Mengejawantah dalam Tokoh Bertopi
Jejak budaya panji menjadi lestari berkat wujudnya pada dinding-dinding candi. Pada pahatan batu yang beku itu, kisah tersebut berjalan menembus waktu. Batu-batu yang dingin dan diam itu pun sejatinya sedang mengabarkan budaya kebanggaan yang lahir di Jat
RELIEF cerita panji terdapat pada sejumlah candi yang didirikan pada masa Majapahit. Salah satu ciri utama tokoh panji dalam penggambaran relief dan arca adalah figur pria yang digambarkan memakai topi tekes. Topi mirip belangkon Jawa, tapi tanpa tonjolan ( mondholan) di belakang kepala.
Namun, Lydia Kieven, arkeolog asal Jerman yang mendeskripsikan temuan 20 situs purbakala di Jawa Timur, menyatakan bahwa tidak semua sosok lelaki yang mengenakan topi tekes adalah panji. Tokoh lain misalnya, orang biasa yang sederhana, petani, juga menggunakan tutup kepala serupa. ”Seperti yang ada di Candi Jago (Kabupaten Malang, Red). Itu hanya orang biasa. Bukan Panji,” tandasnya melalui telepon kepada Jawa Pos.
Namun, dia mengakui bahwa di antara narasi-narasi yang penggambarannya menampakkan figur bertopi, cerita panji paling sering divisualisasikan. Kisah itu dilekatkan dengan simbol-simbol yang melambangkan erotisme dan penyatuan seksual, kesuburan, sampai penyatuan politik.
Agus Aris Munandar, arkeolog dan penulis buku Catuspatha; Arkeologi
Majapahit, mengungkapkan bahwa relief tertua cerita panji terdapat di Candi Mirigambar, Tulungagung. Namun, kondisi candi itu saat ini sangat memprihatinkan. Dindingdinding candi yang diapit dua pohon beringin tua tersebut dimakan lumut. Tubuhnya sudah goyah, bahkan hampir roboh. Di antara sebelas panel relief, sekarang tinggal lima panel. ”Ada yang dibawa ke museum, ada yang dicuri orang,” terang Suyoto, penjaga candi, Selasa (14/3).
Menurut Lydia, cerita panji yang digambarkan di Mirigambar mengilustrasikan cerita Waseng Sari. Menampilkan perpisahan antara panji dan kekasihnya. Pencarian mereka satu sama lain, perjuangan mengalahkan lawan, hingga penyatuan dua tokoh tersebut. ”Unsur pertempuran berperan dominan di sini,” tuturnya.
Namun, warga sekitar candi justru tidak mengenal cerita pada relief itu. Suyoto menjelaskan, selama ini cerita yang diwariskan secara turuntemurun justru kisah di luar cerita panji. Dia masih ingat betul saat sang kakek mendongenginya cerita tentang pengembaraan Anglingdarma. ” Tahunya, candi itu jadi salah satu tempat singgah saat Anglingdarma mengembara,” kenangnya.
Sementara itu, di kompleks Candi Penataran, Blitar, sosok Panji juga dipahat di beberapa bagian candi. Bahkan, kata Lydia, panji di kompleks Candi Penataran menjadi aktor utama sekaligus perantara. Yaitu, sebagai penunjuk jalan Tantra Kundalini yang bertujuan mencapai kemanunggalan akhir dengan Ilahi. ”Jumlah penggambaran panji dan figur bertopi makin berkurang seiring dengan makin dekatnya tujuan dalam perjalanan ke bagian suci kompleks candi,” terangnya.
Sementara itu, di Kediri, ada beberapa panel relief yang bercerita tentang panji. Satu panel relief berada di desa Gambyok, Kediri. Panel relief di situs tersebut pernah diidentifikasi Stuterheim (1935). Relief itu menggambarkan adegan dari kisah Panji Kuda Semirang. Adegan yang digambarkan pada panel relief Gambyok terjadi saat malam. ”Panji Inu Kertapati berencana membawa Martalangu ke ibu kota kerajaan,” terang sejarawan yang menggeluti cerita panji, Aang Pambudi Nugroho.
Ada satu panel relief yang mirip dengan yang ada di Gambyok. Panel itu tersimpan di Museum Airlangga, Kediri. Namun, meski mirip, panel di museum tersebut bukan pasangan panel Gambyok. ”Ukurannya tidak sama. Selain itu, kami belum tahu relief tersebut berasal dari mana,” tutur Aang. (Fajrin Marhaendra Bakti/c16/dos)