Arbitrase, Tambang Terancam Runtuh
JAKARTA – Ancaman gugatan arbitrase yang dilayangkan PT Freeport Indonesia (PT FI) tidak hanya berdampak pada pemutusan hubungan kerja dan pengurangan produksi. Kelangsungan operasi di pertambangan emas dan tembaga tersebut juga terancam bila produksi terhenti dalam waktu lama.
Senior Vice President Geo Enginering PT FI Wahyu Sunyoto berharap proses arbitrase tidak ditempuh Freeport maupun pemerintah. Jika arbitrase dilakukan, ada potensi kehilangan hasil produksi dan cadangan bijih di area tambang.
Menurut Wahyu, kegiatan operasi produksi pertambangan bawah tanah PT FI menggunakan metode caving
Yakni, membuat ruanganruangan di dalam tanah untuk mencapai cadangan bijih. Kegiatan pro- duksi tersebut dibarengi dengan perawatan tambang bawah tanah.
Jika kegiatan produksi terhenti atau berkurang, perawatan tambang juga terhenti. Ruangan-ruangan untuk mencapai cadangan itu pun terancam tertimbun tanah yang terbawa air hujan. Jika terus-terusan tidak dirawat, beban tanah di atas permukaan tersebut akan kian banyak dan berat sehingga dikhawatirkan bisa membuat ruangan-ruangan itu runtuh.
Bila cadangan bijih yang telah ditemukan tertimbun, penambangan kembali akan sulit dilakukan. ”Kalau produksi setop, tambang akan runtuh dan tidak bisa ditambang lagi. Akibatnya, cadangan bisa hilang,” ujar Wahyu.
Jumlah cadangan emas dan tembaga di areal tambang Grasberg hingga kini masih cukup besar. Selama puluhan tahun ditambang, jumlahnya baru mencapai 1,4 miliar ton. Sisa cadangan di areal tambang itu diperkirakan masih mencapai 2,1 miliar ton. Bila operasional tambang dilanjutkan dengan kapasitas seperti selama ini, cadangan emas dan tembaga di Grasberg diperkirakan baru akan habis pada 2054.
Selama sebulan terakhir, perundingan tentang perubahan kontrak karya menjadi izin usaha pertambangan khusus (IUPK) antara Freeport dan Kementerian ESDM masih berlangsung. Freeport masih bersikukuh menolak IUPK karena keberatan dengan kewajiban melakukan divestasi 51 persen saham untuk perusahaan dalam negeri.
Freeport juga berkeberatan atas kewajiban membangun smelter dengan nilai investasi yang besar sebelum mendapat kepastian tentang kelanjutan kontrak karya yang berakhir pada 2021. Perusahaan asal Amerika Serikat itu juga ingin tetap berstatus kontrak karya dan memperoleh izin ekspor ore yang dibatasi pemerintah sejak 2014. Sedangkan pemerintah bersikukuh bahwa pemegang kontrak karya harus mengubah status menjadi IUPK untuk mendapatkan izin ekspor. (dee/c24/noe)