Soal USBN Bocor lewat Aplikasi WA
Kemendikbud Sebut Tanggung Jawab Sekolah
JAKARTA – Hari pertama pelaksanaan ujian sekolah berstandar nasional (USBN) sempat diwarnai indikasi kecurangan. Di Kudus, sekolah dihebohkan dengan soal ujian berformat PDF yang beredar melalui pesan di aplikasi WhatsApp ( WA). Menanggapi hal tersebut, Kepala Pusat Penelitian Pendidikan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Prof Nizam menyatakan, itu menjadi tanggung jawab sekolah.
”Sekolah menjadi penanggung jawab utama ujian sekolah. Mulai penyusunan soal, penyelenggaraan, hingga pemeriksaan,” katanya kemarin. Nizam menambahkan, pemerintah hanya memberikan 20–25 persen soal sebagai acuan, memberikan pelatihan penulisan soal, dan bantuan hibah bagi musyawarah guru mata pelajaran (MGMP) untuk membahas soal USBN. Selebihnya, pemerintah menyerahkannya ke sekolah. Sementara itu, pembinaan langsung berada di tangan dinas kabupaten/kota dan provinsi.
”Arahan Pak Menteri, berikan kepercayaan 100 persen kepada guru dan kepala sekolah. Insya Allah mereka amanah dan dapat dipercaya,” terangnya. Terkait dengan bocornya soal USBN, lanjut Nizam, semua kembali kepada siapa yang bertanggung jawab dalam membuat soal itu. Yakni, masing-masing sekolah. Jika memang benar terjadi kebocoran, tentu saja sekolah tersebut yang harus bertanggung jawab. ”Kalau sampai ada soal USBN yang bocor, sanksinya sesuai dengan aturan di daerah masing-masing,” tuturnya.
Hal senada dilontarkan Dirjen Dikdasmen Kemendikbud Hamid Muhammad. Hamid menegaskan, sanksi terhadap kebocoran ter- sebut pasti ada. Teguran dan assessment akan dilakukan langsung oleh Irjen yang bertugas mengawasi. Dia menyayangkan hal itu bisa terjadi. Menurut Hamid, tujuan pemerintah memberikan kepercayaan 100 persen kepada guru di sekolah adalah mengurangi kebocoran soal.
Pengamat pendidikan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jejen Musfah menilai, ada beberapa faktor yang jadi pemicu oknum-oknum tertentu membocorkan soal USBN. Perta ma adalah faktor ekonomi. ”Ada orang mencari keuntungan ekonomi dari kebocoran soal itu,” ungkapnya. Kedua, ada oknum tertentu yang punya akses ke sekolah.
Mereka, lanjut Jejen, menginginkan kelompok, sekolah, wilayah, atau organisasinya punya hasil ujian bagus. Karena itu, mereka memanfaatkan akses yang dimiliki untuk mencapai tujuan tersebut. Ketiga, ada kepentingan tertentu dari sekelompok orang. ”Mereka ingin merusak citra pemerintah atau ingin memperlihatkan bahwa ujian itu tidak baik sehingga perlu dihilangkan. Variabelnya tidak hanya satu,” ungkapnya.
Menurut dia, tiga faktor tersebut muncul sebagai dampak bobroknya manusia pendidikan Indonesia. Di tanah air, budaya pendidikan masih jauh dari kata jujur. Indonesia belum sampai pada level bahwa ujian itu bukan semata-mata mengejar nilai. Melainkan, ada nilai-nilai lain yang terkandung di dalamnya. ”Ujian itu juga menguji kejujuran dan ada kaitannya dengan kepribadian. Bukan semata nilai. Kita ini masih berpatokan pada nilai dan prestise. Ini jadi PR kita,” ungkapnya.
Terkait punishment yang seharusnya dikenakan kepada pihak yang bertanggung jawab, Jejen menuturkan, memang harus ada hukuman dengan efek jera. Dia mencontohkan, jika kepala sekolah terlibat, bisa saja jabatannya dicopot dan golongannya diturunkan. (and/c10/c17/oki)