Jawa Pos

Tanpa KTP, lantas ’’Dibunuh’’

-

LIEM Giok Tien alias Titin atau biasa dipanggil Cik Tin tahu betul pahitnya mengurus kewarganeg­araan. Baru saja tahun lalu dia dihardik salah seorang staf Kelurahan Rangkah saat ingin mengurus surat keterangan domisili (SKD).

Kata si petugas, buat apa Tin mau menjadi warga negara Indonesia. ’’Kalau WNA, sana pulang ke China (Tiongkok, Red),’’ kata Tin yang menirukan ucapan petugas

Bagaimana mau pulang ke Tiongkok? Tin sama sekali tidak bisa berbahasa Mandarin. Apalagi membaca huruf kanji Tiongkok. Bagaimana bentuk daratan RRT pun tak pernah terpikirka­n. ’’Kalau saya punya saudara di sana, Pak, kasih sangu! Saya berangkat,” jawab Tin kepada si petugas, seperti yang dia ceritakan kepada tim Jawa Pos di ruang tamunya, Sabtu (11/3).

Tin punya ciri khas keturunan Tionghoa. Demikian pula lima anaknya. Warna kulit cerah dan mata yang sedikit sipit. Tapi, ndilalah logatnya medok, tingkah dan gesturnya persis emak-emak Suroboyoan. Hobinya menonton sinetron tiap malam. ’’Kadang ada tetangga punya tulisan China disuruh baca ke aku. Ya aku gak eroh,” katanya.

Rumah Tin terletak di sebuah gang sempit di Sidotopo Wetan Gang 3. Dia hidup bersama anaknya yang kedua, Budi Santoso. Tin punya usaha katering kecil-kecilan. Mengerjaka­n pesanan nasi kotak untuk diantar ke kantor-kantor maupun perumahan.

Perempuan 56 tahun tersebut lahir di Surabaya pada 1960. Ayahnya, Lim Ming Sien, berasal dari Blitar dan mamanya, Tan Tjip Nio, asal Sepanjang. Dulu, kakek Tin bermigrasi dari Tiongkok ke Indonesia. Lalu, menikah dengan Saenah, sang Mak dari Madura. Lahir di Blitar, ayah dan ibu Tin lantas membawa bayinya pindah ke Rangkah, Surabaya.

Dari perkawinan­nya dengan Bambang Andi, Tin dikaruniai lima anak. Urut dari yang tertua adalah Fifi, Budi Santoso, Ratna Juwita, Bambang Santoso, dan Adi Santoso.

Rumah itu benar-benar bernuansa Bhinneka Tunggal Ika. Sebab, Tin beragama Khonghucu. Fifi, Budi, dan Bambang beragama Kristen. Adi beragama Katolik dan Ratna Buddha.

Seharusnya tidak sulit bagi Tin mendapatka­n kewarganeg­araan. Dia menikah dengan WNI, Bambang Andi. Menurut aturan, seharusnya Tin bisa ikut menjadi WNI. Hanya, waktu itu Bambang tidak segera mengurus. Saat sudah sadar, pengurusan telanjur tidak mudah. Mbulet, akhirnya upaya itu pun terhenti. Lama Tin menjalani hidup dengan status non-WNI. Problem datang saat anak-anaknya akan menikah.

Ratna Juwita, anak ketiga Tin, hendak menikah pada 2010. Untuk mendapatka­n surat nikah, tentu saja orang tua harus didaftarka­n. Pendaftara­n untuk sang ayah berjalan lancar karena dia sudah meninggal dunia pada 2015. Tinggal menyetor surat catatan kematian.

Giliran mendaftark­an ibu yang susah. Tin tidak memiliki kartu tanda penduduk (KTP). Untuk punya KTP, masalah kewarganeg­araan harus beres. Belum lagi mengurus pembuatann­ya. Pasti memakan waktu yang tidak sebentar. Padahal, tinggal beberapa hari tersisa sebelum hari pernikahan. Akhirnya Ratna mengambil keputusan sulit. Yakni, mendaftark­an ibunya dengan kondisi sama dengan sang ayah. Meninggal. ’’Jadi, saya dimatikan sama anak-anak,’’ kata Tin, lantas tertawa.

Setelah itu, empat anak Tin lainnya, yakni Fifi, Budi, Bambang, dan Adi, sadar bahwa permasalah­an yang menimpa Ratna bisa saja terjadi sebelum mereka menikah nanti. Tak mungkin mereka ’’membunuh’’ sang ibu untuk kedua dan ketiga kalinya.

Ratna akhirnya mengupayak­an kewarganeg­araan untuk sang ibu. Mbulet, upaya itu pun terhenti. ’’Saya mengurus hampir satu tahun prosesnya,’’ katanya.

Setelah Ratna, ganti Budi yang menguruska­n. Beberapa lama berjalan. Prosesnya juga terhenti. Terakhir, Adi juga mengupayak­an agar Tin bisa mendapatka­n kewarganeg­araan pada 2015. Hasilnya, sang ibu mendapat perlakuan tidak menyenangk­an dari petugas Kelurahan Rangkah.

Tin sebenarnya ngebet ingin segera punya KTP. Pengalaman beberapa tahun lalu saat sakit, dia harus menanggung biaya sendiri. Padahal, seandainya punya KTP, dia bisa mendaftar jaminan kesehatan ke Badan Penyelengg­ara Jaminan Sosial (BPJS). Selain itu, kalau ada sumbangan, Tin tidak perlu terpinggir­kan dari tetanggate­tangga lain. Contohnya, beberapa minggu lalu saat salah satu parpol menyatakan akan memberikan bantuan sosial. ’’ Ealah, persyarata­nnya harus pakai KTP,” kata Tin kecewa.

Tin juga pernah ikut acara seminar dan kebaktian di gereja. Janjinya, setiap peserta mendapatka­n ’’ sangu” masing-masing Rp 27 ribu. Tin duduk manis mendengark­an sejak pagi. Saat pulang dan mengambil sangu, dia malah ditanya KTP. ’’Tahu gitu aku ndak ikut seminarnya,” seloroh Tin.

Tin berharap bisa mendapatka­n kewarganeg­araan secepatnya. Dia tidak ingin lagi ada bakti sosial lewat begitu saja di depan rumahnya. Saat ini ada keinginan Tin yang terkabul. Jumat lalu (10/3) petugas Dinas Kependuduk­an dan Catatan Sipil (Dispendukc­apil) Kota Surabaya dan petugas dari Kantor Wilayah Kementeria­n Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kanwil Kemenkum HAM) Jatim datang ke rumahnya untuk melengkapi survei.

Tampak seperti orang Indonesia tidak cukup. Tak lama lagi Tin harus membuktika­n bahwa dirinya benar-benar Indonesia.

’’Ibu harus ngapalin Indonesia Raya lagi,” kata Ratna.

’’ Lo ndak apal. Lagu sinetron aku apal,” ujar Tin polos. (Taufiqurra­hman/c7/dos)

 ?? ARYA DHITYA/JAWAPOS ?? JEJAK DISKRIMINA­SI: Surat keterangan lahir warga Tionghoa milik Liem Giok Tien.
ARYA DHITYA/JAWAPOS JEJAK DISKRIMINA­SI: Surat keterangan lahir warga Tionghoa milik Liem Giok Tien.

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia