Salaman Gagal dan Guyonan Garing
Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump akhirnya bertemu Kanselir Jerman Angela Merkel. Pada Jumat waktu setempat (17/3), pertemuan dua pemimpin negara kuat itu menyedot perhatian media. Namun, karena kuatnya perbedaan kebijakan masing-masing, yang ter
”JAUH lebih baik saling berbicara satu sama lain, bukannya saling membicarakan satu sama lain. Percakapan kami hari ini ( Jumat, Red) menjadi buktinya,” ungkap Merkel dalam jumpa pers bersama Trump setelah pertemuan tertutup di Oval Office. Tidak banyak yang dipaparkan dua pemimpin itu di hadapan media dalam pertemuan perdana mereka tersebut.
Mereka hanya membahas perdagangan-perekonomian serta pertahanan-keamanan. Sebab, mereka memilih berfokus pada persamaan dua negara. Ternyata, persamaan Jerman dan AS tidak banyak. ”Tentang penyadapan oleh pemerintahan sebelumnya, setidaknya, saya rasa kami punya persamaan,” kata taipan 70 tahun itu.
Namun, guyonan Trump tersebut tidak membuat Merkel tertawa, bahkan tersenyum pun tidak. Kanselir perempuan pertama Eropa itu tetap menunjukkan raut wajah datar. Selama 30 menit berdampingan di East Room, Merkel terlihat sangat tidak nyaman. Berbeda dengan Trump yang sangat rileks meski terus menghindari tatapan mata dengan salah seorang perempuan paling berpengaruh di dunia tersebut.
Sebelum guyonan garing tentang penyadapan itu, Trump membuat Merkel merengut. Sebab, dia mengabaikan uluran tangan sang kanselir. Setelah bertemu dan bersalaman di pintu masuk Gedung Putih, dua pemimpin dunia tersebut masuk ke dalam. Mereka sejenak melayani media sebelum masuk Oval Office. Saat itu, Merkel kembali mengajak Trump bersalaman untuk kepentingan foto. Namun, taipan 70 tahun tersebut terlihat cuek.
Insiden salaman gagal itu terekam media. Sejumlah pengamat politik lantas berkomentar. Menurut mereka, apa yang Trump lakukan itu tidak pernah terjadi sebelumnya. ”Pertemuan dua kepala negara adalah momen resmi yang segala sesuatunya sudah teratur dan tertulis rapi. Termasuk tentang jabat tangan,” ucap sumber Agence France-Presse.
Seperti Washington yang berselimut salju tebal, dialog di Oval Office juga terasa dingin dan beku. Jumat itu, Merkel menyangsikan sikap Trump terhadap Uni Eropa (UE). Meski pemilik Trump Tower tersebut bersumpah bakal menghargai dan menghormati organisasi terbesar Eropa itu, kanselir 62 tahun tersebut tidak yakin. Sebab, pemerintahan Trump lebih memprioritaskan negosiasi dan kerja sama antarnegara.
Bagi Merkel, kebijakan Washington itu menunjukkan bahwa Trump tidak menghargai UE. ”Saya adalah penganut perdagangan bebas. Tapi, saya hanya melakukan kerja sama dagang yang fair,” tandas presiden ke-45 Negeri Paman Sam tersebut. Karena itu, sebagai negara, AS hanya mau menjalin kerja sama dagang dengan satu negara lain. Tidak dengan 28 negara sekaligus lewat UE.
Jawaban Trump itu jelas tidak bisa diterima Merkel. Sebagai negara terkuat UE, setelah Inggris memilih hengkang, Jerman tidak mau menjalin kerja sama dengan AS sebagai negara. Sebab, Negeri Bavaria tersebut mengusung mandat mulia dari UE. Terutama untuk menjalin kerja sama dagang dan perekonomian dengan AS. ”Saya berharap kami bisa kembali bertemu dan duduk bersama untuk membahas kesepakatan AS-UE,” tegasnya.
Selain tentang UE, Trump dan Merkel menyinggung NATO da- lam jumpa pers bersama itu. Sama seperti pandangan mereka terhadap UE, dua negara tersebut juga bertolak belakang soal NATO. Sebagaimana yang selalu dite- gaskan sejak resmi menjabat presiden, Trump mendesak Jerman menaikkan anggaran militernya sesuai imbauan NATO. Yakni, 2 persen dari GDP.
”Saya tegaskan kepada Kanselir Merkel tentang dukungan kuat AS terhadap NATO. Saya juga meminta sekutu kami di NATO mewujudkan komitmen mereka tentang dana pertahanan keamanan. Ada banyak negara anggota yang tidak berkontribusi sesuai aturan dan itu tidak adil bagi AS. Mereka harus membayar utang mereka selama ini,” tutur Trump.
Jerman kali terakhir mengalokasikan anggaran militer 1,2 persen GDP. Termasuk negara yang disebut Trump berutang kepada AS. Karena itu, Jumat lalu Merkel menyatakan kesanggupannya untuk memenuhi komitmen bersama tersebut. ”Kami pasti akan menggenapinya. Tapi, semua itu butuh proses,” ujar penyandang gelar doktor sains dari Leipzig University tersebut. (AFP/Reuters/BBC/hep/c16/any)