Melawan ’’Penistaan’’ Film India
Rasa minoritas, disertai perasaan ’’terlalu cinta”, menggoda Mahfud Ikhwan menulis pengalaman dirinya bersama film India. Di dalamnya juga ada kritik terhadap sejumlah karya yang diduga mengintip sinema Barat.
RISIKO bagi kaum minoritas adalah diskriminasi. Ini tak cuma menyangkut persoalan agama, ras, dan politik. Tapi, juga dalam persoalan sepele namun menggemaskan: film.
Itulah yang dirasakan Mahfud Ikhwan, seorang penggemar film India yang hidup di tengah-tengah ingarbingar kegemaran manusia pada film-film Hollywood, Eropa, dan Korea. Rasa minoritas, disertai perasaan ’’terlalu cinta”, menggoda Mahfud Ikhwan menulis pengalaman dirinya bersama film India.
Mulai ritual menonton, mengamati, menyanyi, atau bahkan menangis. Tulisan-tulisan tersebut ditayangkan di blog Dushmanduniyaka.wordpress. com dan kini dibukukandenganjudul Aku & Film India Melawan Dunia (2017).
Mahfud menyadari bahwa kesendiriannya hanya pada pengaguman terhadap film India secara sadis. Selain dia, tentu terdapat segelintir orang yang diam-diam mengagumi film-film India, tapi tidak mengumbarnya.
Mereka tentu lebih khawatir terhadap kesan kampungan, konyol, atau bahkan tidak kekinian sehingga hasilnya film India mendapati perlakuan yang hampir bertaraf ’’penistaan”.
Kita simak kutipan berikut: ’’Film India tiba-tiba jadi semacam gambar durjana. Seperti film porno, film India disukai sekaligus tidak diakui, dikonsumsi tapi dianggap terlalu kotor untuk diperbincangkan, ditonton sendirian kemudian dihinakan di depan banyak orang.’’ (hal 4)
Perlakuan tersebut sangat berbeda dengan yang terjadi pada puluhan tahun sebelum Mahfud terlahir sebagai pengagum film India. Tepatnya tahun 50–60-an.
Pada masa-masa itu, Indonesia merupakan pasar terbuka bagi filmfilm India. Terlihat dari jumlah bioskop di Indonesia yang hampir kesemuanya menayangkan film-film India. Bahkan, dalam data total film asing dan nasional yang telah lulus sensor Indonesia pada 1955–1963 yang dikumpulkan Tanete Pong Masak, film-film India menempati posisi kedua setelah sinema produksi Amerika Serikat. Dengan jumlah 534 judul film, India mengungguli Jepang, Malaysia, Tiongkok, bahkan Indonesia sendiri (Tanete, 2016: 235).
Kegemaran masyarakat Indonesia terhadap film India di masa itu memiliki jejak historis yang kuat. Pada 1960, majalah Purnama melacak alasan masyarakat Makassar sebagai salah satu daerah penggemar film India.
Dari pelacakan tersebut, dapat diketahui bahwa ada pertalian mitologis dan budaya antara masyarakat Sulawesi Selatan dan masyarakat India. Selain itu, karena masyarakat Makassar membutuhkan hiburan sebagai bentuk pelarian dari ketidakamanan dan kesulitan ekonomi.
Melubernya film-film India inilah yang kemudian berdampak pada selera mode, film, dan lagu bagi masyarakat Indonesia. Keadaan ini berubah saat bioskop mulai membatasi jumlah film-film impor.
Film India mulai sekarat di bioskop, kemudian berpindah pada tayangan di televisi. Sebagai bocah desa, Mahfud cukup mendapat kesulitan untuk bisa menonton film India dengan jadwal yang tidak terduga.
Mahfud mesti bertualang untuk dapat memastikan film tersebut akan bisa tertonton, bagaimanapun caranya. Kita simak: ’’Menyaksikan ekstra film yang akan ditayangkan, apalagi jika kami yakin itu film yang bagus (paling tidak menurut bualan Baim), selalu akan menjadi kutukan. Kami harus melacak dulu televisi milik siapa yang menyala dan memastikan akinya cukup untuk tayang dalam jangka waktu yang panjang. Dan, kerena itu, menonton film India biasanya selalu diawali oleh penjelajahan keliling desa.’’ (hal 75)
Romantisme tak selalu berlanjut pada fanatisme. Mahfud juga melakukan beberapa kritik terhadap film India. Khususnya pada beberapa film terduga mengintip film Barat yang dibintangi Aamir Khan.
Di antaranya adalah Akele Hum Akele Tum (1995) yang menyerupai Kramer vs Kramer (1979), Ghulam (1998) mirip On the Waterfont (1954), dan Maan (1999) serupa An Affair to Remember (1957).
Pengintipan tersebut tak selesai di dari film Eropa ke film India saja. Di Indonesia, film India pun juga diintip dengan berbagai bentuk. Tidak hanya dalam persoalan model film, seperti adegan yang diselingi dengan menari dan berkejar-kejaran di taman. Tapi, juga dari ide film. (*)