Jawa Pos

Anak yang Hiperaktif Bukan Berarti Nakal

Penegakan Diagnosis oleh Psikiater

-

SURABAYA – Orang tua acap dibuat jengkel oleh anak. Apalagi ketika anak susah diatur. Meski demikian, orang tua hendaknya tak asal menyematka­n cap anak nakal.

Psikiater RS Adi Husada Undaan Wetan dr Fenny Anggrajani SpKJ menegaskan, orang tua jangan gampang memvonis anak nakal. Bisa jadi kondisi pada anak itu disebabkan gangguan perilaku.

”Belakangan makin banyak orang tua yang datang dengan keluhan anaknya hiperaktif,” tutur Fenny. Tren tersebut, menurut dia, semakin meningkat lima tahun terakhir. Sebab, orang tua atau guru makin mengerti berbagai gangguan perilaku. ”Kalau dulu mungkin dianggap anak nakal,” imbuhnya.

Attention deficit hyperactiv­ity disorder (ADHD) atau hiperaktif memang membuat si kecil tidak bisa diam. Para penyandang ADHD sulit untuk diberi tahu. Mereka cenderung cuek dengan lingkungan. Hal itu, menurut Fenny, sering membuat orang tua mudah marah terhadap anak.

”Orang tua seharusnya lebih sabar dan berempati terhadap anak ADHD,” tuturnya setelah menjadi pemateri pada Seminar Awam Peduli Kesehatan Anak kemarin (18/3). Hal tersebut berkaitan dengan gangguan di otak yang membuat si kecil tidak bisa mengendali­kan perilaku. Bahkan, mereka bergerak seolaholah tidak mengenal lelah.

Yang sering terjadi, orang tua menyimpulk­an sendiri bahwa anaknya hiperaktif. Terutama pada anak usia kurang dari tujuh tahun. Padahal, diagnosis hiperaktif pada anak usia kurang dari tujuh tahun harus ditegakkan oleh psikiater. ”Pada usia di bawah itu, anak memang sedang mengenali lingkungan. Jadi, ya wajar kalau mereka aktif bergerak,” tegasnya.

Anak yang memang hiperaktif cenderung aktif bergerak di berbagai tempat. Bukan hanya di rumah atau sekolah. Jika anak sangat aktif di satu tempat, sangat mungkin si kecil menyandang gangguan lain. Dia mencontohk­an, ada anak yang hanya bandel di rumah, sedangkan di sekolah bisa diatur. Bisa jadi perilaku tersebut disebabkan adanya masalah dengan orang tua.

Meski demikian, dia mengingatk­an, memiliki anak hiperaktif tidak berarti tak bisa mengendali­kannya. Anak masih bisa dilatih untuk mengontrol diri. Orang tua, guru, psikiater atau psikolog, dan lingkungan sekitar si kecil harus bekerja sama.

Ada beberapa hal yang sebenarnya bisa dilakukan orang tua. Untuk melatih fokus si kecil, misalnya. Caranya, optimalkan kontak mata ketika berbicara. Selain cara itu bermanfaat untuk meningkatk­an fokus, anak mengerti apa yang dibicaraka­n.

”Anak hiperaktif harus diajari bagaimana untuk tertib,” tegasnya. Karena para penyandang hiperaktif tidak bisa memfokuska­n perhatian dalam waktu lama, orang tua harus bisa membuat perintah sederhana dan mudah dipahami.

Mereka harus mengerti yang dilakukan baik atau benar. Metode reward dan punishment bisa diterapkan. ”Hadiah bisa dengan pelukan, hukuman bisa dengan mengambil apa yang si anak suka. Jangan menunda memberikan hadiah atau hukuman,” papar Fenny.

Satu lagi, orang tua hendaknya tak membanding­kan penyandang hiperaktif dengan orang lain. Sebab, mereka memiliki keunikan jika dibandingk­an dengan orang kebanyakan. (lyn/c11/nda)

 ?? ERIE DINI/JAWA POS ??
ERIE DINI/JAWA POS

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia