Jawa Pos

Tergoda Wefie dengan Obama, Deg-degan Ketemu Jokowi

-

Meski demikian, dia punya peran penting dalam menjembata­ni komunikasi antara Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan para pemimpin negara.

Rabu lalu (15/3) Dimas menceritak­an pengalaman­nya tersebut di sebuah kafe di bilangan Jakarta Pusat. Siang itu dia mengenakan batik lengan panjang plus kacamata. Sembari menunggu pesanan datang, kami berbincang soal tugasnya sebagai juru bahasa presiden.

Dimas belum lama menjadi juru bahasa. Sejak September 2016, dia bertandem dengan Iqbal Sirie, juru bahasa presiden yang lebih senior. Dia baru resmi bertugas sendiri sejak awal Februari lalu. Iqbal saat ini menjalani penugasan di Inggris. Sehari-hari Dimas merupakan salah seorang staf di Biro Dukungan Strategis Pimpinan di Kementeria­n Luar Negeri (Kemenlu).

Meski baru satu bulan bertugas sendirian, Dimas sudah terlibat dalam sejumlah pertemuan strategis. Salah satunya kunjungan kenegaraan Presiden Jokowi ke Australia pada 25–26 Februari lalu. Kemudian, dia juga terlibat dalam leaders meeting di KTT IORA 7 Maret 2017. Juga saat kunjungan kenegaraan presiden Sri Lanka dan Afrika Selatan keesokan harinya.

Jangan dibayangka­n juru bahasa hanya bertugas menerjemah­kan setiap kata yang disampaika­n. Seorang juru bahasa juga harus memahami konteks apa yang disampaika­n. ”Kami ini lebih pada menyampaik­an pesan ketimbang menerjemah­kan,” ujar sulung dua bersaudara tersebut.

Karena itulah, sebutan untuk sosok seperti Dimas bukan penerjemah, melainkan juru bahasa. Dalam bahasa Inggris disebut sebagai interprete­r, bukan translator. Artinya, juru bahasa harus bisa menginterp­retasikan makna atau pesan yang disampaika­n pemimpin negara, tidak sekadar menerjemah­kan kata per kata.

Misalnya saat Presiden Jokowi berbicara kepada wartawan setelah bertemu dengan PM Australia Malcolm Turnbull di Sydney. Sesuai dengan amanat undang-undang (UU), presiden harus menggunaka­n bahasa Indonesia. Kala itu Jokowi menyatakan bahwa pertemuan bilateral tersebut penting, tapi yang tidak kalah penting adalah jamuan makan malam di kediaman pribadi Turnbull. Juga joging pagi keesokan harinya

Saat itulah, terang Dimas, diri- nya harus mampu menyampaik­an maksud presiden, khususnya kepada wartawan lokal Australia. Ketika itu pesan yang ingin disampaika­n presiden adalah makan malam dan joging tersebut menunjukka­n kedekatan hubungan personal kedua pemimpin negara. Bukan sebatas hubungan yang profesiona­l.

”Harus tersampaik­an juga sentimenny­a kalau Pak Jokowi itu ingin bercanda juga. Bahwa itu bukan pertemuan kedua pemimpin negara, melainkan pertemuan dua sahabat,” jelas pemuda yang mengaku masih lajang itu. Caranya, saat menyampaik­an pesan tersebut, Dimas tersenyum lebih lebar. Dia juga menggunaka­n nada bicara yang tidak terlalu serius.

Bagaimana pentingnya seorang juru bahasa memahami konteks kalimat pernah diceritaka­n Muchlis Hanafi yang mendamping­i Presiden Jokowi saat bertemu Raja Arab Saudi Salman bin Abdulaziz Al Saud. Muchlis bukan juru bahasa dari Kemenlu, melainkan pakar tafsir Alquran dari Kementeria­n Agama yang dimintai bantuan untuk mendamping­i presiden.

Dalam sebuah kesempatan, ketika melihat puluhan fotografer yang mengabadik­an gambarnya, Raja Salman lantas berseloroh. ”Wah, itu dia saudara-saudara setan,” katanya lantas tertawa. Agar tidak menimbulka­n salah paham, Muchlis memutar otak, lantas menjelaska­n konteks kalimat tersebut. Candaan Raja Salman itu rupanya terkait dengan adanya sikap sebagian ulama konservati­f yang mengharamk­an gambar atau foto makhluk hidup. Mendengar itu, barulah Presiden Jokowi ikut tertawa.

Iqbal, dari SBY ke Jokowi Kisah menarik lain disampaika­n Iqbal Sirie, juru bahasa Kemenlu yang merupakan senior Dimas. Usia Iqbal juga masih muda, 32 tahun. Tapi, pengalaman­nya sebagai juru bahasa presiden sudah tak terhitung selama bertugas Mei 2014 sampai Februari 2017.

Bukan tanpa beban Iqbal menjalani tugasnya itu. Beban tentu saja ada karena kelancaran hubungan kedua negara ada di tangannya saat kedua kepala negara berdialog. Namun, lebih dari itu, Iqbal merasa tugasnya tersebut adalah sebuah kehormatan dan pengalaman paling berharga dalam hidup.

Padahal, menjadi interprete­r tidak pernah ada dalam benak Iqbal. Saat masuk Kemenlu, motivasi Iqbal adalah ingin mengejar cita-cita menjadi seorang diplomat. Namun, nasib berkata lain. Saat tengah menjalani pendidikan diplomatik pada 2010, dia mendapat informasi ada seleksi untuk mengikuti pelatihan menjadi interprete­r. ” Tujuannya adalah untuk mencetak interprete­r kenegaraan yang andal, yang siap untuk diterjunka­n pada tingkat tinggi,” ungkap pria yang hobi bermain basket itu.

Iqbal yang tertarik langsung mendaftar untuk mengikuti pelatihan. Setelah mengikuti pelatihan, dia bersama peserta lainnya mulai dilibatkan dalam berbagai kegiatan di Kemenlu untuk mengasah kemampuan penerjemah­an. Mulai seminar, lokakarya, sampai konferensi tingkat menteri. Baru pada akhirnya, setelah mengumpulk­an jam terbang selama kurang lebih dua tahun, para peserta diberi kesempatan untuk menjajal penerjemah­an pada tingkat tinggi.

”Waktu itu Mei 2014 di masa pemerintah­an Presiden Ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Saya sempat back up interprete­r utama Pak Andre Omer Siregar,” ujarnya.

Setelah pemerintah­an berganti, Iqbal tetap dipercaya untuk dapat mendamping­i Presiden Jokowi sejak hari pertama menjabat. Sejak itu Iqbal secara rutin mengikuti ke mana pun Jokowi melakukan kunjungan. Dia juga selalu stand by di istana saat ada kepala negara berkunjung. Di antara banyak pertemuan itu, kata Iqbal, yang paling berkesan adalah saat bertemu dengan Presiden Amerika Serikat Barack Obama. Tidak hanya bertemu, Iqbal malah sempat bersalaman dengan Obama.

”Waktu itu bertemu di perhelatan APEC 2014 di Beijing. Rasanya ingin minta wefie. Tapi ingat harus tetap membawa diri dan menjaga profesiona­litas,” tutur suami Vanessa Oktania tersebut, lalu tertawa.

Pengalaman berkesan lainnya dirasakan ketika para pemimpin negara G20 makan siang di Brisbane, Australia. Iqbal yang disangka Paspampres diusir dari area. Iqbal langsung menjelaska­n bahwa dirinya adalah penerjemah presiden. ”Sikap pihak keamanan tiba-tiba berubah menjadi sangat baik. Mereka malah membawakan saya kursi dan minum,” ujar pria kelahiran Wellington, Selandia Baru, 16 Juni 1984, itu.

Kendati tugasnya begitu serius karena berkaitan dengan urusan kenegaraan, Iqbal tetap merasa terhibur. Menurut dia, Presiden Jokowi tidak melulu berbicara serius dengan lawan bicaranya. Sesekali Jokowi juga melontarka­n topik-topik ringan yang cukup menghibur. Jokowi juga tak jarang melontarka­n guyonan untuk mencairkan suasana. Batik, kata Iqbal, menjadi salah satu topik yang sering diceritaka­n Presiden Jokowi kepada kepala negara yang ditemui.

Jokowi juga cukup sering bercerita tentang ribuan pulau dengan ribuan bahasa daerah yang ada di Indonesia. Bagi bangsa Indonesia, itu tentu bukan hal asing. Namun, bagi para kepala negara tersebut, itu merupakan sesuatu yang luar biasa. Tidak jarang mereka terkaget-kaget mendengar fakta itu. Dari sana Iqbal tahu betul bahwa Presiden Jokowi punya selera humor yang baik. Dan itu membuat dirinya merasa lebih nyaman.

Padahal, saat pertama bertugas mendamping­i Presiden Jokowi, Iqbal sempat deg-degan setengah mati. Saat itu dia diperkenal­kan kepada presiden oleh Tim Transisi Jokowi-JK. Namun, seiring dengan berjalanny­a waktu, rasa degdegan tersebut juga mulai menghilang. Apalagi, Jokowi adalah orang yang ramah. Mantan wali kota Solo itu tidak segan-segan mengajak Iqbal berbicara.

”Saya pernah ditanya dalam bahasa Jawa. Tetapi, saya mengatakan bahwa saya tidak bisa berbahasa Jawa. Hehehe,” ucapnya. (and/byu/c9/owi)

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia