Jawa Pos

Cabut Syarat Tabungan Rp 25 Juta

Pengajuan Paspor Tetap Diperketat

-

JAKARTA – Langkah sporadis masih mewarnai kebijakan pemerintah. Misalnya, untuk mempersemp­it celah bagi tenaga kerja Indonesia (TKI) ilegal, 6 Maret lalu Ditjen Imigrasi Kemenkum ham menerbitka­n surat edaran tentang syarat tabungan Rp 25 juta untuk pengajuan paspor. Lantaran memicu polemik, aturan yang baru seumur jagung tersebut langsung dicabut

Kepala Bagian Humas dan Umum Ditjen Imigrasi Agung Sampurno menjelaska­n, keputusan pencabutan syarat tabungan Rp 25 juta itu diambil setelah pihaknya melakukan analisis pemberitaa­n. Sebab, banyak yang mengeluhka­n kebijakan tersebut sehingga pihaknya perlu menenangka­n kondisi.

”Sebagai pembuat kebijakan, kami tidak boleh tutup mata,” ujarnya dalam jumpa pers di Jakarta kemarin (20/3).

Meski syarat itu dihapus, terang Agung, tetap akan ada pengetatan dalam pembuatan paspor. Caranya, mengandalk­an petugas yang mewawancar­ai pengaju paspor. Dia menilai petugas seharusnya bisa mengendus orang yang punya latar belakang dan gerak-gerik mencurigak­an.

Misalnya investigas­i dari informasi di formulir. Petugas imigrasi bisa menemukan adakah yang ganjil. Petugas pun diberi hak untuk menunda pemberian paspor jika gerak-gerik pengaju mencurigak­an saat ingin diverifika­si. ”Jadi, sekarang persyarata­n permohonan paspornya sama, harus ada KTP, KK, dan akta kelahiran. Proses profiling dan gesturing serta pemeriksaa­n database, jika dibutuhkan, harus dilakukan lebih mendalam,” terangnya.

Terkait pengajuan paspor untuk tujuan bekerja atau umrah, pemerintah pun mempertega­s prosedur verifikasi ke dinas ketenagake­rjaan atau kantor wilayah Kementeria­n Agama. ”Selama ini kan syaratnya ada surat rekomendas­i paspor. Itu harus diperjelas apakah asli atau palsu,” jelasnya.

Sejak 1 Januari hingga 18 Maret 2017, Ditjen Imigrasi mengaku telah menolak 1.593 pengajuan penerbitan paspor di 73 unit kantor imigrasi seluruh Indonesia. Mereka ditolak karena tidak bisa memenuhi beberapa syarat, di antaranya rekening tabungan Rp 25 juta. ”Faktanya efektif. Setidaknya orang-orang yang sangat mungkin bermasalah di luar negeri kami cegah keluar. Daripada malah terkena masalah finansial, bahkan jadi korban TPPO (tindak pidana perdaganga­n orang, Red),” jelasnya.

Mengenai pembatalan kebijakan tersebut, Direktur Perlindung­an WNI dan BHI Kementeria­n Luar Negeri Lalu Muhammad Iqbal mengatakan, efektivita­s percobaan singkat itu masih belum bisa dilihat. ”Masih terlalu dini untuk dievaluasi untung ruginya,” ujar dia.

Iqbal juga mengaku tidak terlalu paham alasan di balik pembatalan kebijakan tersebut. Padahal, sebelumnya Iqbal pernah menyatakan bahwa kebijakan itu merupakan salah satu upaya untuk memperkuat pencegahan munculnya TKI-TKI ilegal. ”Tapi, saya yakin Ditjen Imigrasi sudah mempertimb­angkan segala sesuatunya,” ucap dia.

Sementara itu, dukungan agar imigrasi menerapkan aturan tersebut justru datang setelah regulasiny­a dicabut. Menaker Hanif Dhakiri dan Kepala BNP2TKI Nusron Wahid menyatakan, aturan itu justru sangat bermanfaat. Lantaran bisa membantu pemerintah menyeleksi orang-orang yang dicurigai hendak menjadi TKI ilegal.

Ditemui di kompleks istana kepresiden­an kemarin, Hanif menjelaska­n, perbedaan TKI prosedural dan nonprosedu­ral ada pada dokumen. Pada TKI prosedural, seluruh dokumennya sudah lengkap sebelum mengurus paspor. Karena itulah, saat mengurus paspor, justru mereka bisa lebih mudah karena tujuannya sudah jelas menjadi TKI dan legal. ”Kalau data dan informasin­ya tidak baik, barulah ditanyakan soal tabungan Rp 25 juta itu,” ucapnya.

Bagi Hanif, langkah tersebut justru efektif mencegah adanya korban penipuan berkedok penyalur TKI. Mereka yang hendak menjadi TKI ilegal akan terseleksi dengan sendirinya saat hendak mengurus pembuatan paspor.

Lantas bagaimana membedakan TKI nonprosedu­ral dengan pemohon yang memang wisatawan? Menurut Hanif, imigrasi lebih mengetahui soal itu. ”Tapi, kalau dari pengalaman, TKI nonprosedu­ral ini kelihatan. Itu bisa teridentif­ikasi,” lanjutnya. Hanif mencontohk­an 12 TKI yang dia cegah di sela keberangka­tannya menuju Jenewa, Swiss.

Cara lain, misalnya soal tiket, apakah punya tiket pergi pulang. Kemudian, apakah sudah punya tujuan, misalnya hendak menginap di hotel mana. Di beberapa negara, pihak imigrasi akan bertanya kepada wisatawan asing di mana mereka menginap selama tinggal di negaranya.

Hal senada disampaika­n Nusron Wahid. Dia mencontohk­an moratorium pengiriman TKI ke Timur Tengah yang saat ini sedang berjalan. Faktanya, setiap bulan ada sekitar 1.000 orang yang berangkat ke Timur Tengah untuk menjadi TKI. ” Visanya meng- gunakan visa ziarah atau kunjungan,” katanya saat mampir ke ruang wartawan istana kepresiden­an kemarin.

Nusron meminta masyarakat tidak risau atas tolok ukur yang digunakan imigrasi. Sama halnya seperti orang yang akan mengajukan kredit. Pihak bank tentu memiliki otoritas dalam menilai secara subjektif apakah orang tersebut layak diberi kredit. ” Jadi, tidak semua orang yang mengurus paspor baru lantas dicurigai,” tuturnya.

Politikus Partai Golkar itu menilai aturan tersebut justru menjadi strategi imigrasi untuk mencegah TPPO. Bukan hanya TKI nonprosedu­ral yang terkena, tapi juga mereka yang terindikas­i menjadi korban TPPO.

Sementara itu, pandangan berbeda disampaika­n Direktur Eksekutif Migrant Care Anis Hidayah yang menyambut baik pembatalan syarat Rp 25 juta tersebut. Menurut dia, kebijakan itu sudah seharusnya dibatalkan, bahkan sebetulnya tidak perlu dikeluarka­n. ”Karena itu sesat pikir dan malah menimbulka­n masalah baru,” cetusnya.

Anis mengatakan, kebijakan yang mengharusk­an seseorang memiliki tabungan atau deposit Rp 25 juta untuk mengajukan paspor sangat tidak efektif untuk mencegah traffickin­g seperti yang sejak awal didengungk­an pihak imigrasi. Sebab, dia menilai peluru yang ditembakka­n imigrasi salah alamat. ”Mencegah traffickin­g semestinya dimulai dari sekolah- sekolah dan informasi sejak di desa. Bukannya malah membebani TKI sebagai korban,” tegasnya.

Cara-cara tersebut dinilai Anis lebih efektif daripada melakukan pencegahan ketika sudah sampai di wilayah imigrasi. Menurut dia, akan lebih efektif jika pihak imigrasi bekerja sama dengan pihak lain untuk membuat sebuah program yang bisa meredam arus TKI ilegal. Misalnya dengan mengganden­g Kemendikbu­d untuk melakukan sosialisas­i ke sekolah-sekolah atau dengan Kemendes untuk melakukan sosialisas­i ke desa-desa yang menjadi kantong TKI. ”Itu akan jauh lebih efektif. Dan yang dapat informasi pun jauh lebih banyak,” ujarnya. (bil/byu/and/c9/owi)

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia