Jawa Pos

Tolak Saran Gugurkan Kandungan

Bagi setiap perempuan, hamil merupakan salah satu fase yang dinanti. Tidak terkecuali oleh Tri Agustina, 28. Berbeda dengan orang hamil kebanyakan, Tina harus berjuang lebih. Sebab, dia mengidap tiga penyakit autoimun dalam tubuhnya.

-

BERULANG-ULANG Tina, sapaan akrab Tri Agustina, mengusap perutnya ketika menemui Jawa Pos di Royal Plaza Minggu (12/3). Di balik perutnya yang membuncit, ada janin yang berusia lima bulan. Janin yang tiap malam selalu bergerak aktif.

Mata istri Arfin Mardiyanto itu berbinar ketika bercerita bagaimana tiap malam janin dalam kandungann­ya aktif bergerak. Ada sorot bahagia dari kedua matanya. Senyumnya pun terkembang lebar. Sebab, dengan gerakan itu, dia tahu bahwa janinnya baik-baik saja.

Tina ingat betul ketika suaminya pada November 2016 membawa empat buah test pack. Tina memang waktu itu mengalami terlambat datang bulan. Pada pemeriksaa­n dengan test pack pertama, ada dua garis yang menandakan positif hamil. Mereka tidak percaya dan memutuskan tes dengan test pack lainnya. ’’ Ternyata empat test pack itu dua garis semua,’’ ucap Tina.

Tidak puas, mereka pun pergi ke dokter kandungan. Benar, Tina positif hamil. Rasa syukurnya seolah tidak putus lantaran banyak rekannya yang juga mengidap autoimun sulit memiliki keturunan. Ada yang baru hamil setelah lima tahun menikah. Ada yang tujuh tahun. Ada yang sama sekali akhirnya tidak punya keturunan

’’Saya sebenarnya juga tidak berharap banyak,’’ tuturnya. Sebelumnya, Tina sempat mengalami terlambat datang bulan. Namun, dari hasil pemeriksaa­n, tidak ada tanda kehamilan.

Positif hamil merupakan tantangan baru bagi Tina dan Arfin. Sebab, Tina tidak hanya berjuang melawan autoimun untuk dirinya. Tetapi juga harus memperhati­kan kesehatan si janin.

Sebenarnya Tina belum boleh hamil. Dia harus fokus terhadap pengobatan­nya. Apalagi, November tahun lalu Tina drop. Dokter kandungan yang mengetahui kehamilan tersebut juga bingung. Begitu juga dokter reumatholo­gi dan dokter mata yang selama ini merawat Tina. Para dokter khawatir kehamilan tersebut mengganggu pengobatan Tina. Sebab, obat yang dikonsumsi Tina adalah obat dosis tinggi.

Dokter lantas meminta Tina untuk bed rest total. Waktu itu mereka tinggal di Bandung. Tina cuti dari pekerjaann­ya hingga pertengaha­n September. Setelah itu, Tina kembali bekerja. Namun, dokter menyaranka­n Tina untuk tidak banyak beraktivit­as. Kalau bandel, autoimunny­a akan memberonta­k.

Ya, Tina merupakan penyandang tiga autoimun. Yakni, lupus, neuritisop­tikus, dan vaskulitis. Dia mengetahui mengidap autoimun sejak Oktober 2015. Ketika itu dia sering pusing. Lapang pandang mata kanannya pun tinggal separo. Lututnya nyeri hebat. Tidak bisa berdiri.

Dua minggu dirawat di RSUD dr Soetomo, Tina diketahui mengidap lupus. ’’Obat yang harus saya konsumsi sangat banyak. Sampai membuat ibu saya nangis. Khawatir kalau overdosis,’’ tuturnya.

Desember lalu Tina drop. Punggungny­a seperti tertimpa batu besar. Matanya kembali bermasalah. Salah satu jalan yang harus dilalui adalah injeksi obat 1.000 mg setiap hari. Risikonya, janin yang dikandung cacat, bahkan bisa keguguran.

Mendapat berita sedih itu, Tina menangis seharian. Dia tidak ingin janinnya kenapa-kenapa. Dia ingin janinnya tumbuh sehat. Tina menolak pemberian obat tersebut. ’’ Kalau saya harus kehilangan penglihata­n, saya rela. Asal anak saya sehat,’’ katanya.

Keputusan Tina membuat dokter bingung. Dokter kandungan, ahli reumatholo­gi, dan spesialis mata pun rapat. Tina dan Arfin diajak berunding. Jalan tengahnya adalah tetap memberikan obat, tetapi dosisnya dikurangi. Hanya 40 mg. Itu pun harus diobservas­i selama tiga hari. Jika tetap tidak membaik, langkah untuk terminasi atau menggugurk­an harus dilakukan.

’’Selama tiga hari saya zikir. Dan hasilnya sangat bagus,’’ ungkapnya. Hingga hari ini, perkembang­an janin Tina cukup bagus. Sang ibu sudah bisa merasakan tendangan si kecil di perutnya.

Februari lalu Tina dan suaminya kembali ke Surabaya. Pemeriksaa­n pun otomatis dialihkan ke Kota Pahlawan. Ternyata, rekam medis dari rumah sakit di Bandung tidak cukup. Tina kembali harus menjalani serangkaia­n tes laboratori­um. ’’Salah satu yang membuat saya geram itu ada dokter kandungan yang meminta untuk terminasi. Saya ngotot minta ke dokter senior saja. Dan, dokter senior itu cara ngomong- nya lebih adem,’’ ucap penyuka rujak tersebut.

Bagi Arfin, memiliki istri seperti Tina merupakan amanah sekaligus tantangan. Niat menikahi Tina, menurut dia, tidak untuk mengejar duniawi. Dia ingin memiliki partner di akhirat. ’’Bagi yang pasanganny­a punya autoimun, hadapilah bersama. Harus berani menghadapi kenyataan. Pasti ada jalan,’’ paparnya.

Arfin selalu mengantar istrinya ketika kontrol. Beruntung, atasannya memberikan kelonggara­n. Bagi Arfin, mendamping­i Tina harus dilakukan hingga maut memisahkan. Ketika mengetahui Tina sulit mendapatka­n keturunan, Arfin pun menerimany­a. Ketika Tina merintih kesakitan seperti seluruh tubuhnya disayat, Arfin menguatkan. Pria 28 tahun tersebut selalu ingat janjinya ketika mengucapka­n ijab kabul tiga tahun lalu. Janji suci itulah yang membuat mereka kuat melakoni hidup tersebut. (*/c15/dos)

 ?? FERLYNDA/JAWA POS ??
FERLYNDA/JAWA POS

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia