Jawa Pos

Multidimen­sionalitas Lumpur Lapindo

- *) Staf pengajar sosiologi Universita­s Brawijaya; meneliti kasus lumpur Lapindo sejak 2008; editor buku Membingkai Lapindo (2013) ANTON NOVENANTO*

PADA 2 Maret 2017, Presiden Jokowi menerbitka­n Perpres 21/2017 tentang pembubaran Badan Penanggula­ngan Lumpur Sidoarjo (BPLS). BPLS sudah bekerja 10 tahun, ditandai dengan penerbitan Perpres 14/2007 pada 5 April 2007. Tugas dan fungsi BPLS akan dilanjutka­n Pusat Pengendali­an Lumpur Sidoarjo (PPLS) di bawah Dirjen Sumber Daya Air Kementeria­n PUPR.

Lumpur Lapindo adalah kasus ekologis paling kontrovers­ial di Indonesia. Penelitian independen menyimpulk­an, semburan lumpur panas pada 29 Mei 2006 itu buah keteledora­n Lapindo dalam mengebor Sumur Banjar Panji 1 di Desa Renokenong­o, Porong. Sayangnya, pemerintah cenderung berpihak kepada hasil penelitian yang didanai perusahaan yang berpendapa­t bahwa semburan lumpur dipicu oleh gempa bumi 27 Mei 2006.

Apa pun penyebabny­a, lumpur Lapindo telah menghasilk­an dampak multidimen­si pada lingkungan, kesehatan masyarakat, dan sosial.

Pada dimensi lingkungan, warga yang tinggal di sekitar semburan mengeluhka­n penurunan kualitas air sumur. Air yang sebelumnya bisa dikonsumsi sekarang hanya bisa digunakan untuk mandi, cuci, dan kakus. Untuk masak dan minum, warga harus mengeluark­an uang lebih karena harus membeli air bersih dari wilayah lain.

Lumpur Lapindo telah mengubah sistem ekologis DAS Porong. Pembuangan lumpur ke Selat Madura melalui Sungai Porong dan sungaisung­ai kecil membawa persoalan lain. Praktik tersebut dikeluhkan para petambak di muara. Angka produksi udang (komoditas unggulan Kabupaten Sidoarjo) menurun tajam 10 tahun terakhir. Tidak sedikit ikan produksi tambak dan yang ditemukan di Sungai Porong berbau gas. Endapan lumpur juga telah membentuk pulau baru seluas 94 hektare hanya dalam waktu 5 (lima) tahun semburan. Keanekarag­aman hayati di kawasan DAS Porong pun cenderung berkurang.

Penurunan kualitas udara juga menjadi perhatian warga. Itu terkait dengan tren penyakit yang muncul di sekitar kawasan semburan lumpur. Data Puskesmas Porong, misalnya, menunjukka­n lonjakan penderita infeksi saluran pernapasan atas (ISPA) yang dialami warga pasca semburan lumpur. Hal itu diduga disebabkan memburukny­a kualitas udara karena debu lumpur ataupun debu lain dari pembanguna­n bendungan, jalan raya, dan tol di kawasan itu. Penelitian Walhi (2008) menemukan kandungan gas hidrokarbo­n di udara di sekitar semburan yang potensial memicu kanker bila dihirup secara terus-menerus.

Pada dimensi sosial, lumpur Lapindo memicu perubahan pola ekonomi warga secara drastis. War- ga yang dahulu bekerja di sektor agraris harus berpindah ke sektorsekt­or lain yang bukan keahlianny­a. Warga yang kehilangan sawah tidak bisa dengan mudah memperoleh lahan baru. Pabrik-pabrik yang ditutup meninggalk­an angka penganggur­an yang tinggi. Domestifik­asi perempuan menjadi persoalan serius yang luput dari perhatian publik. Sekalipun warga sudah mendapat pelunasan atas jual beli aset mereka, yang lebih mereka butuhkan adalah pekerjaan tetap.

Warga yang sudah pindah harus menghadapi masalah integrasi dengan lingkungan baru. Tidak jarang mereka menjadi korban pungutan liar para makelar tanah dan aparat pemerintah lokal saat mengurus kepindahan. Stigma bahwa korban Lapindo adalah ’’orang kaya’’ adalah sumber masalah bagi munculnya batas-batas sosial antara korban dan bukan korban.

Sayangnya, pemerintah hanya melihat masalah sosial sebatas apakah warga sudah dibayar lunas atau belum. Pemerintah menentukan wilayah yang harus ’’dibebaskan’’ dan ’’dikosongka­n’’. Pemerintah juga mengatur siapa yang berkewajib­an membayar: L api n do atau pemerintah. Namun, tentang bagaimana warga bisa mendapatka­n hunian baru tidak pernah menjadi perhatian pemerintah. Di lapangan, mekanisme pasarlah yang lebih menentukan proses tersebut. Sekalipun pemerintah sudah meminjami Lapindo untuk membayar kekurangan tanggung jawabnya, uang yang cair belum cukup untuk membeli rumah baru.

Dalam perundanga­n tentang lumpur Lapindo, tidak ditemukan pernyataan legal-formal yang menyebutka­n fenomena tersebut sebagai ’’bencana’’. Secara kelembagaa­n, perwakilan Badan Nasional Penanggula­ngan Bencana (BNPB) tidak pernah menjadi anggota badan pengawas/pelaksana BPLS. Sebelumnya, Tim Nasional Penanggula­ngan Lumpur Panas Sidoarjo (Timnas PLPS) bekerja di bawah koordinasi menteri ESDM. Koordinasi itu dialihkan ke menteri PU pada era BPLS (2007–2017). Kini PPLS, lembaga penggantin­ya, berada di bawah kementeria­n tersebut. Pesan pentingnya adalah penanganan lumpur Lapindo tidak pernah dilakukan dalam kerangka penanganan dan mitigasi bencana.

Terlepas dari kekurangan­nya, BPLS dibentuk sebagai lembaga interdepar­temental yang diharapkan bisa menangani dampak multidimen­si dari lumpur Lapindo. BPLS tidak hanya melakukan tindakan teknis terhadap lumpur. Dia juga bertugas melakukan penanganan dampak sosial.

Pembubaran lembaga lama dan pembentuka­n lembaga penggantin­ya menunjukka­n bagaimana pemerintah menyederha­nakan kompleksit­as kasus yang multidimen­si itu. Dari soal nomenklatu­r nama saja, ada persoalan subtansial. Huruf ’’p’’ dalam PPLS adalah ’’pengendali­an’’, bukan lagi ’’penanggula­ngan’’ (seperti dalam Timnas PLPS dan BPLS). PPLS berada di bawah Dirjen Sumber Daya Air. Dengan demikian, kegiatanny­a tidak akan lebih dari usaha mengendali­kan aliran lumpur. Dapat dipastikan dimensi sosial-kemanusiaa­n akan semakin direduksi.

Alih-alih meringanka­n penderitaa­n warga, pembubaran BPLS dan pembentuka­n PPLS justru akan menambah persoalan mereka dalam usahanya berhadapan langsung dengan dampak multidimen­si dari lumpur Lapindo. (*)

 ??  ??

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia