Selamat Jalan, Kiai Pergerakan
Obituari KH Hasyim Muzadi
KETIKA menyaksikan Kiai Hasyim Muzadi terpilih sebagai ketua PB NU pada Muktamar NU di Lirboyo, Kediri, akhir 1999, saya tidak merasa heran. Selain dekat dengan almarhum Gus Dur, ketua PB NU yang digantikannya, Kiai Hasyim merupakan ketua PW NU Jatim yang dipandang cukup berhasil, yang paling menonjol apabila dibandingkan dengan ketua PW NU dari daerah-daerah lain.
Kiai Hasyim memang bukan ”kiai kitab”, yang semata-mata berkutat pada produksi dan reproduksi kitabkitab serta gagasan-gagasan. Beliau adalah ”kiai pergerakan”, yang melihat bahwa gagasan-gagasan tidak cukup hanya dipahami, dijelaskan, dan diamalkan secara individual.
Ya, Kiai Hasyim Muzadi memang ”kiai pergerakan”. Berbeda dengan kebanyakan kawannya sesama santri, murid, dan mahasiswa, yang lebih banyak melakukan aktivitas biasa seperti belajar, Kiai Hasyim lebih dari itu. Sejak masih bersekolah di madrasah ibtidaiyah, watak kepemimpinan Kiai Hasyim sudah kelihatan. Kiai Hasyim tidak merasa hanya belajar, tapi juga menjadi bagian dari gerakan dan penggerak di antara kawan-kawannya. Suasana pergumulan ideologis yang kental pada 1950-an dan 1960-an membuat Kiai Hasyim menjadi bagian dari gerakan yang berbasis ideologis itu.
Karakter sebagai orang pergerakan lebih mengemuka ketika Kiai Hasyim belajar di Fakultas Tarbiyah IAIN Malang. Kiai Hasyim muda menjadi aktivis PMII dan pernah memimpinnya. Begitu kuatnya jiwa aktivis, menurut penuturan almarhum Kiai Masduki, ”Kiai Hasyim sampai hampir lupa menyelesaikan kuliah.”
Karakter ”pergerakan” itu pula yang mengantarkan Kiai Hasyim terus berkhidmat mengurusi organisasi yang terkait dengan NU, tidak seperti banyak kawannya yang masuk di lingkungan birokrasi setelah lulus kuliah. Sepanjang yang saya ketahui, Kiai Hasyim merupakan orang yang pernah menjadi pengurus NU yang paling lengkap. Kiai Hasyim pernah menjadi ketua ranting NU Bululawang, juga ketua anak cabang Ansor Bululawang. Jauh hari sebelum menjadi ketua PW NU Jatim, Kiai Hasyim juga pernah menjadi wakil ketua dan ketua cabang NU Malang.
Tidak hanya dalam organisasi masyarakat, sebagai konsekuesi dari keterlibatan NU dalam politik, Kiai Hasyim juga pernah menjadi politisi. Beliau pernah menjadi ketua cabang PPP Malang serta anggota DPRD Malang dan DPRD Jatim, mewakili PPP.
Saya kali pertama kenal dan bertemu Kiai Hasyim pada akhir 1980an, ketika beliau menjadi ketua Ansor Jatim, kemudian wakil ketua PW NU Jatim. Tutur katanya lembut, tertata, dan penuh logika. Selain itu, yang tidak banyak berubah sampai menjelang wafat adalah selipan humor di sela-sela perbincangan tentang topik-topik serius, tidak berbeda jauh dengan tokoh NU lainnya.
Karakter pribadi yang lembut, cerdas, dan humoris itu pula yang memungkinkan Kiai Hasyim ti- dak hanya mudah diterima oleh orang-orang NU sendiri, tapi juga orang-orang lain di luar NU. Saya teringat ketika menghadiri acara pemilihan ketua PW NU Jatim pada 1992. Meski ketua PW NU ketika itu masih memungkinkan kembali terpilih dan ada tokoh-tokoh lain, Kiai Hasyim ternyata justru memperoleh dukungan yang sangat besar.
Dalam berbagai kesempatan ngobrol dengan beliau, baik ketika masih menjabat ketua PB NU maupun setelahnya, karakter ”kiai pergerakan” tetap melekat pada dirinya. Juga yang paling menyenangkan, berbicara dengan Kiai Hasyim tidak lepas dari tawa karena perbincangannya disertai humor.
Meskipun fondasi yang membentuk ”kiai pergerakan” dari Kiai Hasyim adalah saat di Indonesia terjadi pergumulan ideologis, Kiai Hasyim bukanlah pribadi yang terframe oleh ideologi tertentu yang bercorak zero-sum. Basis ideologi yang membentuk Kiai Hasyim adalah ideologi keislaman dan keindonesiaan sebagaimana yang dimiliki jamaah NU pada umumnya. Implikasinya, Kiai Hasyim bisa membangun komunikasi yang sangat baik di antara kekuatan-kekuatan Islam (mulai yang moderat sampai yang radikal) dan dengan kekuatan-kekuatan di luar Islam.
Semangat bahwa ajaran Islam membawa rahmat untuk alam semesta juga mendorong bahwa gerakan yang dibangun bukan hanya untuk Indonesia, melainkan juga untuk alam semesta. Kiai Hasyim, misalnya, merupakan pelopor berdirinya International Conference on Islamic Scholars (ICIS) yang beberapa kali telah mengadakan konferensi antara pemuka-pemuka Islam dunia dari berbagai aliran. Kiai Hasyim juga aktif terlibat dialog dengan berbagai tokoh agama dunia dalam kurun waktu yang relatif lama.
Sebagai ”kiai pergerakan”, Kiai Hasyim tentu saja memikirkan aspek regenerasi di lingkungan NU dan umat Islam pada umumnya. Berbeda dengan generasi sebelumsebelumnya, yang sebagian besar rekrutan kader NU itu berasal dari pesantren, Kiai Hasyim termasuk yang berpandangan bahwa kader juga bisa berbasis perguruan tinggi. Karena itulah, pada periode kepemimpinan Kiai Hasyim telah dirintis organisasi-organisasi NU di luar negeri yang berbasis bukan hanya jamaah NU yang telah ada, tapi juga para mahasiswa Indonesia yang telah mengenyam pendidikan di berbagai universitas di luar negeri.
Pentingnya mahasiswa menjadi bagian penting bagi kaderisasi ke depan juga terlihat dari pesantrennya. Berbedadenganpesantren-pesantren pada umumnya, Pesantren Al Hikam, baik yang berada di Malang maupun Depok, memiliki santri yang terdiri atas para mahasiawa. Melalui pesantren demikian, Kiai Hasyim berharap para mahasiswa yang pada umumnya belajar ilmu-ilmu di luar keislaman tetap memiliki akar keislaman yang kuat, khususya keislaman yang berpaham ahlussunnah wal jama’ah an nahdliyah.
Meskipun demikian, Kiai Hasyim juga memiliki program dan citacita untuk mengintegrasikan pesantren yang diasuh dengan alumni pesantren lain. Di Depok, Kiai Hasyim mengundang sejumlah penghafal Alquran untuk belajar lanjut di Al Hikam. Tujuannya, mereka tidak hanya bisa menghafal Alquran, tapi juga bisa memahami Alquran dengan lebih kontekstual.
Kiai Hasyim kini telah berpulang. Tetapi, gerakan yang ditabur dan disemai Kiai Hasyim akan terus bergerak, tidak mati bersama beliau. Santri-santri Kiai Hasyim ada di manamana, baik santri langsung yang dibina di dalam pesantrennya maupun santri yang dibina di dalam jam’iyah. Santrisantri dan banyak orang Indonesia yang sepaham dengan Kiai Hasyim akan terus bergerak menuju kebaikan bersama. Selamat jalan, Kiai Pergerakan, semoga Allah SWT memberi tempat mulia. (*)