Praktik Lapangan
Praktik lapangan membuat siswa lebih mudah memahami materi pelajaran. Hal tersebut diyakini guru biologi SMA Muhammadiyah 2 Surabaya Wedyasning Wulandari. Dalam sebulan, dia mengajak siswanya dua kali bertualang di luar kelas.
jenis binatang air seperti mimi, bintang laut, dan ular laut terlihat mengambang di dalam stoples berbagai ukuran. Belasan hewan tersebut tersusun rapi di sebuah ruang berukuran 6 x 10 meter.
Bukan hanya hewan yang berbentuk utuh, di ruangan tersebut juga terdapat beberapa tulang belulang hewan. Menariknya, meski sudah tidak ada daging dan kulit yang menempel, tulang belulang tersebut masih bisa dikenali. Sebab, tulang disusun sesuai dengan posisinya ketika menjadi bagian dari makhluk hidup.
”Semua ini buatan siswa,” ujar Wedyasning Wulandari, guru biologi SMA Muhammadiyah 2, saat menunjuk koleksi di laboratorium biologi Jumat (17/3). Ya, tak seperti ruang laboratorium lain, di sekolah tersebut hampir seluruh barang untuk keperluan penelitian biologi merupakan hasil kerja siswa.
Banyaknya bahan praktik buatan siswa tersebut tidak terlepas dari kebiasaan Wulan –sapaan akrab Wedyasning Wulandari– dalam memberikan materi pembelajaran. Caranya dengan bertualang mengamati langsung dan meneliti makhluk hidup di habitatnya.
Praktik bertualang tersebut biasanya dilakukan Wulan setelah satu materi dalam kompetensi dasar (KD) tuntas. ”Materi praktik lapangan akan kami pilih. Setelah cocok, berangkat,” kata istri Heru Wibowo itu. Dalam sebulan, Wulan mengajak siswanya dua kali ”kelayapan” di luar kelas.
Ide pembelajaran praktik langsung ke lapangan tersebut berawal ketika siswa merasa tidak tertarik dengan pembelajaran biologi. Siswa umumnya tidak puas jika hanya melihat dan praktik di dalam kelas. Mereka sulit mencerna materi yang disampaikan guru. ”Siswa tahu jika diterangkan. Tapi, tak paham betul jika mereka tak merasakan,” bebernya.
Rancangan konsep belajar di luar kelas lantas disusun. Pendekatannya sederhana. Dalam praktik tersebut, anak-anak harus bisa mengamati secara detail dan mengetahui habitat makhluk hidup.
Dia mencontohkan, pengamatan tumbuhan paku. Siswa akan diajak pergi ke hutan berlahan basah. Di sana siswa bebas mencatat dan menggambarkan karakteristik kehidupan tanaman paku. Mulai bentuk daun, ciri batang, hingga kondisi lingkungan tumbuhan paku bisa hidup. Semua dideskripsikan siswa dalam buku catatannya.
Selain pengamatan di lapangan, siswa diajak untuk bisa mengumpulkan data. Di antaranya, mengolahnya menjadi bahan praktik yang bisa dimanfaatkan. Untuk tumbuhan, siswa biasanya menggunakan teknik pengeringan. Sementara itu, untuk hewan, siswa menggunakan dua cara. Yakni, pengawetan kering dan basah. ”Dengan model pembelajaran ini, siswa akan lebih paham,” jelas guru yang telah mengabdi selama 28 tahun itu.
Untuk membuat pembelajaran di lapangan tersebut kian menarik minat siswa, ibu dua anak itu punya trik jitu. Dia melibatkan guru mapel lain untuk bergabung dalam praktik lapangan tersebut.
Misalnya, saat melakukan pengamatan biota laut di Pantai Kenjeran beberapa bulan lalu. Wulan mengajak guru ekonomi dan kimia dalam pembelajaran tersebut. Wulan menyinkronkan tiga mapel itu. Untuk kimia, siswa diajak mengukur pH (kadar keasaman) air. Sedangkan untuk ekonomi, siswa diminta mewawancarai para pedagang ikan di kawasan pantai tersebut.
Selain pengamatan secara langsung, ide praktik bertualang di luar kelas itu diterapkannya saat mengajak siswa mendalami ilmu biologi. Misalnya, mengembangkan tanaman hortikultura dan pengujian DNA.
Untuk bisa praktik tingkat tinggi itu, Wulan bekerja sama dengan Fakultas Sains dan Teknologi (FST) dan Institute of Tropical
Disease Universitas Airlangga (Unair). ”Kalau di laboratorium kami, jelas alatnya belum lengkap. Kami melakukan kunjungan ke Unair untuk melihat proses itu,” jelas penggemar olahraga sepeda tersebut. (elo/c7/nda)