Butuh Koordinasi Otak, Telinga, dan Mulut
Presiden Joko Widodo (Jokowi) berbicara dengan bahasa Indonesia satu–dua kalimat, lalu juru bahasa menerjemahkan. Bicara lagi, terjemahkan lagi.
Sementara itu, percakapan simultan sering dijumpai pada sesi pidato kenegaraan atau saat press statement. Saat itu presiden berbicara tanpa jeda dan juru bahasa harus menerjemahkan dalam kesempatan yang sama. Para juru bahasa ditempatkan di sebuah booth khusus yang terhubung dengan alat interpreter yang dipegang audiens. ”Kalau buat saya, yang lebih menantang itu percakapan yang simultan,” ucap Dimas.
Saat percakapan simultan itu pula, peluang salah menerjemahkan menjadi lebih besar daripada percakapan konsekutif. Dia mencontohkan saat berada di forum KTT ASEAN. Kala itu salah seorang kepala negara berbicara tentang perang di masa lalu dan dalam salah satu kalimatnya menyebut kata bodi. Secara harfiah, terjemahannya adalah tubuh. Namun, konteksnya saat itu adalah mayat (jenazah). ”Waktu itu saya menerjemahkannya tubuh,” ucapnya. Untung saja, kekeliruan tersebut langsung ketahuan dan dia bisa memperbaikinya.
Untuk itulah, Dimas selalu melatih kemampuannya menerjemahkan dengan cepat dan sesuai konteks. Salah satunya dengan menonton talk show berbahasa Inggris. Acara favoritnya adalah late-night talk show yang berasal dari Amerika Serikat.
Menjadi juru bahasa memang cukup menantang. Dimas harus menggunakan tiga kemampuan secara cepat dan tepat. Telinga mendengar, otak menerjemahkan, lalu mulut menyampaikan pesan yang diterjemahkan otak. Proses itu berlangsung dalam tempo sepersekian detik. Khususnya bila percakapan berlangsung simultan. Bila percakapannya bersifat konsekutif, Dimas mengaku masih bisa menggunakan senjata berupa notes untuk mencatat sebelum menerjemahkan.
Selain itu, biasanya Dimas sudah mendapatkan materi yang akan disampaikan Presiden Jokowi kepada lawan bicaranya. Setidaknya, satu hari sebelum pertemuan, dia sudah mendapatkannya. Meski tidak jarang juga mendadak. Kendati pada akhirnya materi itu tidak digunakan 100 persen, dia sudah mendapatkan gambaran inti dari apa yang ingin disampaikan Jokowi. ”Itu sangat membantu,” katanya.
Tidak jauh berbeda dengan Dimas, Iqbal mengatakan bahwa yang paling penting dari penafsiran adalah pemahaman konteks. Tanpa memahami konteks, pesan jadi tidak tersampaikan. Karena itu juga, Iqbal selalu melakukan persiapan yang cukup sebelum bertugas.
Dokumen-dokumen perjanjian kerja sama, nota kesepahaman, serta materi perjanjian menjadi ”sarapan” Iqbal sebelum bertugas. Dia setidaknya menghabiskan waktu satu jam untuk melahap sarapannya itu. ”Persiapan justru adalah fase paling penting sebelum penugasan. Bisa saya katakan, hampir 80 persen keberhasilan tugas ditentukan persiapannya,” tutur Iqbal.
Selain melahap materi yang akan jadi pembicaraan sang presiden, Iqbal harus mengetahui secara detail rundown kegiatan, pihak yang akan ditemui, medium bahasa yang digunakan, ruangan acara, hingga jenis penerjemahan. Termasuk alat yang akan digunakan. ”Ini semua harus dipastikan demi kelancaran seluruh kegiatan,” ucapnya.
Untuk mempertajam kemampuannya dalam membuat interpretasi, alumnus University of Edinburgh itu cukup sering melatih diri dengan mendengarkan berita berbahasa Inggris seperti di BBC dan CNN. Pada saat yang sama, dia juga langsung menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia. Tak jarang Iqbal juga mengintip contoh-contoh pidato yang disampaikan kepala negara asing di YouTube. Itu sangat efektif untuk melatih kemampuan menginterpretasi kan secara simultan.
”Ini juga sekaligus membiasakan diri dengan aksen gaya bicara dan kecepatan bicara seorang kepala negara. Latihannya minimal 20 sampai 30 menit sehari,” cerita ayah satu putri itu. (byu/and/c9/owi)