Estetika Global dan Kosmopolitanisme P
ENYELENGGARAAN peristiwa-peristiwa seni sepanjang lima tahun belakangan, dengan puncaknya dOCUMENTA 13 di Kassel, Jerman, pertengahan 2012, yang akan disusul penyelenggaraan tahun ini (2017), menunjukkan di seluruh dunia seniman terus bergiat dan mendorong proses penciptaannya. Hal itu dalam rangka membawa satu cara pandang yang unik dan mengganggu tentang dunia, mengarahkan massa menjauh dari belenggu kemandekan dan kemapanan.
Dalam kurun waktu sepuluh tahun, berbagai peristiwa seni nonkomersial seperti biennale dan triennale menjamur, dari Singapura hingga Ekaterinburg, menambah panjang deretan pameran bergengsi, bersanding dengan perhelatan-perhelatan yang sudah punya sejarah lebih panjang seperti Venice Biennale atau Sao Paulo Biennale. Semua berupaya untuk menghubungkan gagasan tentang lanskap kota dan identitas budaya, serta menunjukkan keterhubungan satu tempat dengan dunia yang lebih besar: universe.
Karena kecenderungannya untuk menggarisbawahi globalisasi dan internasionalisasi, kosmopolitanisme dalam seni acapkali dituding mempromosikan homogenisasi estetika. Hampir seluruh peristiwa seni di dunia yang berderet itu, seringkali kita menemukan nama yang itu-itu saja, entah seniman entah kuratornya, menampilkan karya-karya yang terus berpindah dari ruang satu ke ruang lain.
Para penonton dari seluruh belahan dunia ’’dipaksa’’ mengonsumsi produk-produk budaya yang sama, sebagaimana pada awalnya dulu kita dikondisikan untuk mengonsumsi kopi dari gerai yang sama di seluruh dunia. Sebutlah nama-nama para superstar seperti Anish Kapoor, Olafur Olliason, Ai Weiwei, hingga seniman yang tadinya dianggap lebih subversif seperti Superflex atau Raqs Media Collective. Kini mereka menjadi semacam ikon baru dari kebudayaan global, bersanding dengan arsitek-arsitek seperti Norman Foster atau Zaha Hadid, yang hadir seolah-olah untuk mendefinisikan dan menahbiskan keterhubungan satu masyarakat dengan dunia.
Para kurator yang menjadi agen-agen berperan penting dalam proses penyebaran kebudayaan cara baru ini, dengan minimnya nama-nama baru yang mewakili sensibilitas seni yang lain pula. Karena ditampilkan dan dipromosikan secara simultan di berbagai konteks berbeda, maka secara pelahan, kita merasakan ada satu definisi yang nyaris tetap dan mapan atas apa yang kita sebut sebagai ’’seni kontemporer’’. Definisi ini seolah-olah berlaku sebagai cap yang menarik garis pemisah atas apa yang disebut kontemporer dan apa yang dianggap tidak kontemporer.
Chantal Mouffe, seorang teoretisi kebudayaan kiri yang mengulik teori-teori kiri seperti Gramsci, melihat bahwa kosmopolitanisme yang mengarah pada homogenisasi estetika itu menunjukkan kegagalan seni untuk menolak hegemoni. Bagi Mouffe, gagasan kosmopolitanisme sangat erat dengan konsep penyatuan manusia ( human unity) dan tentu di dalamnya terkandung nilai universalisme, mempromosikan satu nilai yang bisa dibagi kepada seluruh masyarakat dunia.
Mouffe juga melihat bahwa meskipun interpretasi atas kosmpolitanisme baru ini me- nunjukkan adanya upaya untuk memberi nilai lebih dan mengakar pada konteks lokal, akan tetapi sulit untuk menolak fakta bahwa sebagian pelaku kebudayaan tidak bisa melepaskan diri dari tarikan untuk menjadi bagian dari hegemoni baru kebudayaan dunia.
Pada titik inilah, Hans Belting masuk dengan tawarannya atas gagasan contemporaneity. Bagi Belting, kontemporer adalah tawaran baru untuk melampaui kosmopolitanisme, menunjukkan nilai-nilai alternatif dan subversif yang tidak semata-mata memenuhi satu standar global.
Tentu saja perdebatan atas keseragaman estetika global dan kosmopolitanisme ini bukan sesuatu yang baru. Apalagi jika dikaitkan dengan hegemoni sejarah seni Barat. Perlawanan dan munculnya gerakan-gerakan subversif untuk menolak gagasan atas keseragaman juga berlangsung makin marak.
