Prihatin Cara Lama, Berdayakan Pompa Hidram
Pemuda Panggul Menggarap Lahan di Daerah Pegunungan
Pompa hidram atau pemanfaatan tenaga tekanan air untuk menjalankan sistem pompa sudah lama ditemukan. Hanya, cara tersebut memang tidak begitu familier.
PEMUDA Desa Wonocoyo tengah berusaha memaksimalkan lahan di daerah perbukitan. Cara yang dipakai pun berbeda dengan biasanya.
Selama ini, para petani atau penggarap lahan masih menggunakan cara lama yang membutuhkan biaya sangat besar. Yakni, menyalurkan air dari sumber ke lahan yang berjarak ribuan meter dengan menggunakan pipa atau slang.
Untuk memenuhi kebutuhan bercocok tanam itu, para petani harus rela merogoh kocek hingga puluhan juta rupiah. Padahal, mereka juga sadar penggunaan selang atau pipa tersebut tidak bisa bertahan lama.
Medan naik turun di daerah perbukitan menjadi kendala atau pemicu cepat rusaknya slang para petani itu. ’’ Jadi, slang atau pipa yang melintasi lembah bisa mlembung, kemudian pecah,’’ jelas Mukti Satiti, salah seorang pegiat muda di Panggul kemarin (20/3).
Berangkat dari hal tersebut, lanjut dia, pihaknya bersama sejumlah pemuda lain di desa itu berupaya menerapkan penggunaan pompa hidram. Dengan harapan bisa mengurangi biaya yang dikeluarkan para petani.
Menggunakan pompa listrik tidak mungkin karena lahan garapan tersebut jauh dari permukiman. Sementara itu, jika menggunakan mesin diesel, biaya yang dikeluarkan untuk menggarap lahan juga bertambah. Karena itu, pompa hidram dirasa paling pas dan sesuai dengan kondisi di daerah tersebut.
Pada Sabtu lalu, sistem kerja pompa hidrolik itu diterapkan. Dalam uji coba tersebut, serangkaian pompa yang dirakit dari barang bekas itu berfungsi dengan bagus.
Tekanan air di sungai daerah itu bisa mendorong air hingga setinggi 60 meter dari permukaan laut. Bahkan, tenaga yang dikeluarkan sistem tersebut juga cukup jauh, yaitu sekitar 300 meter. ’’Cara ini ternyata mengundang simpati masyarakat. Mereka antusias dengan cara kerja pompa hidram itu,’’ katanya.
Hanya, ucap Mukti, masih banyak yang perlu disempurnakan setelah uji coba tersebut dilakukan. Dia bersama rekan-rekannya melihat banyak kekurangan yang harus diperbaiki.
Salah satunya adalah sarana penghantar airnya, pipa. Dalam uji coba itu, pihaknya menggunakan pipa berbahan dasar polivinil klorida atau yang lebih dikenal dengan istilah PVC.
Pipa jenis tersebut tidak tahan dengan panas. Padahal, tekanan sistem hidrolis itu mengakibatkan panas sehingga pipa PVC tersebut melar dan bocor.
Di sisi lain, getaran tenaga tekanan air juga mengakibatkan getaran sehingga banyak sambungan yang terbuka karena getaran itu. ’’Setelah kami evaluasi, ada beberapa kendala itu tadi,’’ ungkapnya.
Pihaknya bersama warga atau penggarap lahan berencana menggunakan peranti lain untuk menghantarkan air tersebut ke lahan atau kebun. Misalnya, dengan memanfaatkan pipa besi. Diharapkan, efek sistem hidrolis itu bisa dikunci atau diminimalkan.
’’Intinya, jangan sampai ada lahan yang tidak tergarap hanya karena ada kendala yang sebenarnya bisa dipecahkan,’’ ujar warga asli Wonocoyo tersebut. (*/ rka/c23/diq)