Perang Segel dengan Kompetitor
KENDALA terbesar YohanesIna saat memulai bisnis sambal adalah menjaga kesegaran dan daya tahan produk. Apalagi, mereka menggarap konsumen rumahan yang harus memakai cabai basah, bukan cabai kering.
Mereka lantas bertanya kepada dinas kesehatan dan berkonsultasi dengan pebisnis sambal kenalan orang tua Yohanes. Dinas kesehatan menyarankan penggunaan pengawet makanan yang membuat sambal tahan 1–2 minggu. Sementara itu, pebisnis sambal yang menjadi mentor bisnis mereka menyarankan penggunaan segel kemasan yang juga mereka gunakan. ”Ternyata bisa awet 6–8 bulan,” terang Yohanes.
Selain segel, ketahanan sambal bergantung pada cara packing, tingkat kematangan sambal, kebersihan alat, serta kemampatan udara di dalam kemasan. ”Tidak boleh ada udara yang terjebak di dalam kemasan,” terangnya.
Namun, setelah bisnis sambal Emak Ti melaju, pasokan segel dihentikan mentor bisnisnya. Padahal, Yohanes dan Ina sudah telanjur bergantung pada segel dari mentor bisnisnya itu. ’’Mungkin karena secara tidak langsung kami berkompetisi,” jelas Yohanes.
Mereka pun membeli segel dari sebuah supplier. Namun, kualitas segel tidak seperti sebelumnya. Karena itu, Yohanes dan Ina sempat memberi garansi penggantian produk bila segel bocor. Beruntung, akhirnya mereka menemukan pemasok asal Surabaya yang bisa memberi segel berkualitas dengan harga lebih murah.
’’Kalau yang dulu katanya impor. Jadi, kalau nilai tukar anjlok, harga segel semakin mahal,” terang Ina. Pasangan tersebut juga sempat mengalami kerusakan produksi lantaran ruko tempat produksi sambal kebanjiran.
Tingginya harga cabai juga membuat margin sambal menipis. Untuk menyiasati tingginya harga cabai, Yohanes-Ina menggunakan bahan-bahan lain seperti bawang dan daging ikan sehingga proporsi cabai dalam sambal berkurang. Dari 300–400 porsi sambal yang diproduksi, hanya dibutuhkan 10 kilogram cabai. (vir/c17/noe)