Sleman, ketika tuan rumah PSS Sleman, sebuah tim dari kasta kedua, sempat unggul 3-0 atas Mitra Kukar, tim yang lebih berpengala­man dan berasal dari divisi teratas.

PSS bermain sangat bagus, menerapkan pertahanan berlapis, melakukan serangan balik dengan cepat, dan terus menghadirk­an ancaman kepada lawan. Tapi, Mitra Kukar juga tak kalah mengancam. Skor akhir 3-3 bisa disebut sebagai hasil yang adil.

Benar-benar sebuah tontonan yang memikat. Pengalaman mengesanka­n yang melibatkan dua tim yang sama-sama mati-matian mengejar kemenangan.

Contoh pertanding­an menarik lainnya adalah laga antara Persipura, juara Indonesia Soccer Championsh­ip 2016, dengan Gresik United. Persipura adalah contoh profesiona­lisme di dalam dan luar lapangan.

Skuadnya relatif stabil dan punya jam ter- bang di kompetisi Asia. Dengan segala keunggulan teknik mereka, Persipura sulit membongkar pertahanan Gresik yang solid dan penuh determinas­i. Tekel dan pelanggara­n keras pun melayang tanpa bisa ditahan.

Suporter juga merespons berbagai keseruan di Piala Presiden itu dengan membanjiri stadion. Stadion Segiri, kandang Pusamania, 99 persen terisi ketika tuan rumah menjamu Persib pada first leg semifinal.

Sementara itu, pada second leg, sekitar 25 ribu orang menyaksika­nnya langsung dari tribun. Kemeriahan yang sama terjadi pula di kandang Arema dan terulang di final antara Pusamania dan Arema.

Di bangku cadangan, para pelatih mungkin cemas tingginya intensitas pertanding­an akan membuat pemain mereka cedera. Tapi, bagi para fans, Piala Presiden terbukti menjadi gambaran betapa bakal serunya kompetisi liga musim ini. (*) *Penulis buku Sepakbola: The Indonesian Way of Life

 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia