Coblosan, Timor Leste Libur Dua Hari
Apa pun hasilnya, pendukung para calon presiden (capres) diharapkan bisa menerima dengan lapang dada. Suasana kondusif perlu diciptakan untuk menghindari perpecahan antar sesama warga Timor Leste.
Uskup Dili Mgr Virgilio do Carmo da Silva meminta delapan kandidat presiden bisa dengan senang hati dan dalam suasana damai menerima hasil pemilihan tersebut. ”Saya berharap, siapa saja yang menang pilpres, kita harus terima dengan senang hati. Kita semua dapat menciptakan situasi yang aman dan damai,” tutur Uskup Virgilio setelah memimpin misa penahbisan tiga diakon dan misa syukur satu tahun menjadi uskup Dili di Katedral Dili, Villa Verde, kemarin.
Setelah dua minggu kampanye dan menyampaikan program, kini saatnya memberikan keputusan kepada rakyat untuk memilih. ” Yang perlu dijaga adalah persatuan dan kesatuan. Mendahulukan kepentingan rakyat daripada kepentingan partai atau kelompok serta berusaha agar rakyat keluar dari kemiskinan dan kemelaratan,” ujar Virgilio.
Hal senada dikatakan peraih hadiah Nobel Perdamaian 1996 sekaligus mantan Presiden Timor Leste Jose Ramos Horta. Dia mengimbau seluruh rakyat menggunakan hak pilihnya. Rakyat harus memilih presiden baru sesuai dengan hati nurani. Terbebas dari rasa ketakutan menggunakan hak pilih. Sebab, Timor Leste adalah negara demokrasi.
”Siapa pun yang terpilih sebagai presiden, kita semua harus memberikan dukungan karena itu adalah hasil inspirasi demokrasi Timor. Kita perlu menunjukkan kepada dunia kematangan politik dan demokrasi kita. Juga kita harus menciptakan kedamaian agar demokrasi di negara kita berjalan dengan baik,” papar Horta.
Dalam debat terakhir Kamis malam (16/3), para capres memperdebatkan empat hal pokok bagi kelangsungan Timor Leste. Yakni aspek hukum, ekonomi, pertahanan keamanan, serta hubungan internasional. Semua calon berjanji menjunjung tinggi masalah hukum di Timor Leste. ”Jika terpilih sebagai presiden, saya tidak akan mengintervensi hukum,” tegas Antonio da Conceicao, calon yang diusung Partai Demokrat.
Hal yang sama dikemukakan Francisco Guterres alias Lu-Olo. Calon yang diunggulkan banyak kalangan itu bertekad mempertahankan institusi demokrasi. ”Hukum harus ditegakkan sehingga kedaulatan negara tetap terjaga,” tuturnya. Menurut Lu-Olo, bila proses hukum diintervensi kepentingan politik, kedaulatan negara bisa terancam.
Pada hari kedua masa tenang kemarin, para kandidat presiden melakukan konsolidasi internal. Dua calon yang menjadi unggulan utama, Lu-Olo dan Antonio da Concecao alias Kalohan, berada bersama tim sukses masingmasing. Lu-Olo memimpin rapat di markas Partai Fretilin di Nicolau Lobato, Fatuhada. Sementara itu, Kalohan menggelar acara di Distrik Liquica.
Regulasi pemilu presiden kali ini berbeda dengan sebelumnya. Warga diharuskan memilih di tempat mereka terdaftar. Tidak bisa memilih di sembarang tempat. Hal itu memaksa warga perantauan pulang kampung untuk bisa mencoblos.
Meski pemerintah memberikan libur resmi dua hari, besok dan lusa, banyak warga yang mengeluh. Dengan alasan tidak memiliki biaya untuk transportasi, banyak warga perantauan yang tidak pulang kampung untuk menggunakan hak pilih.
Ini kali keempat Timor Leste menggelar pemilu sejak lepas dari Indonesia pada 1999. Bekas provinsi ke-27 Indonesia itu kini berpenduduk 1,183 juta jiwa.
Sekretariat Pelaksana Penyelenggara Pemilu Timor Leste (STAE) mencatat, 731.000 pemilih akan mengikuti pemilu presiden kali ini. Coblosan dilakukan di 944 tempat pemungutan suara (TPS). Yang menarik, selain di Timor Leste, ada pula TPS di Lisbon (Portugal) serta Darwin dan Sydney (Australia).
Pada Pemilu 2013, Panglima Perang Falintil, sayap militer Fretilin, Taur Matan Ruak, terpilih sebagai presiden. Dia memenangi pemilihan dalam dua ronde atas Francisco Guterres. Kali ini Taur Matan Ruak tidak mencalonkan lagi. Dia memilih mundur. (*/c9/ca)