Ekuinoks dan Radiasi Matahari
SETELAH heboh fenomena gerhana setahun lalu, kembali 2017 ini masyarakat dihebohkan fenomena ekuinoks ( equinox) yang ”dipercayai” akan mengakibatkan suhu udara di Indonesia naik drastis hingga 40 derajat Celsius pada hari ini (21/3). Apa sebenarnya fenomena ekuinoks itu?
Ekuinoks merupakan fenomena tahunan yang terjadi di Indonesia dan kawasan ekuator lainnya. Dalam satu tahun, Indonesia mengalami dua kali ekuinoks, yakni pada vernal ekuinoks pada 21 Maret dan autumnal ekuinoks 23 September. Ekuinoks merupakan fenomena pergerakan matahari normal, bukan meresahkan.
Ekuinoks merupakan kondisi yang terjadi saat matahari berada persis di atas garis khatulistiwa atau ekuator. Ketika fenomena itu berlangsung, durasi siang dan malam di seluruh bagian bumi relatif sama.
Saat matahari berada di titik nol ekuator, panjang siang dan malam sama, yaitu 12 jam. Ekuinoks memang akan menimbulkan peningkatan suhu udara di Indonesia. Namun tidak akan mengakibatkan kenaikan suhu secara drastis dan gelombang panas seperti di Afrika. Suhu rata-rata di Indonesia pada hari-hari biasa berkisar 26–36 derajat Celsius. Ketika terjadi ekuinoks, suhu akan naik, tapi tidak drastis. Suhu maksimal 33–34 derajat Celsius. Suhu tertinggi yang pernah tercatat adalah 36 derajat Celsius, terjadi di Jawa Timur beberapa tahun lalu. Dinamika Matahari
NASA SDO (Solar Dynamics Observatory) mengamati, sejak Mei 2010 terjadi kenaikan aktivitas di permukaan matahari yang tecermin lewat terjadinya semakin banyak ” flare” atau ledakan di permukaan matahari. IPCC atau lembaga panel ilmuwan perubahan iklim mencatat, radiative forces matahari atau tenaga radiasi matahari meningkat 90 watt per meter persegi dibanding tahun 1990. Harus diakui, kondisi peningkatan panas itu dipengaruhi pula oleh peningkatan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer bumi. Buntutnya, suhu global meningkat dengan signifikan.
Bagaimana kondisi sekarang? NASA mencatat, suhu rerata bumi pada Februari 2016 tercatat naik 0,6668 derajat Celsius. Berlalunya fenomena El Nino diikuti La Nina dengan fenomena musim hujan yang sedang terjadi belum mampu membawa suhu bumi kembali normal. Jadilah dampaknya sangat terasa. Yaitu, muncul aneka siklon tropis raksasa di lautan dengan frekuensi meningkat pesat. Indonesia yang dulu selalu terbebas dari dampak siklon tropis mulai merasakan dampaknya berupa banjir dan longsor di bagian selatan (NTB dan NTT), utara (Manado), serta barat (Banda Aceh).
Salah satu komponen matahari yang berpotensi membahayakan adalah angin matahari berbentuk aliran konstan partikel-partikel dari bagian atas atmosfer yang bergerak ke seluruh tata surya. Partikel-partikel tersebut memiliki energi tinggi. Namun, proses pergerakannya keluar medan gravitasi matahari pada kecepatan tinggi.
Beberapa bukti adanya angin matahari yang dapat dirasakan atau dilihat dari bumi adalah badai geomagnetik berenergi tinggi yang merusak satelit komunikasi dan sistem listrik. Juga melalui aurora di kutub utara atau kutub selatan. Angin matahari dapat membahayakan kehidupan di bumi bila tidak terdapat medan magnet bumi yang melindungi dari radiasi. Pada kenyataannya, ukuran dan bentuk medan magnet bumi juga ditentukan kekuatan dan kecepatan angin surya yang melintas.
Sejak 2010, Gobron dkk mengamati kenaikan intensitas panas matahari tidak serta-merta berdampak positif bagi penyediaan pangan di dunia. Bahkan, fenomena sebaliknya terjadi. Yakni, intensitas matahari meningkat, tetapi angka FAPAR ( fraction of absorbed photosynthetic active radiation) alias nilai energi foton yang diserap klorofil oleh tumbuhan di bumi menurun. Sehingga salah satu dampak lanjutannya, yaitu produksi pertanian, mengalami penurunan. Meningkatnya polusi partikel di bumi diyakini telah menghalangi intensitas foton matahari yang bisa dimanfaatkan klorofil. Apabila kecenderungan itu berlanjut, tentu saja kerawanan pangan akan terjadi di bumi. Dampak bagi Kesehatan
Kenaikan suhu di bumi tidaklah ekstrem. Namun, dampak sinar matahari (berupa sinar visibel, inframerah, dan ultraviolet) semakin berbahaya. Ancaman tak langsung peningkatan suhu lingkungan akan mendorong terjadinya distribusi geografi dan elevasi serangga berbahaya seperti nyamuk dan jenis penyakit infeksi lain. Seperti yang terjadi saat ini dengan merajalelanya malaria, demam berdarah, serta ancaman virus berupa Zika dan atau berbagai virus flu. Demikian juga kanker, penurunan kekebalan tubuh, dan kebutaan.
Dampak sinar matahari berlebih akan meningkatkan dehidrasi, sintesis vitamin D (positif), perubahan pigmentasi kulit, tekanan kekebalan tubuh, pelepasan oksida nitrat, penurunan tekanan darah, efek antidepresan, dan folate fotodegradasi. Dampak tertunda eksposur sinar matahariberlebihsepertieritema(kulit terbakar), fotodermatosis/ delayed pigmentation (belang-belang pada kulit), serta kanker kulit (karsinoma dan melanoma). Selain itu, dampak kronis atau jangka panjang berupa penuaan dini ( photoageing), fotokarsinogen (meningkatkan risiko kanker), fotokeratase (meningkatkan kerusakan protein keratin pada rambut/kuku dsb), katarak, menimbulkan kebutaan berupa katarak, dan solar retinopathy.
Dalam Konferensi Mitigasi dan Adaptasi Dampak Perubahan Iklim pada Kesehatan November 2010 di Cheng Kung Medical College Tainan, Taiwan, dilaporkan, dampak perubahan iklim –di antaranya berupa kenaikan suhu lingkungan dan polusi udara– telah meningkatkan tingkat kematian warga perkotaan di dunia sebesar 1,8 persen. Kenaikan itu disumbangkan kegagalan sistem kardiovaskuler (jantung dan peredaran darah) serta sistem respiratori (paruparu dan sistem pernapasan). Sayang, tak ada satu pun sampel riset tersebut dari kota di Indonesia.
Karena itu, masyarakat perlu melakukan adaptasi dan antisipasi menghadapi peningkatan radiasi matahari dan suhu udara. Sebab, cuaca panas dapat memicu terjadinya dehidrasi. Meminum minimal delapan gelas sehari atau disesuaikan dengan kebutuhan tubuh. Kekurangan cairan dalam tubuh dapat menurunkan imunitas tubuh sehingga rentan terhadap penyakit. Dehidrasi berisiko mengakibatkan timbulnya berbagai infeksi seperti radang tenggorokan dan infeksi kandung kemih. (*) *) Peneliti Cides Indonesia, alumnus Cheng Kung Medical Impact of Climate Change