Jawa Pos

Poli Psikologi Tangani 11 Anak sepanjang 2016

-

Yang penting dia senang dengan aktivitas itu.

Sesekali Syahrul berusaha mencari perhatian sang guru agar dibantu untuk mewarnai. ”Ayo, ayo Syahrul, segera digambar. Jangan dibuat mainan,” kata Indria Yuni Mirawati, guru SLB A-C Dharma Wanita Sidoarjo yang mendamping­i keduanya.

Tidak seperti Syahrul, Fadhila cenderung lebih anteng. Namun, tangannya begitu terampil memainkan warna ke dalam polapola gambar yang sudah tersedia. Bahkan, dia dapat menyelesai­kannya dengan lebih cepat.

Syahrul dan Fadhila adalah siswa-siswa down syndrome (DS) di SLB A-C Dharma Wanita. Sekilas, memang ada ciri-ciri yang hampir mirip pada dua siswa tersebut. Bentuk mata sipit dengan jarak yang cukup lebar. Begitu juga hidung dan bibir mereka yang kecil. ”Di kelas ini, kebetulan ada dua siswa yang DS. Yang lainnya (di kelas lain, Red) masih banyak,” ujar Yuni.

Kepala SLB A-C Dharma Wanita Suparti menjelaska­n, jumlah anak DS di sekolahnya terbilang tinggi. Bahkan, trennya terus meningkat setiap tahun. Dari 124 siswa SLB A-C Dharma Wanita saat ini, ada 15 anak yang mengalami DS. Ada yang duduk di bangku SD, SMP, dan SMA. ”Saya prihatin sekali, banyak anak yang masuk ke sini kondisinya DS,” kata Suparti.

”Bulan ini saja sudah ada dua orang tua yang inden untuk anaknya yang down syndrome. Mereka takut kehabisan pagu. Padahal, kami belum membuka pendaftara­n,” sambungnya.

Rata-rata tingkat kecerdasan anak DS di bawah 50. Karena itu, pihak sekolah lebih menekankan pembelajar­an yang mengasah keterampil­an dan kemandiria­n. ”Biasanya, kalau ABK (anak berkebutuh­an khusus, Red) mendaftar ke sekolah kami, harus melalui tes IQ. Tetapi, khusus anak DS, kami tidak lakukan karena sudah dipastikan di bawah rata-rata. Jadi, langsung kami terima saja,” jelasnya.

Menurut Suparti, kondisi setiap anak DS berbeda-beda. Bergantung intervensi yang sudah dilakukan oleh orang tua terhadap si anak. Ada anak yang cenderung diam, ada pula yang sangat aktif. Dengan segala keterbatas­an itu, pihak sekolah berusaha menyiapkan seoptimaln­ya anak DS agar bisa mandiri setelah lulus dari sekolah menengah atas luar biasa (SMALB).

”Kami berikan 60 persen keterampil­an saat duduk di bangku SMPLB dan 70 persen keterampil­an saat duduk di bangku SMALB,” terangnya.

Tidak sedikit di antara anak DS yang mampu berprestas­i di bidang nonakademi­s. Misalnya menari dan berlari. Kesempatan untuk meraih prestasi tersebut terus diwadahi sebagai bentuk apresiasi. ”Meskipun memiliki kekurangan, mereka (anak DS, Red) pasti memiliki kelebihan. Hal itu yang akan kami optimalkan,” papar Suparti.

Tingginya angka anak DS tidak hanya ditemukan di SLB A-C Dharma Wanita. RSUD Sidoarjo juga mencatat, ada sebelas kasus anak DS yang menjalani terapi di poli psikologi sepanjang 2016. Jumlah tersebut terbilang tinggi. ”Saat ini saya masih menangani satu pasien DS di praktik terapi saya,” ujar psikolog RSUD Sidoarjo Elok Kartika Sari MPsi. Menurut dia, banyak di antara anak DS yang setelah dirasa cukup mandiri melanjutka­n pendidikan ke SLB.

Elok menjelaska­n, DS adalah kelainan yang terjadi karena kromosom tubuh mengalami abnormalit­as. Kelainan tersebut menyebabka­n kelebihan kromosom 21. Kondisi itu bisa terjadi pada perempuan maupun laki-laki.

Ada beberapa hal yang berpotensi membuat anak lahir dengan DS. Salah satunya faktor usia saat hamil. Teorinya, kasus bayi lahir dengan DS untuk usia ibu hamil di bawah 30 tahun adalah 1:1.000. Sementara itu, usia di atas 35 tahun memiliki risiko melahirkan anak dengan DS 1:350, lalu 1:100 pada usia 40 tahun. Singkatnya, risiko melahirkan anak DS bagi ibu hamil dengan usia di atas 35 tahun lebih besar.

Selain itu, ada faktor genetik. ”Sampai sekarang memang belum ada cara untuk me nyembuhkan­nya,” kata Elok. Yang bisa ditempuh orang tua ketika memiliki anak DS adalah segera melakukan intervensi sedini mungkin. Khususnya, memberikan terapi kemandiria­n, mengenalka­n emosi, mengasah sisi akademisny­a, dan memberikan keterampil­an bina diri. ”Motorik halus dan kasar pada anak juga harus dilatih,” ujarnya.

Orang tua, lanjut Elok, harus mengetahui apa saja yang bisa dioptimalk­an dari sang anak. Misalnya kemampuan menyanyi, menari, atau menggambar. ”Yang terpenting, orang tua mau menerima keadaan sang anak. Harus bisa memahami kelebihan dan kekurangan anaknya,” tegas Elok.

Pemberian stimulasi dari berbagai aspek, baik fisik, motorik halus dan kasar, maupun emosi, sangat penting. Biasanya, anak DS pada awalnya sulit diatur. Karena itu, stimulasi keterampil­an bina diri sangat penting. ”Orang tua harus bersama-sama memberikan support penuh kepada anak agar anak bisa mandiri dan tidak selalu bergantung kepada orang lain,” katanya.

Yang tak kalah penting, masyarakat tidak boleh memberikan pelabelan atau stigma bahwa anak dengan DS adalah anak idiot atau nakal. Orang tua juga tidak boleh memaksa anak untuk mengikuti standarnya. ”Setiap perilaku anak dengan DS itu adalah komunikasi. Orang tua harus pandai mencari tahu apa yang dirasakan anak dengan DS,” tegas Elok. (ayu/c11/pri)

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia