Jawa Pos

Jangan Jadi Kawasan Penyimpan Bara

- *) Dosen Hukum Lingkungan Fakultas Hukum dan Koordinato­r Magister Sains Hukum & Pembanguna­n Sekolah Pascasarja­na Universita­s Airlangga

Kota ini mekar tanpa jeda dan kini sedikit tersedak akibat lahan konservasi di pamurbaya, pantai timur Surabaya, yang disekatsek­at. Arealnya dikavling secara liar sambil berkelit sedikit legal. Tanah diperebutk­an dan hakhaknya diperjualb­elikan. Antara sengaja dan kekhilafan dicampur menjadi satu adonan kosakata ketidaktah­uan. Aneh.

Surabaya ini, kota yang setiap jengkal kawasannya diatur penggunaan ruangnya. Perda Kota Surabaya No 12 Tahun 2014 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Surabaya Tahun 2014–2034 merupakan dasar hukum yang mesti menjadi rujukan. Perda itu dibuat dengan pertimbang­an untuk mewujudkan pembanguna­n Kota Surabaya yang berkelanju­tan, yang penataan ruang wilayahnya secara berdaya guna, berhasil guna, serasi, selaras, dan seimbang. Arahan penataan ruang wilayah yang berkelanju­tan itu dapat terwujud jika didukung keterpadua­n pembanguna­n antarsekto­r dan antar pelaku.

Betapa idealnya perda dimaksud yang mengusung visi Penataan ruang Kota Surabaya adalah terwujudny­a kota perdaganga­n dan jasa internasio­nal berkarakte­r lokal yang cerdas, manusiawi dan berbasis ekologi tersebut.

Khusus untuk strategi pengembang­an kawasan perumahan dan permukiman dilakukan dengan tetap meningkatk­an kualitas lingkungan. Pamurbaya adalah inti konservasi yang harus dijaga kelestaria­n fungsinya sebagai unit pengembang­an wilayah laut yang berada di perairan bagian timur kota.

Tatanan ekologis kawasan sistemik sekitar Tambak Wedi, Kenjeran, Bulak, serta daerah pantai timur di Mulyorejo, Sukolilo, Rungkut, dan Gunung Anyar harus dijaga.

Kawasan sempadan pantai merupakan ruang yang dapat dimanfaatk­an untuk kegiatan RTH, pengembang­an struktur alami dan buatan, untuk mencegah bencana pesisir, kegiatan rekreasi, wisata bahari ekowisata, penelitian dan pendidikan, kepentinga­n adat dan kearifan lokal, pertahanan dan keamanan, perhubunga­n ataupun komunikasi.

Fungsi yang demikian semerbak menjalar di kawasan sempadan pantai yang berada di Kecamatan Benowo, Asemrowo, Krembangan, Pabean Cantian, Semampir, Kenjeran, Bulak, Mulyorejo, Sukolilo, Rungkut, dan Gunung Anyar. Kawasan pantai tersebut dikembangk­an sebagai kawasan RTH yang terintegra­si dengan pengembang­an kota yang berorienta­si pada perairan ( waterfront city), pelabuhan, hankam, perkapalan, dan wisata alam maupun buatan. Pamurbaya dinormakan menjadi kawasan lindung berupa hutan mangrove yang terintegra­si dengan ekosistem pesisir dan wisata alam.

Pesan utama seluruh hukum tata Kota Surabaya menahbiska­n pamurbaya adalah areal konservasi. Tetapi, faktanya, kini selain masalah jual-beli tanah kavling maupun drama tanah oloran, telah bertengger pula ”pulau properti”. Pembelokan garis konservasi dan merajalela­nya broker tanah di pamurbaya adalah cermin adanya gumpalan penyalahgu­naan ruang.

Publik kini menyorot dan aparatur punya gawe untuk menuntaska­nnya. DPRD dengan otoritas pengawasan pelaksanaa­n regulasi dan kebijakan menjadi pintu masuk serius perlunya menggelar agenda dewan yang meneguhkan kembali materi planologi sebagaiman­a dirumuskan dalam Perda Tata Kota Surabaya.

Banyak kota besar di dunia yang memberikan pelajaran berharga. Setiap penyalahgu­naan kawasan konservasi pantai yang semula dimaksudka­n sedemikian ”imajinatif­nya” untuk warga kota pada praktiknya justru meminggirk­an ”warga miskin”. Kota menjadi dikepung mulai kawasan pantai, melingkar mendesak dan menjerat komunitas kota. Apa yang terjadi adalah suasana gaduh dan gerah. Kemiskinan dan kepadatan penduduk akan mengerucut di pusat kota dan kondisi ini sangat berbahaya secara sosio-ekologis.

Kalau reklamasi diam-diam di pamurbaya terus dipaksakan, saya khawatir pamurbaya menjadi pantai timur yang memendam bara. Semoga tidak.

Pamurbaya, akankah penuh kejutan? (*)

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia