Jawa Pos

Kita Sepuluh Kali Lebih Efisien

Industri kelapa sawit merupakan salah satu tulang punggung ekonomi yang tak bisa dikesampin­gkan. Setelah didera tantangan merosotnya harga, kinerja industri CPO mulai bergerak naik. Bagaimana petanya? Berikut wawancara wartawan Dinda Juwita dengan Arif P.

-

Jawa Pos

Sepanjang 2016, banyak tantangan yang dihadapi industri CPO. Bagaimana proyeksi tahun ini?

Sebenarnya 2016 menurut kami sudah lumayan baik. Memang, bottomnya dari sisi harga ada di akhir 2015 karena harga sempat Rp 5 ribu per kg. Sekarang sudah Rp 8 ribu. Malah peak- nya di 2017 ini Rp 9 ribuan. Jadi hampir 100 persen (naiknya) sudah sangat baik.

Pertama, karena produksi turun di 2016 yang disebabkan El Nino sejak 2015. Kedua, karena Indonesia punya biofuel market. Jadi, Indonesia adalah faktor paling besar di dunia yang mendetermi­ned harga CPO dari segi maupun demand. Jadi, rendah karena cuaca, tapi di sisi lain di Indonesia besar sekali.

Saat ini, tuntutan terhadap industri CPO kian ketat. Berbagai sertifikas­i muncul seperti RSPO (Rountable on Sustainabl­e Palm Oil) dan ISPO (Indonesia Sustainabl­e Palm Oil). Bagaimana Anda memandangn­ya?

Itu sudah hukum alam. Pasti begitu, which is good. Inisiatif pemerintah untuk mendorong Indonesia supaya CPO diterima di pasar global itu tepat sekali. Tinggal penyamaan dari prinsip dan kriteria ISPO. Itu saja yang sering diperdebat­kan. Dan dengan Presiden Jokowi yang sudah mendeclare­d mau moratorium itu mestinya dipublikas­ikan di dunia.

Hebat lho ini komitmen ke tidak ada yang lebih hebat dari ini. Padahal, 1 hektare lahan sawit bisa memproduks­i 10 kalinya Jadi, ini sebenarnya Indonesia sudah achieved dari segi

Kampanye negatif terhadap produk CPO masih saja terjadi di Eropa. Di antaranya disebut bisa memicu penyakit kanker. Bahkan, beberapa perusahaan makanan di Eropa mulai mencantumk­an label No Palm Oil di kemasan mereka. Bagaimana tanggapan Anda?

Pasti lah. Kita punya nilai ekonomis 10 kali lebih efisien. Kita juga memang tidak sempurna. Jadi, ada beberapa pelaku yang tidak comply (taat aturan). Itulah yang membuat nila setitik jadi rusak susu sebelanga. Jadi, memang akhirnya kita mesti dorong supaya yang tidak comply itu ditindak.

Terkait Trump Effect, AS akan mengubah kebijakann­ya menjadi lebih proteksion­is untuk melindungi produk dan tenaga kerja dalam negerinya. Apakah hal itu berpotensi memicu gejolak di pasar ekspor?

Demand besar CPO adalah dari India, Tiongkok, Pakistan, dan Uni Eropa. Tapi, Indonesia punya demand juga top three, apalagi dengan biofuel. (Ekspor ke AS) tidak terlalu besar. Ini kita sedang menghitung, memang ada 1 juta ton.

Tapi, secara umum, kebijakan proteksion­is Trump itu kan meningkatk­an tarif. Akibatnya, ada tendensi untuk inflasi. Makanya, begitu Trump terpilih, harga komoditas langsung naik.

CPO kini sudah menjadi komoditas ekspor terbesar di Indonesia. Bagaimana Anda memandang posisi industri CPO di Indonesia saat ini?

Sebetulnya tidak terbesar, nomor 2. Kita ada hitunganny­a, 20 miliar (USD). Migas masih 23 (miliar). Tapi, dari sisi neraca dagang, migas kita defisit, sedangkan CPO surplus. Jadi, CPO ini menyumbang devisa yang sangat besar. Tenaga kerja yang diserap sampai 5 jutaan. Itu yang tenaga kerja langsung, belum yang tidak langsung, bisa sampai 20 jutaan. Karena itu, jangan yang

ini dikerdilka­n. Justru yang kerdil itu mesti dibesarkan dengan mengcopy kunci suksesnya.

Bagaimana kinerja Triputra Agro Persada (TAP) sepanjang 2016 dan proyeksi 2017?

Kita cukup puas. Meskipun, kejadian El Nino membuat produksi di seluruh Indonesia dan Malaysia jauh dari ekspektasi. Tapi, kalau dibandingk­an dengan industri, jauh lebih baik. Produksi kita flat, sedangkan rata-rata Indonesia turun. Jadi, kita cukup puas. Kalau untuk 2017, produksi CPO nasional diperkirak­an naik 10–15 persen, TAP mungkin 15–20 persen.

Industri kelapa sawit selama ini banyak memberdaya­kan petani lokal. Bagaimana praktik di TAP?

Sekarang ekonomi keberadila­n penting. Ini terkait dengan replanting (penanaman kembali). Yield (keuntungan) petani swadaya jauh di bawah petani plasma. Sebab, petani plasma punya kemitraan dengan inti, dibimbing. Selain itu, dibu- kakan akses pendanaan ke bank. Yang lebih penting, penjaminan kualitas, sejak dari bibit, penanaman, sampai panen. Itulah yang membuat yield- nya tinggi.

Dari 11,6 juta ha di seluruh Indonesia, 41–42 persennya itu adalah petani. Jadi, kalau orang bilang sawit itu pemain besar semuanya, sebenarnya hampir setengahny­a itu petani. Tapi, dari 41–42 persen tersebut, 70 persennya petani swadaya. Karena itu, kami terus dorong pemberdaya­annya.

Pak Teddy Rachmat dikenal sebagai salah satu maestro manajemen Indonesia. Selain sebagai ayah, Pak Teddy juga mentor bagi Anda. Apa nilai paling penting yang menurut Anda jadi kunci sukses Pak Teddy?

Ada dua hal yang paling sederhana. Pertama, Pak Teddy selalu mengajarka­n greater purpose, hidup akan bermakna kalau kita menjadi berkah untuk banyak orang, terutama buat Indonesia. Saya tidak pernah dikasih nama Tionghoa. Karena memang kita dididik bahwa kita orang Indonesia. Kita bukan

hanya pendatang, Jadi, mengentask­an kemiskinan itu benar-benar keluarga. Kedua, ajaran bukan dari perkataan, tapi perilaku. Terutamate­ntang disiplin. (*/c5/sof)

 ??  ?? supply supply demand new planting, sustainabi­lity, soy bean oil. oversustai­nability. pion industry paste palm oil palm oil national chambut this is our home, this is our blood. priority
supply supply demand new planting, sustainabi­lity, soy bean oil. oversustai­nability. pion industry paste palm oil palm oil national chambut this is our home, this is our blood. priority

Newspapers in Indonesian

Newspapers from Indonesia