Dorong KPK Ungkap 37 Anggota DPR
Yang Diduga Terima Dana Korupsi E-KTP
JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyimpan rapat 37 nama anggota DPR periode 2009–2014 yang diduga menerima aliran dana korupsi kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP). Menurut KPK, nama-nama tersebut tidak berperan aktif dalam skandal yang merugikan negara Rp 2,3 triliun itu.
Wakil Ketua KPK Laode M. Syarif menjelaskan, 37 anggota DPR tersebut bukan orang yang mengetahui banyak soal grand design korupsi e-KTP. Terkait aliran dana yang diterima para anggota DPR, Laode menyatakan, bisa jadi hal tersebut merupakan honorarium selama setahun membahas e-KTP. ”Sekitar USD 13–18 ribu atau paling maksimal Rp 200 juta,” ujarnya.
Menurut Laode, nama-nama itu tidak terlalu intensif diperiksa. Dengan demikian, sangat kecil kemungkinan bila 37 nama tersebut masuk kelompok pihak yang ikut merencanakan terjadinya korupsi. ”Kalau dipanggil-panggil, orangorang yang di kelompok itu memang ada dan pasti akan diketahui infor masinya,” ujarnya.
Dalam surat dakwaan jaksa KPK, 37 anggota DPR yang tidak disebutkan namanya itu diduga menikmati uang proyek e-KTP. Masing-masing menerima dengan nilai berbeda. Jumlahnya USD 5 ribu (sekitar Rp 65 juta) hingga USD 10 ribu (sekitar Rp 130 juta). Uang tersebut merupakan pemberian Andi Agustinus alias Andi Narogong melalui Arief Wibowo (PDIP) sebelum masa reses Oktober 2010.
Meski demikian, KPK tidak akan tinggal diam bila kluster legislatif terbukti turut dalam perencanaan megakorupsi e-KTP. Termasuk yang melibatkan Ketua DPR Setya Novanto. Laode mengungkapkan, komisi antirasuah bakal melihat sampai seberapa jauh kelengkapan alat bukti untuk menjerat ketua umum Partai Golkar itu. ”Kami lihat mana yang paling banyak buktinya, paling banyak keterangannya, banyak mengetahuinya,” ujarnya.
Sikap KPK yang cenderung ingin menyembunyikan 37 anggota DPR itu dipertanyakan. Sebab, di era KPK sebelumnya, banyak anggota DPR yang justru terungkap dalam surat dakwaan. Misalnya, dalam kasus suap sistem komunikasi radio terpadu (SKRT) pada 2014 dan perkara dana Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI) pada 2008.
Peneliti Indonesian Legal Roundtable (ILR) Erwin Natosmal Oemar berharap pengusutan megakorupsi e-KTP tidak terpengaruh serangan-serangan yang melemahkan KPK. Fakta-fakta persidangan itulah yang nanti bisa menjadi landasan mengusut pihak-pihak terkait, khususnya dari kelompok DPR.
KPK harus menyiapkan bukti materiil dan mengamankan saksi kunci dalam pengusutan itu. Dengan demikian, penyidik dan jaksa bisa lancar menjalankan skenario menjerat nama-nama besar yang diduga terlibat. Instrumen hukum yang bisa digunakan adalah pasal 5 ayat 1 UU Tipikor untuk menjerat penyuap dari kelompok korporasi dan pasal 12 untuk penerima suap serta 12 B bagi penerima gratifikasi.
” Dalam dakwaan alternatif bisa memasukkan pasal itu,” kata Erwin kepada Jawa Pos. Dengan demikian, 37 nama yang diduga menerima aliran dana itu sejatinya berpeluang terjerat pidana. Meski uang yang diterima sedikit bila dibandingkan dengan anggota DPR lain yang terlibat aktif dalam kasus e-KTP.
Mantan Wakil Ketua KPK Adnan Pandu Praja menuturkan, 37 nama itu akan terungkap dalam persidangan. Publiklah yang nanti mengawal KPK agar menindak tegas anggota legislatif yang diduga terlibat tanpa pandang bulu. Penyembunyian nama sejatinya bukan hal baru. ”Pernah juga (menyembunyikan nama untuk strategi, Red), tapi tidak bisa saya ungkapkan,” kata Adnan. (tyo/c10/ca)