Pertemuan para penyelenggara biennale dan triennale (World Biennale Forum) Oktober 2012 di Gwangju, Korea Selatan, menunjukkan bahwa keragaman masih punya harapan, terutama pada kota-kota yang tidak punya ambisi menjadi ’’pusat’’. Kota-kota di Asia seperti Jogjakarta dengan Jogja Biennale, Mongolia dengan Land Art Biennale, Nagoya dengan Aichi Triennale, dan sebagainya, menunjukkan bahwa menjadi bagian dari komunitas seni internasional, dengan penyelenggaraan biennale dan peristiwa seni semacamnya tidak berarti kita tidak punya tawaran terhadap definisi atas internasionalisme itu sendiri. Atau bentuk dan pendekatan macam apa yang khas dan relevan sesuai dengan konteks kita.
Menyelenggarakan biennale dan triennale tidak sekadar melakukan ekspor-impor karya-karya seni, menampilkan siapa yang dianggap paling mutakhir sebagai ajang pembuktian sebuah kota. Tetapi, yang paling penting adalah menunjukkan keinginan untuk melihat pertukaran kebudayaan semacam itu sebagai cara untuk membaca kembali sejarah dan memberikan ruang bagi narasi-narasi yang selama ini terpendam untuk muncul dan punya suara.
Di tengah kritisisme atas homogenisasi terhadap penyelenggaraan peristiwa seni dunia yang megah dan glamur, ketika merefleksikan kembali pengalaman saya dalam menghadiri peristiwa-peristiwa seni tersebut, saya merasakan gugatan atas hegemonisasi itu sendiri mempunyai dua sisi mata uang.
Di satu sisi, yang luas dan global itu mem- bantu saya melihat bagaimana secara umum saya bertaut dengan dunia, dan bagaimana warga menemukan narasi-narasi tersembunyi tentang dunia yang kadang tak bisa ditemukan di media massa atau dalam ruangruang publik lain yang terlalu dipenuhi kepentingan politis penguasa. Di sisi yang lain, saya terganggu dengan makin banyaknya seniman (dan penyelenggara pameran) yang memproduksi karya seperti pabrik, mengirim ke seluruh penjuru dunia tanpa menimbang konteks lokal yang relevan.
Masuknya pameran-pameran seni internasional, juga ambisi menjadikan peristiwa seni seperti biennale dan triennale menjadi peristiwa seni internasional, tidak dapat sepenuhnya dilihat sebagai upaya untuk ’’mempromosikan’’ sensibilitas seni internasional masuk ke praktik kesenian lokal. Apalagi untuk meniadakan bentuk-bentuk seni kontemporer yang sudah menjadi kekayaan kita.
Menjadi bagian dari peta internasional tidak dilihat semata-mata proses ’’standardisasi’’, menyamakan sistem dan sejarah seni kita dengan sejarah seni Barat. Yang lebih penting dari itu adalah membuka diri pada berbagai kecenderungan estetika yang ada, yang pada akhirnya akan memperkaya keberagaman. Bersikap kritis terhadap sejarah seni yang lain itu memerlukan sebuah proses untuk mengenal sehingga kita bisa mengambil nilai-nilai yang relevan dengan konteks dan situasi kita sendiri.
Kembali pada pernyataan awal mengenai bagaimana seni membawa harapan, memang selalu ada pertanyaan yang tak bisa kita hindari mengenai bagaimana peran pelaku seni dalam tarik-menarik kuasa antara yang hegemoni untuk mengukuhkan satu nilai yang sama. Seni membawa harapan justru karena seharusnya dia bersikap kritis dari hegemoni dan konstruksi dunia yang serbasama, dan menawarkan pluralitas nilai dan cara pandang.
Para pelaku seni harus memperjuangkan pluralitas itu untuk bisa menempatkan diri dalam pertarungan kekuasaan dalam dunia yang lebih luas, memberi jawaban mengapa seni punya makna. Dalam hal ini, Mouffee menerjemahkan soal pertarungan kuasa itu sebagai: selalu ada dimensi politis dalam seni, dan selalu dibutuhkan hal-hal yang estetis dalam politik. (*) Alia Swastika, pengamat seni rupa, kurator, tinggal di Jogjakarta